Indonesia.go.id - Kolaborasi Atasi Dampak Perubahan Iklim

Kolaborasi Atasi Dampak Perubahan Iklim

  • Administrator
  • Selasa, 16 April 2024 | 10:23 WIB
WORLD WATER FORUM
  Warga memanggul karung berisi bantuan untuk korban banjir bandang dan longsor di Langgai, Gantiang Mudiak Utara Surantiah, Kecamatan Sutera, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, Selasa (12/3/2024).Untuk mencegah air menjadi sesuatu yang merugikan maka isu air akan dibahas oleh delegasi dari 172 negara dunia dalam pertemuan internasional terbesar di bidang air. ANTARA FOTO
Saat ini pola debit sungai dan aliran masuk waduk sebagian besar lebih kering daripada kondisi normalnya. Hal ini akan dibahas pada pertemuan internasional terbesar di bidang air atau World Water Forum ke-10 pada 18--24 Mei 2024 di Bali.

Laporan World Meteorological Organization (MWO) krisis air di dunia nyata terjadi di tengah-tengah masyarakat. Saat ini pola debit sungai dan aliran masuk waduk sebagian besar lebih kering daripada kondisi normalnya. Juga terjadi peningkatan evapotranspirasi dan penurunan kelembaban tanah selama musim panas yang disebabkan oleh kekeringan.

Cuaca ekstrem, iklim, dan peristiwa terkait air menyebabkan 11.778 bencana yang dilaporkan antara 1970--2021. Negara maju mengalami lebih dari 60% kerugian ekonomi akibat cuaca, namun sebagian besar di bawah kerugian tersebut nilainya 0,1% Produk Domestik Bruto (PDB).

Sebaliknya, negara berkembang dan belum maju 7% bencana menyebabkan kerugian lebih dari 5% PDB dan mencapai hingga 30%. Negara kepulauan kecil 20% bencana menyebabkan kerugian lebih dari 5% PDB bahkan ada yang melebihi 100%.

Dinamika siklus air dan interaksinya dengan masyarakat manusia dapat mengakibatkan dua hal. Pertama, bervariasinya pola spatio-temporal ketersediaan sumber daya air. Kedua, dampak kejadian ekstrem yang berhubungan dengan sumber daya air dapat mempengaruhi kehidupan, pembangunan, dan keberlanjutan ekosistem, masyarakat, dan individu.

Proyeksi Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2050, mencatat krisis air akibat perubahan iklim akan meningkatkan kerentanan pada kawasan penyedia pangan (food basket). Akibatnya, lebih dari 500 juta petani skala kecil yang menghasilkan 80% sumber pangan dunia menjadi kelompok yang paling rentan.

Oleh karenanya, diperlukan mitigasi dan adapatasi secara sistematis terhadap isu-isu terkait air melalui observasi, monitoring, dan pengumpulan data. Data-data tersebut kelak akan dijadikan baseline bagi stakeholder untuk merumuskan kebijakan terkait air. Pun, dapat dijadikan acuan dalam melakukan mitigasi sebelum bencana akan datang.

 

Dibahas di World Water Forum ke-10

Untuk mencegah air menjadi sesuatu yang merugikan maka isu air akan dibahas oleh delegasi dari 172 negara dunia dalam pertemuan internasional terbesar di bidang air atau World Water Forum ke-10 pada 18--24 Mei 2024. Tujuannya, mewujudkan keadilan dalam pemanfaatan penggunaan air secara setara di seluruh negara dunia.

World Water Forum Ke-10 memiliki tema ‘Water for Shared Prosperity’ yang diterjemahkan ke dalam enam subtema yang dibahas. Yakni, water for human and nature, water security and prosperity, disaster risk reduction and management, governance cooperation and hydro diplomacy, sustainable water finance, dan knowledge and innovation.

Dalam forum yang digelar di Pulau Bali tersebut, Indonesia nantinya membuka ruang diskusi antarpemangku kepentingan yang berasal dari sejumlah kawasan yakni Mediterania, Asia Pasifik, Amerika, dan Afrika bersama negara-negara anggota World Water Council mencari berbagai mekanisme dan pendekatan untuk menyelesaikan isu yang berkaitan dengan air.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, saat ini kesenjangan hak atas air diperparah dengan dampak perubahan iklim. Itu mengakibatkan, air sesuatu yang harusnya membuat kita sejahtera, justru dapat menjadi bencana seperti kekeringan dan banjir.

Dwikorita mengajak pada momen WWF ke-10 mendatang seluruh pihak untuk berkolaborasi bersama membangun kolaborasi multi-helix. Kolaborasi multi-helix tersebut bertujuan untuk membangun masyarakat yang tangguh terhadap bencana--di mana kerja sama dan koordinasi dilakukan melalui lintas sektor dan lintas batas.

Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi semua pihak untuk dapat menyatukan modalitas dan meningkatkan kapasitas. "Salah satu platform untuk menghimpun sinergi adalah melalui forum dialog internasional dan ini akan kita bangun bersama di Bali dalam World Water Forum ke-10," jelasnya pada awal April 2024.

Spirit WWF di Bali, menurut Dwikorita, adalah kolaborasi multisektor, multi-helix, multipihak, multi-nation, multibangsa-bangsa dalam rangka untuk menghadapi dan mengatasi bersama persoalan global utaanya adalah krisis air dan krisis iklim.

Dwikorita meminta keterlibatan pimpinan negara, parlemen, menteri, pemimpin daerah, dan otoritas pengelola air di cekungan-cekungan (basin authorities) untuk menentukan arah demi menyelesaikan masalah yang terjadi berdasarkan data dan kasus di lapangan. Kekuatan politik ini diharapkan dapat mengikat seluruh pihak untuk kerja kolektif menyelesaikan masalah air di dunia.

"Diharapkan ada opsi lanjutan yaitu deklarasi para menteri untuk mewujudkan kesejahteraan air untuk bersama serta ditargetkan adanya centre of excellence on water and climate resilience," pungkas Dwikorita.

 

 

Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari