Tapera hadir sebagai solusi bagi masyarakat berpenghasilan rendah agar dapat memiliki hunian yang layak.
Sejak lahir, setiap manusia memiliki hak yang melekat pada diri mereka, yakni hak untuk hidup sejahtera. Selain pangan dan sandang, hak dasar itu adalah hak untuk bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau.
Di Indonesia, penyelenggaraan perumahan dan permukiman menjadi tugas dan tanggung jawab negara. Hal itu tertera pada Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 28 H Ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Hanya saja, pemenuhan perumahan dan permukiman masih jauh di bawah sektor pendidikan dan kesehatan yang telah mendapatkan anggaran masing-masing sebesar 20% dan 5% dari APBN. Alhasil, hingga kini, belum semua masyarakat dapat menikmati perumahan yang layak.
Mengacu data Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2021, kondisi backlog kepemilikan rumah di Indonesia pada 2021, tercatat mencapai 12,71 juta rumah tangga. Backlog itu semakin bertambah sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk usia produktif yang membutuhkan rumah sebagai dampak atas bonus demografi. Akibat permintaan yang tinggi harga tanah serta rumah terus meningkat.
Peningkatan harga yang terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan peningkatan penghasilan masyarakat ini menjadi faktor yang mempengaruhi rendahnya daya beli masyarakat Indonesia terhadap rumah. Sebagai investasi terbesar rumah tangga, perumahan memerlukan fasilitas pembiayaan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Amanat Undang-Undang
Dalam upaya memenuh kewajiban itu, negara menyelenggarakan pembangunan perumahan dan permukiman bagi rakyat. Selain melaksanakan amanat undang-undang, juga sesuai dengan ketentuan dalam The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights yang diratifikasi melalui UU nomor 11 tahun 2005.
Salah satu solusi mengatasi backlog adalah dengan menyinkronkan UUD 1945, UU nomor 1 tahun 2011, dan UU nomor 5 tahun 2005 sebagai petunjuk dalam mengembangkan dan menyediakan rumah-rumah untuk masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) melalui kepemilikan “rumah swadaya”, “rumah umum”, “rumah khusus”, “rumah negara”, dan “rumah komersial” yang merupakan perpanjangan perlindungan hukum bagi masyarakat terkait penyediaan rumah yang layak.
Sejumlah langkah konkret dalam upaya pemenuhan hunian telah diupayakan pemerintah. Sebagai investasi terbesar rumah tangga, perumahan memerlukan fasilitas pembiayaan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Khusus untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) atau dulu Pegawai Negeri Sipil (PNS), langkah itu ditempuh dengan membentuk Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (BAPERTARUM-PNS).
Berdasarkan Keppres nomor 14 tahun 1993 dan ditetapkan pada 15 Februari 1993, Badan tersebut mengemban tugas untuk membantu membiayai usaha-usaha peningkatan kesejahteraan PNS dalam bidang perumahan baik PNS pusat maupun daerah dengan melakukan pemotongan dari gaji masing-masing PNS dan mengelola tabungan perumahan PNS tersebut.
Pada 24 Maret 2018, BAPERTARUM-PNS dibubarkan dan beralih menjadi Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). Badan baru itu berdasar pada Undang- Undang nomor 4 tahun 2016. Tujuannya, sebagaimana diungkapkan Komisioner Badan Pengelola Tapera Heru Pudyo Nugroho dalam konferensi pers di Kantor Staf Presiden, Jumat (31/5/2024) di Jakarta, adalah untuk meringankan masyarakat mendapatkan hunian yang layak.
Tapera dinilai sebagai solusi pembiayaan rumah jangka panjang di Indonesia. Pemerintah pun berharap program tersebut akan membantu masyarakat khususnya para pekerja untuk memiliki rumah sendiri dengan mudah dan ringan.
"Mengacu pada indeks keterjangkauan residensial, harga rumah dikategorikan terjangkau apabila tidak lebih dari tiga kali penghasilan rumah tangga dalam setahun, atau maksimal indeks tiga," kata Heru Pudyo Nugroho.
KPR Lebih Mudah
Kondisi saat ini, di 12 provinsi di Indonesia harus diakui masyarakat masih sulit untuk mendapatkan kepemilikan hunian dengan harga yang terjangkau dari penghasilan yang mereka dapatkan. Bahkan di beberapa provinsi yang populasinya tinggi seperti di Pulau Jawa dan Bali, angka keterjangkauan residensialnya di atas lima atau sangat tidak terjangkau.
"Permasalahan ini terjadi hampir di semua segmen, baik di masyarakat berpenghasilan rendah, menengah, maupun pekerja kelas atas," ujar dia.
Hal itulah yang membuat Tapera hadir melalui penurunan suku bunga yang pada akhirnya menurunkan besaran angsuran bulanan para peserta. Perhitungan ilustrasinya, jelas dia, adalah terdapat selisih angsuran sebesar Rp1 juta perbulan, jika mengambil satuan rumah susun dengan asumsi harga Rp300 jutaan.
Jika menggunakan KPR komersial, angsurannya kurang lebih Rp3,1 juta perbulan, dengan asumsi bunga 11 persen. Namun jika melalui KPR Tapera hanya Rp2,1 juta perbulan, sudah termasuk tabungan.
Hal itu dikarenakan sebelum mendapatkan manfaat, peserta harus menabung. Upaya ini pun untuk menunjukkan kemampuan dalam mengangsur. "Jadi secara tidak langsung, dengan menjadi anggota Tapera dia nabung setahun, mengajukan KPR itu meningkatkan bank availability dari peserta," jelas dia.
Secara sederhana, Tapera dapat disimpulkan sebagai iuran yang dibayarkan oleh peserta untuk membiayai kebutuhan perumahan. Besaran iurannya adalah 3 persen dari gaji pekerja. Dari jumlah ini, 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja dan 2,5 persen ditanggung oleh pekerja. Dengan kata lain 2,5 persen dari gaji pekerja akan dipotong setiap bulannya untuk iuran Tapera.
Bagi pekerja mandiri atau freelancer, iuran 3 persen tersebut harus ditanggung sepenuhnya oleh diri mereka sendiri. Ini berarti mereka harus lebih bijaksana dalam mengelola keuangan mereka untuk memastikan bahwa mereka dapat memenuhi kewajiban iuran Tapera setiap bulannya.
Melalui program Tapera, pemerintah berharap dapat memberikan solusi jangka panjang bagi permasalahan perumahan di Indonesia, serta meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup para pekerja.
Tapera adalah mekanisme penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu dan hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan atau akan dikembalikan berikut hasil tabungannya ketika pekerja memasuki masa pensiun. Tujuan dari mekanisme ini adalah menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang dan berkelanjutan untuk memudahkan masyarakat mendapatkan pembiayaan perumahan.
Peserta Tapera adalah para pekerja dan pekerja mandiri yang penghasilannya paling sedikit sebesar upah minimum. Semua peserta diwajibkan membayarkan iuran, namun hanya peserta dengan kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang bisa memanfaatkan pembiayaan Tapera. Sedangkan non-MBR hanya bisa dan berhak menerima simpanan dan hasilnya saat pensiun.
Penulis: Dwitri Waluyo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari