Indonesia.go.id - Royalti Perkuat Industri Musik Nasional

Royalti Perkuat Industri Musik Nasional

  • Administrator
  • Minggu, 17 Maret 2024 | 08:05 WIB
EKONOMI KREATIF
  Setiap karya lagu ciptaan si pencipta wajib dibayarkan hak ekonomi atau royalti oleh pihak lain yang memanfaatkannya. FREEPIX
Dari 14 sektor pengguna jasa musik royalti yang diterima berjumlah Rp29,1 miliar di 2020. Pada 2021 sebesar Rp19,9 miliar, 2022 mencapai Rp35 miliar, dan Rp55,2 miliar di 2023. Target penerimaan dari royalti pada 2024 sebesar Rp120 miliar.

Baru-baru ini seniman musik Ahmad Dhani Prasetyo mengunggah kisah di media sosial mengenai ketaatan sejawatnya sesama musisi, Judika Nalom Abadi Sihotang, sewaktu membayarkan royalti dua lagu karya punggawa band Dewa 19 tersebut. Judika, solois jebolan ajang pencarian bakat pada 2005, hendak naik panggung untuk acara ulang tahun sebuah maskapai nasional. Ia dikontrak penyelenggara acara membawakan 26 lagu, dua di antaranya adalah karya Ahmad Dhani.

Melalui akunnya di platform media sosial Instagram, akhir Januari 2024, Ahmad Dhani menunjukkan bukti transfer pembayaran royalti dua lagu miliknya oleh Judika yang dilakukan pada 25 Desember 2023. Nilai totalnya sebanyak Rp25 juta. Pencipta lebih dari 200 lagu itu mengucapkan terima kasih atas kepatuhan Judika kepada ketentuan hukum pembayaran royalti. "Taat undang-undang," begitu tulis Ahmad Dhani yang juga Ketua Dewan Pembina Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI).

Kisah berkebalikan terjadi pada penyanyi lainnya, Anji Manji. Pemilik nama lengkap Erdian Aji Prihartanto itu mengunggah sebuah kisah di Instagram lewat akunnya @duniamanji pada 15 Januari 2024 terkait royalti lagu-lagu ciptaannya yang dinyanyikan penyanyi lain dan belum pernah diterimanya. Ia menuliskan, ada lebih dari lima penyanyi menggelar konser dan membawakan lagu ciptaannya, hanya saja tidak satu pun membayarkan royalti.

Pembahasan mengenai royalti ramai mencuat pada awal 2024 termasuk kisah Ahmad Dhani dan Anji, dua musisi dan pencipta lagu produktif Indonesia. Pembayaran royalti musik menjadi instrumen penting yang dicantumkan dalam Pasal 89 Undang-Undang nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa setiap karya lagu ciptaan si pencipta wajib dibayarkan hak ekonomi atau royalti oleh pihak lain yang memanfaatkannya.

Mengutip Pasal 40 produk hukum yang sama, dijelaskan bahwa royalti itu wajib dibayarkan lantaran musik sebagai produk kekayaan intelektual bidang seni dan sastra harus dilindungi ciptannya. Pemerintah pun berupaya melindungi hak-hak para pencipta lagu dan musisi dalam mendapatkan royalti melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 56 tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 30 Maret 2021.

 

14 Sektor

Dalam peraturan itu diungkap adanya 14 sektor usaha publik yang wajib membayar royalti, yaitu imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu ciptaan atau produk hak terkait. Ke-14 sektor usaha yang wajib menyetor royalti tersebut adalah pengelola usaha karaoke; hotel termasuk kamar hotel dan fasilitas hotel; lembaga penyiaran radio, dan televisi. Kemudian pusat rekreasi; bank dan kantor; pengelola nada tunggu telepon; bioskop; pameran dan bazar.

Selanjutnya adalah maskapai dan operator angkutan bus, kereta api, kapal laut; konser musik; restoran termasuk kafe, klub malam, bar, pub, bistro, dan diskotek; seminar dan konferensi. Dalam UU Hak Cipta disebutkan bahwa pemerintah harus membentuk lembaga manajemen kolektif (LMK) guna mengurusi pengumpulan royalti pemanfaatan karya cipta lagu dan musik. Maka, pada 20 Januari 2015 terbentuklah Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Ketua pertamanya adalah Raja Dangdut, Rhoma Irama dan sejak 2019 digantikan oleh sesama musisi sekaligus pencipta lagu, Dharma Oratmangun. Dalam sebuah diskusi yang dilakukan LMKN di Jakarta, 12 Agustus 2023 lalu sebagaimana dikutip dari website lembaga bantu pemerintah non-APBN tersebut, Dharma menyatakan telah menggandeng 11 LMK untuk pengumpulan royalti satu pintu, khususnya terhadap 14 sektor seperti diamanatkan dalam PP 56/2021.

"Tugas kami memastikan pengumpulan royalti berjalan dengan baik dan membangun kesadaran para pengguna, khususnya dari 14 sektor. Kami bekerja sama dengan para penegak hukum dan sanksi tegas akan diberlakukan apabila para pengguna tidak memenuhi kewajiban ini. Mengingat tugas inti kami juga adalah memastikan bahwa para pencipta lagu dan/atau musik mendapatkan haknya dengan baik serta menjalani hidup dengan sejahtera atas hak yang melekat pada dirinya,” tegas Dharma.

Dalam kesempatan lain seperti diwartakan oleh Antara, Dharma mengungkapkan hasil penerimaan royalti sejak 2020 hingga 2023 lalu. Pada 2020 royalti yang diterima berjumlah Rp29,1 miliar dan Rp19,9 miliar di 2021. Kemudian, berturut-turut Rp35 miliar (2022) dan Rp55,2 miliar (2023). Pihaknya menargetkan pada 2024 ini mampu mengumpulkan royalti hingga Rp120 miliar mengingat pada tahun politik ini akan banyak artis diundang mengisi acara para politisi yang mengikuti Pemilihan Umum 2024.

LMKN juga telah menyederhanakan alur penghimpunan royalti yaitu pencipta membuat permohonan pencatatan musik ke dalam daftar umum ciptaan. Selanjutnya, semua yang telah didaftarkan lalu dimasukkan ke dalam pusat data dan pihak pengguna musik mengajukan permohonan lisensi melalui LMKN untuk kemudian akan ditarik royaltinya dari pihak-pihak yang menggunakan musik dari si pencipta.

Royalti yang dihimpun tadi, sebanyak 79 persen disetorkan kembali kepada para pemilik musik dan sisanya digunakan untuk biaya operasional LMK dan LMKN. Royalti didistribusikan berdasarkan laporan penggunaan data lagu dan/atau musik yang terdapat dalam Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) LMKN. Penerima royalti adalah pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait yang disalurkan oleh LMK.

 

Naskah Akademik

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) turut memberi terobosan dalam menyikapi royalti musik ini sekaligus menyambut Hari Musik Nasional 9 Maret 2024 lalu. Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, pihaknya tengah menyiapkan rancangan mekanisme pembayaran royalti musik dalam sebuah skema berdasarkan naskah akademik.

Ini sebagai langkah lanjutan dari permintaan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi perihal pembayaran royalti musik. Naskah akademik itu dibuat oleh Direktorat Musik, Film, dan Animasi Kemenparekraf. Namun, prosesnya masih membutuhkan banyak waktu termasuk harus menunggu prosedur dari Direktorat Standardisasi Kompetensi hingga Lembaga Sertifikasi Profesi.

"Pembayaran royalti musik akan terus kita garap dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan tentunya para pihak yang terkait. Kami ingin mengabarkan dalam rapat terakhir Kemenko Marves meminta Direktorat Musik untuk menyusun naskah akademik terkait pembayaran royalti musik," ujar Sandiaga dalam acara The Weekly Brief di kanal YouTube Kemenparekraf, 29 Januari 2024 lalu.

Sementara itu, Direktur Industri Musik, Seni, Pertunjukan dan Penerbitan Kemenparekraf, Mohammad Amin mengutarakan, industri musik nasional saat ini sudah berjalan dengan sangat baik. Doktor Etnomusikologi dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini mengimbau kepada seluruh pemangku kepentingan permusikan nasional untuk duduk bersama membenahi industri musik termasuk persoalan royalti.

Menurutnya, Hari Musik Nasional menjadi momentum terbaik bagi kebangkitan industri musik di tanah air dan memaknainya tidak sekadar produk budaya dan identitas, melainkan produk diplomasi dan kreatif yang mampu mensejahterakan banyak orang termasuk musisi itu sendiri. Karena itu ia mengajak semua pihak untuk bergandengan tangan untuk turut membantu meningkatkan kualitas industri musik nasional.

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari