Indonesia.go.id - Membangun Ekosistem AI di Indonesia untuk 2030, Potensi dan Tantangan

Membangun Ekosistem AI di Indonesia untuk 2030, Potensi dan Tantangan

  • Administrator
  • Senin, 26 Agustus 2024 | 07:02 WIB
TEKNOLOGI
  Perangkat Starlink Flat High Performance Kit di sejumlah titik di Ibu Kota Nusantara, Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur. Pemasangan perangkat Starlink yang disediakan oleh Tony Blair Institute for Global Change (TBI) ini menandai momen penting dalam upaya peningkatan akses internet di Nusantara yang memiliki visi, yang salah satunya untuk menjadi kota cerdas (smart city). ANTARA FOTO/OIKN TBI
Indonesia berada di ambang transformasi digital besar-besaran dengan potensi Artificial Intelligence (AI) yang luar biasa. Dengan pengembangan infrastruktur dan peningkatan talenta, kita siap menjadi kekuatan utama di ekonomi digital global.

Dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa, Indonesia merupakan pasar yang sangat besar untuk industri teknologi, termasuk kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). Menurut laporan Datareportal 2023, Indonesia memiliki 212 juta pengguna internet dengan tingkat penetrasi mencapai 77%, 167 juta pengguna media sosial, dan 353 juta sambungan seluler aktif.

Data ini menunjukkan adanya potensi signifikan untuk adopsi teknologi baru, termasuk AI. Dari segi ekonomi, penggunaan AI di Indonesia diperkirakan akan memberikan kontribusi sekitar 12 persen terhadap pertumbuhan PDB nasional, yang setara dengan USD366 miliar pada tahun 2030.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa Indonesia menempati peringkat keenam di dunia dengan jumlah startup terbanyak, yaitu 2.646 startup, termasuk 15 unicorn dan 2 decacorn. Ini mencerminkan kesiapan Indonesia untuk menjadi pemain utama dalam era AI.

Secara global, adopsi AI di sektor industri telah mencapai 56 persen, dengan generative AI diperkirakan dapat menyumbang hingga USD4,4 triliun per tahun bagi ekonomi global. Namun, berdasarkan Global AI Index 2023, Indonesia masih berada di peringkat ke-46 dari 62 negara, yang menunjukkan perlunya peningkatan infrastruktur digital untuk menghadapi tantangan dalam pengembangan AI.

 

Tantangan Infrastruktur Digita

Salah satu tantangan utama dalam pengembangan AI di Indonesia adalah ketidakmerataan jaringan internet, terutama di luar Pulau Jawa. Kecepatan rata-rata broadband di Indonesia masih terbilang rendah, dengan fixed broadband mencapai 28,8 Mbps (peringkat ke-8 di ASEAN) dan mobile broadband mencapai 24,6 Mbps (peringkat ke-9 di ASEAN).

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah telah membangun jaringan fiber optik Palapa Ring sepanjang 12.100 km yang menghubungkan 57 kabupaten/kota di Indonesia, menambah base transceiver station (BTS) di 1.600 titik, serta meluncurkan satelit multifungsi Satria-1.

Pusat data juga direncanakan akan dibangun di wilayah Batam, Ibu Kota Nusantara (IKN), dan Jabodetabek. Oleh karena itu, Indonesia diproyeksikan akan membutuhkan 9 juta pekerja IT terampil hingga tahun 2030.

Meskipun jumlah lulusan di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) terus meningkat, permintaan akan talenta di bidang teknologi informasi tumbuh lebih cepat daripada ketersediaannya. Untuk itu, pemerintah mendorong inisiatif pengembangan talenta digital melalui program seperti “Program Literasi Digital Nasional Indonesia Makin Cakap Digital.”

Demi mendukung transformasi digital dan pengembangan AI, pemerintah telah merumuskan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial 2020-2045 sebagai pedoman kebijakan nasional untuk teknologi AI. Pada Desember 2023, pemerintah juga meluncurkan Strategi Nasional Ekonomi Digital dengan salah satu pilar utama yang berfokus pada riset, inovasi, dan pengembangan ekosistem AI di Indonesia.

Untuk memastikan pemanfaatan AI yang seimbang dan bertanggung jawab, pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran tentang Etika Kecerdasan Artifisial.

Selain itu, anggaran tematik "Pembangunan Infrastruktur dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi" sebesar Rp400,3 triliun telah dimasukkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025. Fokus utama dari anggaran TIK ini adalah penyediaan akses internet di 36.830 lokasi layanan publik dan operasional satelit multifungsi SATRIA-1 dengan kapasitas 150 Gbps.

Potensi pasar yang besar di Indonesia juga menarik perhatian perusahaan telekomunikasi global, termasuk Starlink milik Elon Musk. Perusahaan asal AS ini telah memasuki pasar Indonesia dan menurunkan harga perangkat kerasnya hingga 50 persen menjadi Rp3,9 juta untuk mendapatkan penerimaan di pasar lokal.

Meskipun harga ini jauh lebih rendah dibandingkan harga awal Rp7,8 juta, Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) mengingatkan bahwa penurunan harga tersebut merupakan strategi pemasaran untuk mempercepat penetrasi Starlink di Indonesia.

APJII tetap waspada terhadap potensi praktik predatory pricing yang dapat merugikan bisnis penyedia layanan internet (ISP) lokal. Predatory pricing adalah praktik menjual produk atau layanan dengan harga yang sangat rendah untuk menghilangkan persaingan, yang pada akhirnya dapat merugikan konsumen.

Indonesia telah menunjukkan ketangguhannya dalam menghadapi tantangan global, termasuk pandemi Covid-19 dan ketegangan geopolitik di berbagai belahan dunia. Dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil di kisaran 5,0 persen, lebih tinggi dari rata-rata global 3,4 persen, dan penambahan 21,3 juta tenaga kerja baru selama periode 2015-2024, Indonesia siap untuk memasuki era baru dalam transformasi digital.

Dengan langkah-langkah strategis yang diambil oleh pemerintah, termasuk pengembangan infrastruktur digital, peningkatan talenta TIK, dan penerapan etika AI, Indonesia berada di jalur yang tepat untuk menjadi pemain utama dalam ekonomi digital global.

Namun, tantangan masih ada, dan keberhasilan masa depan digital Indonesia akan bergantung pada kemampuan semua pihak untuk bekerja sama dalam mewujudkan visi ini.

 

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari