Indonesia.go.id - Indonesia Peroleh Komitmen Hijau dari G20

Indonesia Peroleh Komitmen Hijau dari G20

  • Administrator
  • Kamis, 24 November 2022 | 16:32 WIB
TRANSISI ENERGI
  Presiden Joe Biden berkomitmen memobilisasi dana untuk mendukung Indonesia mengurangi emisi dan mengembangkan jaringan energi baru dan terbarukan (EBT) dan membantu mengurangi PLTU batu bara. ANTARA FOTO/ MCG20
Presidensi G20 Indonesia dan penyelenggaraan KTT G20 di Bali telah memberikan manfaat yang optimal bagi Indonesia dalam konteks mempercepat transisi energi dari bahan fosil menuju bahan bakar ramah lingkungan.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 baru saja ditutup dengan pengesahan Deklarasi Bali oleh para pemimpin ekonomi terkuat dunia pada Rabu (16/11/2022).

Lahirnya Deklarasi Bali tentu akan menjadi semangat dan komitmen kolektif bagi negara-negara yang tergabung dalam forum kerja sama ekonomi multilateral G20. Kemunculan Deklarasi Bali patut diapresiasi dan menjadi bentuk kesuksesan Presidensi G20 Indonesia 2022.

Seperti disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), dalam penyusunan deklarasi berjumlah 52 paragraf itu penyikapan perang di Ukraina merupakan hal yang paling alot dan sangat diperdebatkan. “Namun, akhirnya para pemimpin G20 mampu menyepakati isi deklarasi,” ujar Presiden Jokowi, dalam pernyataan pers di Media Center G20 Indonesia di kawasan Nusa Dua, Provinsi Bali, Rabu, (16/11/2022).

Ada beberapa poin kesepakatan yang penting dan patut disyukuri dari hasil pertemuan KTT G20, selain Deklarasi Bali. Poin itu sangat bermanfaat bagi Indonesia. Pertama, hasil konkret berupa terbentuknya pandemic fund yang terkumpul dana USD1,5 miliar.

Kedua, pembentukan dan operasionalisasi resilient and sustainability trust di bawah Dana Moneter International (IMF) USD81,6 miliar  untuk membantu negara-negara yang menghadapi krisis. Ketiga, pendanaan energy transition mechanism senilai USD20 miliar setara Rp310 triliun.

Komitmen pendanaan itu disampaikan Presiden AS Joe Biden dalam KTT G20 di Bali. Menurut Joe Biden, mobilisasi dana tersebut untuk mendukung Indonesia mengurangi emisi dan mengembangkan jaringan energi baru dan terbarukan (EBT) dan membantu mengurangi PLTU batu bara. Tentu menjadi pertanyaan, apa manfaat dari pendanaan itu?

Pendanaan transisi energi pada just energy transition partnership (JETP) serta energy transition mechanism (ETM), berupa hibah dan pinjaman lunak. Sehingga diharapkan, bisa secara optimal dimanfaatkan Indonesia.

Beberapa agenda Indonesia berkaitan dengan transisi energi, antara lain, penawaran program pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, mempercepat dan memastikan transisi energi yang berkelanjutan, adil, terjangkau, dan inklusif untuk mencapai target SDG 7.

Selain itu juga menegaskan kembali komitmen Indonesia mengejar United Nations Climate Change Conference (UNFCCC). Dalam konteks perubahan iklim, Indonesia sudah menetapkan untuk meningkatkan target penurunan emisi gas rumah kaca (nationally determined contribution/NDC) pada 2030.

Sejumlah penetapan target berupa penurunan emisi dari tadinya 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional menjadi 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43 persen dengan bantuan internasional.

Yang jelas, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan telah menegaskan, Indonesia ingin memanfaatkan Presidensi G20 mendorong penerapan ekonomi sirkular dan mengurangi penggunaan sumber daya tak terbarukan.

Bahkan, tambah Luhut, Indonesia bersama Brasil dan Republik Demokratik Kongo juga sudah membuat aksi dengan melakukan kerja sama menuju lingkungan yang berkelanjutan dan perubahan iklim.  Ketiga negara itu memiliki hutan tropis dan lahan basah yang khas, termasuk lahan gambut dan bakau.

Tiga negara itu juga memiliki kepentingan bersama untuk berkolaborasi meningkatkan nilai dari hutan tropis dan dapat memberikan manfaat bagi iklim dan manusia. “Wujud konkretnya, ketiga negara itu telah mengumumkan kerja sama hutan tropis dan aksi iklim dalam side event COP27 di Mesir pada 7 November 2022,” tambah Menko Luhut.

Terlepas dari semua itu, Presidensi G20 Indonesia dan penyelenggaraan KTT G20 di Bali telah memberikan manfaat yang optimal bagi Indonesia dalam konteks mempercepat transisi energi dari bahan fosil menuju bahan bakar ramah lingkungan. Tentu saja kucuran dana ini menjadi angin segar bagi percepatan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di tanah air meskipun tentu dana yang siap digelontorkan masih jauh dari kebutuhan transisi energi.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), investasi yang dibutuhkan untuk transisi energi di Indonesia mencapai USD1 triliun hingga 2060. Dana tersebut dibutuhkan untuk pembangunan pembangkit EBT dan transmisi kelistrikan ke konsumen.

Besarnya kebutuhan investasi tersebut selaras dengan rencana pemerintah untuk mengurangi penggunaan batu bara secara bertahap di sejumlah PLTU. Dalam peta jalan net zero emission (NZE) 2060, direncanakan penambahan pembangkit listrik EBT mencapai 700 GW. Penambahan tersebut berasal dari, antara lain, solar, hidro, biomassa, bayu, panas bumi, dan hidrogen.

Ke depannya, terdapat tiga sektor utama yang menjadi fokus pemerintah, yakni transportasi, industri, dan rumah tangga, dan komersial. Di sektor transportasi, pemerintah mengupayakan beberapa hal yakni optimalisasi pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN), penetrasi kendaraan listrik, penggunaan hidrogen untuk truk, bahan bakar ramah lingkungan untuk penerbangan, bahan bakar rendah karbon untuk pengiriman, dan elektrifikasi kapal jarak dekat.

Dari sektor industri akan didorong pemanfaatan hidrogen sebagai substitusi gas, substitusi biomassa, penyebaran (carbon capture, utilization, and strorage/CCUS) untuk mengurangi emisi CO2. Sementara itu, dari sektor rumah tangga dan komersial, pemerintah mengakselerasi penggunaan kompor induksi, pemanfaatan gas kota, dan program efisiensi energi.

Perwujudan dari transisi energi hijau dalam jangka 10 tahun ke depan adalah pemerintah bakal memasang 22 gigawatt (GW) daya listrik bersumber dari EBT pada sistem kelistrikan nasional. Tentu saja upaya untuk mewujudkan transisi energi secara paripurna membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit.

Kendati komitmen kucuran dana sebesar USD20 miliar menjadi pembuka pintu awal, jalan untuk memenuhi kebutuhan investasi masih sedemikian panjang. Upaya pemerintah memberikan beragam skema pendanaan transisi energi fosil menuju ramah lingkungan dengan menjaring investor antarnegara dan lembaga internasional, berada dalam jalur yang tepat.

Yang jelas, Indonesia tetap perlu membuka diri terhadap kerja sama internasional termasuk investasi asing, skema pendanaan yang inovatif, dan transfer teknologi berdasarkan pola kemitraan yang saling menguntungkan, demi mencapai target transisi energi hijau.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari