Indonesia.go.id - Mempertahankan Laju Pertumbuhan Sektor Manufaktur

Mempertahankan Laju Pertumbuhan Sektor Manufaktur

  • Administrator
  • Rabu, 9 November 2022 | 10:01 WIB
EKSPOR
  Suasana aktivitas bongkar muat kontainer di PT Terminal Teluk Lamong, Surabaya, Jawa Timur, Senin (17/10/2022).  Tidak hanya di Uni Eropa, pada periode yang sama penurunan nilai ekspor nonmigas juga terjadi di kawasan Asean. ANTARA FOTO/ Didik Suhartono
Sektor manufaktur bisa menggunakan strategi berkelit dengan mengubah tujuan pasar ke pasar domestik yang lebih resilience.

Kewaspadaan atas kinerja sektor manufaktur masih perlu ditingkatkan pada kuartal terakhir tahun ini. Sebab, tantangan yang ada masih besar, mulai dari dampak kenaikan harga BBM, kenaikan suku bunga acuan, gangguan rantai pasok, hingga ancaman resesi global.

Strategi berkelit mau tidak mau harus dilakukan pelaku industri manufaktur dalam negeri agar kinerja sektor itu tidak sampai kedodoran. Salah satunya adalah dengan mengoptimalkan pasar domestik seiring dengan terjadinya pelemahan ekspor nonmigas dan impor bahan baku/penolong periode September 2022.

Nilai ekspor periode September meski tetap mencatat surplus, tampak mengalami penurunan. Pada September, nilai ekspor tercatat USD24,80 miliar. Nilai itu turun 10,99 persen dibandingkan periode Agustus, yang tercatat USD27,86 miliar.

Badan Pusat Statistik (BPS) belum lama ini telah mengeluarkan laporannya berkaitan dengan neraca pedagangan. Dari laporan itu, BPS menyebutkan, ekspor sektor nonmigas menyumbang USD23,48 miliar, turun 10,31 persen dibandingkan periode sebulan sebelumnya senilai USD26,18 miliar.

Demikian pula, nilai ekspor migas tercatat USD1,33 miliar, turun 21,41 persen dibandingkan pada Agustus yang mencapai USD1,89 miliar. Bila dibedah pasarnya, lanjut laporan BPS, ekspor nonmigas ke Uni Eropa pada September 2022 turun sebesar 21,47 persen secara bulanan (mtm) dengan nilai USD1,80 miliar.

Tidak hanya di Uni Eropa, pada periode yang sama penurunan nilai ekspor nonmigas juga terjadi di kawasan Asean, yakni sebesar 6,46 persen secara bulanan dengan nilai USD4,44 miliar. Penurunan itu beriringan dengan anjloknya impor bahan baku/penolong sebesar 11,07 persen secara bulanan.

Padahal, kontribusi nilai impor bahan baku/penolong mencapai 77,14 persen terhadap total impor. Melihat situasi tersebut, sektor manufaktur sebaiknya bisa menggunakan strategi berkelit dengan melakukan perubahan tujuan pasar seperti mengoptimalkan potensi pasar domestik karena dinilai lebih resilience (tahan).

Sebagai informasi, penurunan impor bahan baku/penolong pada September 2022 disebabkan oleh sejumlah komoditas, di antaranya besi dan baja sebesar 25,57 persen, plastik dan barang dari plastik 17,49 persen, serta bahan bakar mineral (BBM) 8,93 persen.

Besi dan baja serta BBM sendiri tergolong ke dalam lima besar komoditas penyumbang terbesar penurunan ekspor. Masing-masing komoditas mengalami pengurangan nilai ekspor USD132,8 juta dan USD83,8 juta. Selain itu, penurunan impor bahan baku/penolong September 2022 merupakan yang tertinggi sejak Januari 2022 dan pertama kali terjadi dalam 3 bulan terakhir.

Pada Januari 2022, impor bahan baku/penolong anjlok 11,35 persen. Dengan penurunan tersebut, total impor bahan baku/penolong pada September 2022 senilai USD14,90 miliar. Pada Agustus lalu, nilai impor bahan baku/penolong masih menempati posisi tertinggi kedua sepanjang tahun berjalan, yakni USD16,75 miliar.

Namun, harus diakui masih terlalu dini untuk menyimpulkan tren kinerja ekspor manufaktur yang turun tersebut. Artinya, pelaku usaha juga harus terus mewaspadainya dengan melihat lagi tren ke depan.

Dengan strategi itu, pelaku usaha bisa tetap menjaga laju manufaktur di tanah air pada kuartal IV-2022 agar tetap stabil. Pasalnya, upaya ini penting ditempuh karena laju industri pengolahan diprediksi bisa lebih rendah dibandingkan dengan laju pada kuartal III/2022. Apalagi, Prompt Manufacturing Index Bank Indonesia atau PMI-BI memprediksi pada kuartal IV-2022 bisa mencapai 53,18%.

Tentu angka ini lebih rendah dibandingkan dengan posisi PMI-BI pada kuartal III-2022 sebesar 53,71%. Menurut catatan dari laporan otoritas moneter itu, alat angkut, mesin, dan peralatan menjadi subsektor yang bakal mengalami kontraksi.

Selain itu, subsektor semen dan barang galian nonlogam, barang kayu dan hasil hutan lainnya, serta makanan, minuman, dan tembakau juga dilaporkan bakal melambat pada kuartal IV-2022.

Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bobby Gafur Umar pun memberikan saran agar pelaku usaha bisa bersiasat untuk meredam kontraksi manufaktur lebih dalam di sektor alat angkut.

Nah, mereka bisa lebih mengoptimalkan pasar domestik dengan menggenjot industri komponen otomotif. Selain itu, pelaku industri manufaktur perlu juga mencari alternatif negara tujuan ekspor yang dinilai tahan terhadap resesi ekonomi. Beberapa negara yang dianjurkan adalah Filipina dan Vietnam yang tercatat masih mengalami pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen.

Salah satu aksinya adalah melalui substitusi impor komponen otomotif yang sebelumnya banyak dibeli dari Tiongkok, menjadi ke arah peningkatan volume produksi pelaku usaha segmen industri kecil dan menengah (IKM).

Dengan demikian, pasar domestik dapat dioptimalkan di tengah tidak bagusnya peluang pasar ekspor yang sedang dilanda inflasi. Upaya tersebut harus disertai dengan bimbingan oleh pengusaha besar untuk pelaku IKM agar dapat meningkatkan kualitas produk supaya sesuai dengan standar pasar.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja memandang stimulus dari pemerintah di sisi pasar maupun pelaku industri akan menjaga laju manufaktur pada kuartal IV-2022. Tak dipungkiri, kontribusi sektor manufaktur tercatat cukup besar sebagai penyangga utama ekonomi Indonesia.

Selain itu, sumbangan sektor itu dalam struktur PDB cukup besar yang berujung pada laju pertumbuhan ekonomi.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari