Indonesia.go.id - Strategi Ekonomi Hijau Indonesia

Strategi Ekonomi Hijau Indonesia

  • Administrator
  • Jumat, 28 Januari 2022 | 11:58 WIB
EKONOMI HIJAU
  Presiden Joko Widodo menghadiri World Economic Forum (WEF) special virtual on Indonesia melalui video konferensi dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat. SETPRES
Presiden Jokowi meyakini bahwa Indonesia berpotensi menjadi pemimpin pasar global dalam skema perdagangan karbon dunia. Bahkan, Indonesia diprediksi mampu mengalahkan Peru, Kenya, dan Brasil, sebagai sesama negara dengan luasan hutan tropis terbesar di dunia.

Dalam sesi tanya jawab pada pertemuan World Economic Forum secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada Kamis, 20 Januari 2022, Presiden Joko Widodo memaparkan strategi kebijakan pemerintah Indonesia dalam rangka mewujudkan ekonomi hijau.

Ekonomi hijau adalah model pembangunan yang menyinergikan antara pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas lingkungan. Harapannya ekonomi hijau ini dapat mendorong peluang kerja baru (green jobs) dan juga peluang investasi baru (green investment).

Menjadi 'hijau' dan berkelanjutan ternyata tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tapi juga membantu membuat bisnis lebih sukses dan menguntungkan. Sejumlah negara telah membuktikan itu.

Di Amerika Serikat, pengembangan energi baru terbarukan (EBT) mampu menyerap tenaga kerja dan memberikan pemasukan yang meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu negara bagian di Amerika, Pennsylvania, mampu menaikkan pendapatan hingga USD460 juta dan menciptakan 44.000 lapangan kerja baru dari EBT. Sedangkan di Britania Raya pada 2014 mampu mencapai pertumbuhan 2,6 persen walaupun emisi GRK menurun 8,4 persen dengan pengelolaan EBT.

Studi Penilaian Ekosistem Hutan (Forest Ecosystem Valuation Study) mengungkapkan bahwa penerapan ekonomi hijau menyumbang lebih banyak manfaat bagi suatu negara dibandingkan bisnis yang dijalankan secara biasa. Adapun, ekonomi hijau merupakan paradigma ekonomi baru yang meminimalkan faktor kerusakan lingkungan dan diharapkan dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Adapun strategi yang diungkap Presiden Joko Widodo dalam rangka mewujudkan ekonomi hijau tersebut, yaitu pertama, melalui pembangunan rendah karbon sebagaimana yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024. Kedua, kebijakan net zero emissions. Diterbitkannya peta jalan untuk mencapai net zero emission pada 2060, termasuk net sink sektor kehutanan dan lahan tahun 2030. Ketiga, pemberian sejumlah stimulus hijau untuk mendorong peningkatan realisasi ekonomi hijau.

Kepala Negara juga menjelaskan bahwa upaya konservasi dan restorasi lingkungan cukup berhasil dalam beberapa tahun terakhir. Menurutnya, laju deforestasi turun signifikan sampai 75 persen pada periode tahun 2019-2020, di angka 115 ribu hektare.

Selain itu, kebakaran hutan juga turun drastis. Jumlah titik panas (hotspot) pada 2021 mencapai 1.369 titik, menurun jauh dari 2014 sebanyak 89.214 titik. Demikian pula dengan luas lahannya yang pada 2021 mencapai 229 ribu hektare, turun dari tahun 2014 yang mencapai 1,7 juta hektare.

Restorasi lahan gambut juga berjalan baik. Pada rentang 2016 hingga 2021, lahan gambut seluas 3,74 juta hektare telah direstorasi. Di samping itu, rehabilitasi mangrove dilakukan besar-besaran yang mencakup 50 ribu hektare lahan pada 2020-2021.

"Target 2024 600 ribu hektare, terluas di dunia dengan daya serap karbon empat kali lipat dibanding hutan tropis, bahkan dengan below ground mangrove dapat mencapai 10-12 kali lipat," imbuhnya.

Pemerintah juga telah menyiapkan skema pembiayaan konservasi dan restorasi, yaitu melalui pendirian Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup. Badan tersebut mengelola dana lingkungan hidup yang bersumber dari dalam dan luar negeri dengan prinsip berkelanjutan yang kredibel dan akuntabel.

Perlu diketahui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, KLHK, serta Kementerian Keuangan secara resmi meluncurkan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) pada 9 Oktober 2019.  BPDLH akan mengelola dana senilai 836 juta dolar AS untuk menjalankan berbagai program di sektor kehutanan.

Sejumlah lembaga internasional telah berkomitmen memberikan dana kepada BPDLH. Antara lain, Green Climate Fund (GCF) dengan nilai komitmen mencapai 103,8 juta dolar AS tahun 2021 sampai 2023. REDD+ Norway nilai komitmennya 560 juta dolar AS periode 2021-2030.

Bank Dunia melalui program Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) dengan nilai komitmen 110 juta dolar AS untuk 2021, 2023, dan 2025 khusus untuk Kalimantan Timur. BioCarbon Fund dengan nilai komitmen 60 juta dolar AS yang dikhususkan untuk Jambi tahun 2023–2025.  Ford Foundation mengucurkan 1 juta dolar AS yang digunakan di sektor kehutanan. Dana Bank Dunia sebesar 2 juta dolar AS untuk mengembangkan kapasitas BPDLH dalam melaksanakan tugas.

Selain itu, pemerintah juga melakukan penerbitan green sukuk, yaitu skema pembiayaan inovatif untuk membiayai agenda pembangunan yang ramah lingkungan. Penerbitan government bonds kategori environmental, social, and governance (ESG) bertujuan untuk memperluas basis investasi yang bertanggung jawab secara lingkungan dan sosial.

Pemerintah juga melakukan pengembangan mekanisme nilai ekonomi karbon sebagai insentif bagi pihak swasta dalam mencapai penurunan emisi. Di samping itu, juga menerapkan budget tagging untuk anggaran iklim pada APBN dan menerapkan pajak karbon dalam menangani perubahan iklim.

Presiden Jokowi meyakini bahwa Indonesia berpotensi menjadi pemimpin pasar global dalam skema perdagangan karbon dunia. Bahkan, Indonesia diprediksi mampu mengalahkan potensi perdagangan karbon Peru, Kenya, dan Brasil sebagai sesama negara dengan luasan hutan tropis terbesar di dunia. Pembentukan harga carbon by country di Indonesia juga relatif bersaing dibandingkan negara pionir perdagangan karbon lainnya di dunia seperti Brasil, Peru, dan India.

Indonesia juga telah memiliki beberapa proyek percontohan REDD+ dengan skema Result-Based Payment (RBP), seperti Green Climate Fund (GCF), Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) dan Bio Carbon Fund (BCF) dengan total nilai komitmen sekitar USD273,8 juta.

Sebelumnya Presiden Joko Widodo saat berpidato dalam acara Kompas 100 CEO Forum 2021 di Istana Negara, Jakarta, pada 18 November 2021 menjelaskan bahwa Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam ekonomi hijau (green economy). Untuk itu, pemerintah perlu mulai menata ekonomi hijau tersebut karena di masa depan negara-negara di dunia mulai meninggalkan barang-barang yang berasal dari energi fosil.

“Di G20 omongan kita juga hanya itu-itu saja sudah, orang larinya ke sini semuanya, ke green economy, dan kita sadar kita memiliki kekuatan besar di ekonomi hijau ini. Oleh sebab itu, nanti bulan depan kita akan memulai membangun Green Industrial Park di Kalimantan Utara yang energinya dari green energy, dari Sungai Kayan,” jelas Presiden Joko Widodo

Potensi energi hidro atau (hydro power) yang dimiliki oleh Sungai Kayan diperkirakan bisa memproduksi 11--13 ribu megawatt. Sungai Mamberamo bisa menghasilakan sekitar 24 ribu megawatt. Selain dua sungai itu, Indonesia juga memiliki lebih dari 4.400 sungai sedang dan sungai besar yang juga memiliki potensi untuk menghasilkan energi hijau.

Tak hanya lewat energi hidro, Indonesia juga memiliki energi hijau lainnya dalam bentuk geotermal atau energi panas bumi yang berpotensi menghasilkan 29 ribu megawatt. Selain itu, Indonesia juga masih memiliki potensi energi dari angin dan arus bawah laut.

“Inilah kekuatan yang harus kita sadari dan segera kita manfaatkan untuk ke depan anak cucu kita. Kekuatan ini yang ingin kita siapkan dan sudah nanti di bulan depan ini kita akan mulai tadi Green Industrial Park, satu dulu. Begitu ini jalan, ini sudah mengantre, yang antre ingin masuk karena apa? Energinya hijau. Tapi butuh investasi yang sangat besar dan kita enggak punya kemampuan, sehingga swasta silakan masuk,” paparnya.

 

Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari