Indonesia.go.id - Ketika Sisa Kain Menjadi Sumber Kehidupan, Dari Pinjol ke Perca

Ketika Sisa Kain Menjadi Sumber Kehidupan, Dari Pinjol ke Perca

  • Administrator
  • Kamis, 6 November 2025 | 11:18 WIB
KEMANDIRIAN EKONOMI
  Perajin menyelesaikan pembuatan tas purun dengan ornamen dari kain perca. ANTARA FOTO
Di tangan orang-orang kreatif, sisa kain yang dianggap tak berharga bisa berubah menjadi karya bernilai tinggi. Begitulah kisah yang hidup di sebuah sudut kota di Jawa Barat, di sebuah kampung yang kini dikenal luas sebagai “Kampung Perca”.

Di tangan orang-orang kreatif, sisa kain yang dianggap tak berharga bisa berubah menjadi karya bernilai tinggi. Begitulah kisah yang hidup di sebuah sudut kota di Jawa Barat, di sebuah kampung yang kini dikenal luas sebagai “Kampung Perca”.

Di kampung ini, potongan-potongan kain usang, sisa industri garmen, bisa berubah menjadi harapan baru, ekonomi keluarga yang tumbuh, dan kebanggaan akan kemandirian.

Beberapa tahun lalu, masyarakat di daerah ini hanya melihat tumpukan kain perca sebagai limbah. Warnanya mencolok, potongannya tidak beraturan, dan sering kali hanya menjadi sampah yang memenuhi halaman.

Namun, seiring meningkatnya kesadaran akan pentingnya ekonomi kreatif dan pengelolaan limbah ramah lingkungan, warga mulai berpikir: apa yang bisa dilakukan dengan kain-kain ini? "Dari situlah ide itu muncul. dengan modal mesin jahit sederhana dan semangat gotong royong, sekelompok ibu rumah tangga memulai usaha kecil mengolah kain perca menjadi produk bermanfaat: keset, taplak, sarung bantal, tas, hingga pakaian anak. Tak disangka, hasil karya mereka menarik perhatian pasar lokal. Pesanan mulai berdatangan, baik dari tetangga sekitar, toko oleh-oleh, hingga pemesan daring dari luar daerah," kata Lilis, salah satu Ibu Rumah Tangga di Kampung Perca yang ikut menjadi pengrajin kain perca.

Kini, kain perca yang dulu tak berharga telah menjelma menjadi simbol ketekunan dan kemandirian ekonomi masyarakat.

Menjahit Harapan dari Sisa Kain

Tidak banyak yang tahu, di sudut timur Kota Bogor, tepatnya di Kelurahan Sindangsari, Kecamatan Bogor Timur, terdapat sebuah kampung yang mampu mengubah limbah menjadi berkah, sekaligus menghadirkan wisata berbasis kreativitas masyarakat. Kampung itu dikenal dengan nama Kampung Perca — sebuah kisah nyata tentang kebangkitan ekonomi lokal di tengah keterpurukan akibat pandemi.

Lahirnya Kampung Perca tidak bisa dilepaskan dari masa kelam pandemi Covid-19 yang sempat melumpuhkan perekonomian. Saat pemerintah menerapkan pembatasan mobilitas, banyak warga kehilangan pekerjaan.

Data Pemkot Bogor mencatat, saat terjadi bencana pandemi Covid, di Kelurahan Sindangsari jumlah pengangguran meningkat drastis hingga 52,75 persen, dari 182 menjadi 278 orang, sementara tingkat kemiskinan melonjak dua kali lipat menjadi 1.190 kepala keluarga.

Melihat kondisi ini, warga dan pemerintah setempat berinisiatif mencari solusi. Dalam forum Rembug Warga, masyarakat bersama perangkat kelurahan duduk bersama, membahas potensi yang bisa digerakkan tanpa harus keluar rumah. Dari sanalah muncul ide sederhana namun brilian: mengolah limbah kain perca—sisa produksi pabrik konveksi di sekitar Bogor—menjadi produk bernilai ekonomi.

Dari Limbah Menjadi Berkah

Awalnya, aktivitas dilakukan dalam skala kecil. Beberapa ibu rumah tangga menjahit potongan kain menjadi taplak meja, masker, dan keset. Meski hasilnya belum besar, pendapatan tambahan itu menjadi cahaya harapan di tengah gelapnya pandemi. Lambat laun, usaha kecil tersebut menarik perhatian pemerintah kota.

Pemerintah Kota Bogor bersama Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) dan berbagai stakeholder kemudian turun tangan membantu. Mereka memberikan pelatihan desain, peningkatan kualitas, akses pemasaran, serta dukungan permodalan. Kolaborasi ini menjadi titik balik yang mendorong terbentuknya Kampung Perca sebagai sentra ekonomi kreatif baru di Kota Bogor. “Kami berharap Kampung Perca bisa menjadi daya ungkit bagi percepatan ekonomi Kota Bogor,” ujar Yantie Rachim, Ketua Umum Dekranasda Kota Bogor.

Kolaborasi dan Inovasi Tanpa Henti

Dukungan lintas pihak menghadirkan banyak terobosan. Warga berinovasi menciptakan beragam produk baru dari kain perca — mulai dari celemek, sajadah, tas selempang, sarung tangan memasak, hingga taplak meja dan keset dekoratif.

Tak hanya itu, kolaborasi dengan desainer nasional Adrie Basuki melahirkan lini produk berkelanjutan berupa busana pria dan wanita yang memadukan konsep ramah lingkungan dengan estetika modern.

Kampung ini pun dikembangkan sebagai destinasi wisata kreatif. Pemerintah dan warga bekerja sama mempercantik lingkungan dengan gerbang tematik, mural, serta pop-up store yang menampilkan hasil karya warga.

Pengunjung yang datang tidak hanya bisa membeli produk, tapi juga menyaksikan langsung proses pembuatan dari sisa kain menjadi barang cantik bernilai jual.

Lebih dari sekadar aktivitas ekonomi, Kampung Perca menjadi ruang belajar dan kebersamaan. Di setiap rumah, suara mesin jahit berdengung sepanjang hari. Para ibu bekerja sambil berbagi cerita, anak-anak membantu memilah kain, sementara kaum muda sibuk mengelola penjualan secara daring.

Kegiatan ini tumbuh menjadi gerakan sosial. Pemerintah daerah dan berbagai instansi terkait turut hadir memberikan pelatihan manajemen usaha, desain produk, serta literasi digital. Dukungan dari kementerian dan lembaga seperti Kementerian Koperasi dan UKM serta Kementerian Perindustrian mendorong warga Kampung Perca naik kelas menjadi pelaku usaha mikro kreatif berbasis komunitas.

Kolaborasi inilah yang menjadikan Kampung Perca bukan hanya tempat memproduksi barang, tetapi juga menjahit asa dan mimpi tentang kehidupan yang lebih baik bagi masyarakatnya.

Ekonomi Kreatif yang Berkelanjutan

Di tangan seorang desainer muda bernama Adrie Basuki, potongan kain yang dulu dianggap tak berguna berubah menjadi simbol harapan dan keberdayaan.

Dalam workshop "Lukisan Kain Marmer Hasil Daur Ulang" yang merupakan rangkaian BCA Syariah Media Workshop: Mewujudkan Keberlanjutan Penuh Berkah” di Bogor, Sabtu (1/11/2025), Adrie Basuki menceriterakan perjalanannya di dunia mode yang dimulai sejak usia 18 tahun.

Adrie mengakui, perjalanannya sebagai disainer tak semulus benang yang ditenun rapi. “Orang tua saya ingin saya sekolah bisnis dulu,” ujarnya sambil tersenyum mengingat masa itu. Setelah menuntaskan studi bisnis, barulah ia diizinkan menempuh pendidikan fashion di London. “Sekolah di luar negeri membuka mata saya bahwa dunia mode tak hanya soal gaya, tapi juga tanggung jawab terhadap bumi,” tutur Adrie.

Dari sanalah, lanjut Adrie, benih kepeduliannya pada sustainability tumbuh. Ia belajar bahwa setiap potong kain memiliki cerita — dan setiap limbah yang tersisa bisa menjadi awal sesuatu yang baru. “DNA brand kami adalah circular zero waste. Kami berusaha mengolah kain daur ulang sampai benar-benar tak menyisakan limbah,” katanya.

Namun kisah paling bermakna justru dimulai ketika Adri memutuskan kembali ke Indonesia dan bertemu para ibu di sebuah kampung kecil di Bogor pada 2019. “Waktu itu, ibu-ibu di sana banyak yang menjadi korban pinjaman online (pinjol). Mereka kehilangan rumah, pekerjaan, bahkan keluarga,” kenangnya pelan. Adrie pun teringat sebuah papan di ujung kampung bertuliskan tegas: ‘Lintah darat dan pinjol dilarang masuk’. Dari sanalah, semangat perubahan mulai dijahit.

Di lantai tiga sebuah konveksi yang sudah tak terpakai, Adrie dan para ibu mulai bereksperimen dengan kain perca. Potongan-potongan kecil yang biasanya hanya menjadi lap, mereka olah dengan tangan dan imajinasi, menjadi kain dengan pola berpadu seperti lukisan marmer. “Awalnya kami hanya coba-coba. Tapi dari percobaan itulah lahir kain marmer yang akhirnya jadi identitas kami,” ujar Adrie bangga.

Hasil kerja keras itu tidak sia-sia. Pada 2021, Adrie membawa karya kain marmernya ke ajang Jakarta Fashion Week melalui program Lompat Rencana Model. Kain hasil daur ulang yang dibuat bersama ibu-ibu kampung itu berhasil menarik perhatian juri — dan mengantarkan mereka pada kemenangan. “Itu momen yang sangat emosional. Rasanya seperti pembuktian bahwa dari sisa kain pun, kita bisa menciptakan sesuatu yang bernilai,” katanya.

Kini, Kampung Perca bukan sekadar tempat produksi kain daur ulang. Ia telah menjelma menjadi ruang pembelajaran dan pemberdayaan. Para ibu yang dulunya terjerat utang kini menemukan makna baru dalam setiap jahitan. Mereka tak hanya menata kembali ekonomi keluarga, tetapi juga merajut kembali rasa percaya diri yang sempat hilang. “Yang terpenting buat saya bukan sekadar menghasilkan kain baru, tapi menciptakan kesempatan baru. Saya ingin ibu-ibu bisa mandiri, bisa berkarya, dan menyadari bahwa karya mereka berharga,” tutur Adrie. 

Di setiap helaian kain marmer yang mereka hasilkan, tersimpan kisah perjuangan, ketekunan, dan asa. Dari tumpukan sisa kain, mereka menjahit masa depan — bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk generasi berikutnya.

Kini, nama Kampung Perca menjadi simbol semangat masyarakat yang pantang menyerah. Setiap helai kain yang dijahit bukan sekadar produk, tetapi potongan kisah tentang ketekunan, kreativitas, dan harapan.

Kampung ini mengajarkan bahwa pembangunan ekonomi tidak hanya tentang angka pertumbuhan, tetapi tentang memberi ruang bagi manusia untuk bermimpi dan berkarya.

Dari potongan kain yang terserak, mereka menjahit masa depan. Dan dari Kampung Perca, Indonesia belajar bahwa harapan bisa lahir dari hal yang paling sederhana — asal dijahit dengan semangat dan cinta.

Dorong Literasi Keberlanjutan

Mengajak puluhan jurnalis, PT Bank BCA Syariah menunjukkan komitmennya terhadap prinsip keberlanjutan dengan menghadirkan kegiatan workshop "Lukisan Kain Marmer Hasil Daur Ulang" yang merupakan rangkaian BCA Syariah Media Workshop: Mewujudkan Keberlanjutan Penuh Berkah, di Bogor, Sabtu (1/11/2025).

Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya bank dalam mengedukasi masyarakat, khususnya bagi para jurnalis mengenai pentingnya gaya hidup berkelanjutan dan peran perbankan syariah dalam mendukung ekonomi hijau.

Dalam kegiatan tersebut, BCA Syariah berkolaborasi dengan desainer fashion nasional Adrie Basuki untuk memberikan pelatihan pemanfaatan kembali bahan-bahan tekstil bekas menjadi kain bermotif marble yang bernilai seni tinggi.

Sekretaris Perusahaan BCA Syariah, Muhammad Fikri Hudaya dalam sambutannya menyampaikan bahwa keberlanjutan tidak hanya menjadi tanggung jawab industri tertentu, tetapi juga bagian dari peran lembaga keuangan untuk menjaga masa depan bersama. “Kita tidak hanya mencari profit, tetapi juga berusaha bertahan dan berkembang untuk masa depan, agar hasilnya bisa dinikmati anak-cucu kita,” ujar Fikri.

Ia menjelaskan, kegiatan ini bertujuan memperkenalkan konsep sustainability melalui kegiatan kreatif yang dekat dengan kehidupan masyarakat. “Melalui workshop ini, kami ingin menunjukkan bahwa barang-barang yang tidak terpakai, bahkan kain bekas di rumah, bisa diolah menjadi produk baru bernilai tinggi,” kata Fikri.

Kolaborasi BCA Syariah dengan Adrie Basuki diharapkan menjadi contoh nyata keterlibatan sektor keuangan dalam mendukung ekonomi sirkular dan industri kreatif berbasis daur ulang.

Melalui kegiatan ini, puluhan jurnalis diajak mempraktikkan langsung proses pembuatan kain marble dari potongan kain bekas, yang dapat diolah menjadi busana atau produk fashion lainnya.

Kegiatan ini sekaligus menjadi bentuk engagement antara BCA Syariah dan insan media dalam memperluas literasi keuangan syariah dengan pendekatan kreatif dan berkelanjutan “Kami berharap acara ini bisa menjadi inspirasi dan bekal keterampilan baru bagi peserta. Semoga kolaborasi seperti ini terus berkembang dan membawa manfaat luas bagi masyarakat,” pungkas Fikri.

Kini, Kampung Perca bukan sekadar simbol kreativitas, tetapi juga contoh nyata pemberdayaan ekonomi berbasis potensi lokal. Dari sisa kain yang dulunya tak bernilai, lahirlah produk-produk yang membawa kesejahteraan dan kebanggaan bagi masyarakatnya.

Kampung ini mengajarkan bahwa inovasi tidak selalu lahir dari teknologi tinggi, tetapi dari semangat kolaborasi dan kemauan untuk bangkit bersama.

Dari perca-perca kecil itu, warga Sindangsari menjahit harapan besar: harapan akan kehidupan yang lebih mandiri, kreatif, dan berkelanjutan.

Kampung Perca kini menjadi contoh nyata bagaimana ekonomi sirkular bisa berjalan di tingkat komunitas. Dari limbah menjadi produk bernilai tambah, dari keterbatasan menjadi kekuatan. Model pemberdayaan seperti ini memperlihatkan bahwa pembangunan inklusif tidak selalu harus dimulai dari proyek besar—kadang cukup dari secuil kain, asalkan dijahit dengan ketulusan dan kerja sama.

Pemerintah berkomitmen untuk terus mendukung inisiatif lokal seperti Kampung Perca. Melalui pelatihan, akses permodalan, hingga fasilitasi promosi, berbagai program diarahkan untuk memastikan bahwa ekonomi kreatif benar-benar menjadi penggerak kesejahteraan masyarakat akar rumput.

 

Penulis: Ismadi Amrin
Redaktur: Kristantyo Wisnubroto

Berita ini sudah terbit di infopublik.id: https://infopublik.id/kategori/features/945262/ketika-sisa-kain-menjadi-sumber-kehidupan-dari-pinjol-ke-perca