Pertumbuhan industri manufaktur pada triwulan III-2022 menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan periode sebelumnya.
Kontribusi sektor manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi nasional (produk domestik bruto/PDB) pada kuartal III-2022 turun dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Mengutip data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB tanah air pada kuartal III-2022 sebesar 17,88 persen. Sedangkan pada kuartal III-2021 kontribusinya masih 19,15 persen.
Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bobby Gafur Umar, penurunan tersebut terjadi karena sejumlah faktor, yang dinilai menjadi biang kerok. Meliputi antara lain, inflasi ekonomi di sejumlah negara, mahalnya ongkos logistik bahan baku, dan energi, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), serta hilangnya pasar ekspor.
"Jadi, otomatis yang tadinya ekspansif, mereka mulai ngerem, dan bahkan mulai melakukan efisiensi," kata Bobby, pada Senin (7/11/2022).
Beberapa industri yang dinilai menahan diri, di antaranya, industri otomotif dan properti, sejalan dengan kenaikan suku bunga acuan. Selain otomotif dan properti, tekstil dan produk tekstil (TPT), yang baru-baru ini sedang kehilangan 50 persen pasar ekspornya, juga dinilai sangat rentan.
Kendati demikian, Bobby menilai, industri makanan dan minuman (mamin) masih akan cukup resilience meskipun berada di tengah gempuran masalah ekonomi karena ditopang oleh pasar domestik yang relatif masih baik.
"Jadi, ini memang mesti ada balancing yang pas dari pemerintah. Dan ini mesti hati-hati karena ekonomi dunia. Seperti kata Presiden Joko Widodo, sedang tidak baik-baik saja," tukasnya.
Sebagaimana diketahui, BPS telah melaporkan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,72 persen secara tahunan (year on year/yoy). Pencapaian pertumbuhan itu tentu sangat menenangkan di tengah Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia turun ke level 51,8 poin pada Oktober 2022. Bulan lalu, PMI Indonesia masih di level 53,7 poin.
Data IHS Markit yang bermitra dengan S&P Global menyebutkan, perusahaan manufaktur mengurangi aktivitas perekrutan dan pembelian karena melambatnya pertumbuhan dari sisi permintaan maupun pasokan. IHS Markit menekankan, hambatan pasokan dan tekanan biaya untuk sektor manufaktur Indonesia masih ada, di mana waktu tunggu pesanan terus diperpanjang sehingga menyebabkan penurunan inventaris.
Menanggapi hal itu, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang menerangkan, faktor utama yang mempengaruhi kondisi di industri manufaktur Indonesia adalah lesunya geliat perekonomian global yang salah satunya ditandai dengan melambatnya ekonomi Eropa akibat perang Rusia-Ukraina.
"Bulan ini, PMI manufaktur seluruh negara di dunia turun, termasuk Indonesia. Sebab, dunia sedang mengalami kesulitan dan dampaknya juga dirasakan oleh sektor manufaktur Indonesia," kata Agus Gumiwang.
Kinerja yang Menjanjikan
Namun secara umum, Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita mengemukakan, industri pengolahan nonmigas masih mencatatkan kinerja yang cukup menjanjikan, yakni tetap tumbuh sebesar 4,83 persen pada triwulan III-2022, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu di angka 4,12 persen. “Ini menandakan bahwa aktivitas sektor manufaktur di tanah air masih bergeliat di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu.
“Kita mengucapkan syukur, Alhamdulillah, pertumbuhan industri manufaktur pada triwulan III-2022 juga lebih baik dibandingkan periode sebelumnya pada triwulan II-2022 yang mencapai 4,33 persen,” ujar Menperin di Jakarta, Selasa (8/11/2022).
Tak dipungkiri, merujuk data BPS, industri pengolahan nonmigas menjadi sektor yang konsisten dalam memberikan kontribusi paling besar terhadap PDB nasional. Pada triwulan III-2022, sumbangsih sektor manufaktur mencapai 16,10 persen, naik dibanding triwulan II-2022 di angka 16,01 persen.
Adapun beberapa sektor industri yang mencatatkan kinerja pertumbuhan yang gemilang pada triwulan III-2022, antara lain, industri logam dasar yang tumbuh sebesar 20,16 persen. Capaian ini didorong oleh peningkatan produksi besi dan baja serta naiknya permintaan dari luar negeri.
Selanjutnya, industri mesin dan perlengkapan yang tumbuh sebesar 17,67 persen, disusul industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik (12,56 persen), serta industri alat angkutan (10,26 persen).
“Pertumbuhan pesat di subsektor ini karena adanya kebijakan pemerintah meningkatkan permintaan domestik. Antara lain, ketika kita melakukan relaksasi PPnBM, yang dampaknya luar biasa terhadap market, dan juga program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri [P3DN] yang turut mendorong penyerapan produk dalam negeri,” papar Agus.
Di sisi lain, Menperin Agus Gumiwang juga menjelaskan, subsektor industri yang menunjukkan indikasi terdampak akibat melemahnya perekonomian global. Misalnya, industri makanan dan minuman, industri kimia, farmasi dan obat tradisional, industri barang galian bukan logam, serta industri furnitur.
“Kita akan kembalikan lagi kinerjanya agar lebih baik. Melambatnya ini, antara lain, karena permintaan dari luar negeri terganggu karena tekanan ekonomi global, khususnya di Eropa. Selain itu inputnya yang cukup tinggi, berkaitan bahan baku baik ketersediaan maupun harga. Salah satunya karena menguatnya dolar AS,” tandasnya.
Terlepas dari semua itu, Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita juga memberikan apresiasi kepada para pelaku industri di Indonesia yang masih bergairah di tengah lesunya perekonomian global. Dalam hal ini, Kementerian Perindustrian bertekad untuk terus berupaya menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui pelaksanaan berbagai program dan kebijakan strategis, selain tetap menyiapkan langkah-langkah mitigasi dari berbagai tekanan, khususnya risiko global.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari