Penyintas Covid-19 berpeluang mendapatkan penyakit susulan. Gejala paling umum pascainfeksi virus SARS COV-2 adalah kelelahan, sakit kepala, rambut rontok, sesak nafas, gangguan konsentrasi, dan penciuman.
Setelah hampir 100 juta orang terinfeksi dan lebih dari 2 juta di antaranya meninggal, dunia kedokteran kini dihadapkan pada tantangan baru, yakni akibat susulan dari serangan Covid-19. Banyak laporan yang menyebutkan bahwa fenomena susulan itu benar-benar serius dan bersifat jangka panjang.
Pasien Covid-19 pertama di Indonesia, Sita Tyasutami, 32 tahun, bahkan mengungkapkan dirinya mengalami gejala penyakit efek Covid-19 jangka panjang, atau long covid itu, baru 10 bulan setelah sembuh. Sita dinyatakan sembuh pada 13 Maret 2020, dan sesudahnya dia tak merasakan gejala apapun hingga Desember 2020.
Gejala long covid baru dialaminya sekitar Januari 2021. “Sampai Desember tak mengalami efek apapun, ya sudah sehat saja. Aku baru mulai merasakan tanda-tanda long covid itu di bulan Januari 2021. Jadi, sudah lima minggu ini sakit," kata Sita dalam diskusi KPCPEN (Komite Penanggulangan Covid-19) pada Selasa (2/3/2021).
Sita menuturkan gejala-gejala yang muncul pada dirinya, antara lain, menjadi mudah lelah, sulit bernafas, hingga kerontokan rambut. “Waktu dicek memang ada penggumpalan darah seperti banyak pada pasien lainnya. Jadi memang selain itu aku juga baru baca bahwa satu dari lima dari pasien Covid-19 itu mengalami hair loss, itu sampai sekarang masih, dan nafasku pun jadi megap-megap, ngos-ngosan lagi, turun banget sih," ujarnya dalam acara yang dihelat untuk memperingati 1 tahun Covid-19 di Indonesia itu.
Jauh hari sebelumnya, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto mengatakan, fenomena long covid itu banyak dibahas para praktisi kesehatan yang menghadapi fakta di lapangan dan bertugas menanganinya. “Seiring dengan perkembangan, istilah long covid muncul dan WHO ikut mempopulerkannya," kata Agus pada perbincangan yang digelar Satgas Penanggulangan Covid-19 di Jakarta, Desember 2020.
Gejalanya long covid bervariasi, mulai dari kelelahan kronik, sesak nafas, jantung berdebar-debar, nyeri sendi, nyeri otot, pusing kepala, hingga gangguan psikologi seperti depresi dan sulit tidur. Ketua Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini menyatakan, long covidini bukan disebabkan karena virus yang tersisa namun gejala sisa yang muncul setelah dinyatakan sembuh. “Ini terjadi akibat, proses ketika sakit menimbulkan kelainan secara anatomik, yang kemudian mempengaruhi secara fungsional,” jelas Agus.
Contohnya kata Agus, karena ia merupakan seorang dokter paru, ditemukan ada kekakuan pada paru (fibrosis), yang sifatnya menetap selama 2-3 bulan. Maka pasien nafasnya akan menjadi berat dan agak susah. Sekali lagi ia menegaskan, long covid tidak terkait dengan virus yang masih ada. Namun, akibat kelainan anatomi akibat infeksi Covid-19 yang tidak serta-merta hilang meskipun pasien sudah dinyatakan sembuh.
Long covid ini muncul pada semua populasi, hanya proporsinya berbeda. Ia menekankan, gejala ini berpotensi muncul pada pasien dengan penyakit penyerta (komorbid), para usia lanjut, pasien yang memiliki potensi kronik seperti kebiasaan merokok. Penanggulangannya disesuaikan dengan gangguan yang bersifat individual tersebut.
Mayoritas Sakit Kepala
Sebuah temuan menarik disajikan dalam laporan berjudul “More than 50 Long-term effects of COVID-19: a systematicreview and meta-analysis”, yang diunggah melalui journal online medrxiv.org, 31 Januari 2021. Di situ, Sandra Lopez-Leon, seorang ahli farmasi bekerja sama dengan delapan pakar lain dari berbagai ilmu kedokteran (lima orang dari AS, dua Meksiko, dan satu dari Swedia) membuat review tentang dampak lanjutan Covid-19 berdasarkan 82 jurnal medis yang kredibel dari seluruh dunia.
Sebelumnya, Sandra Lopez Leon dan timnya mengumpulkan 15.900 judul jurnal yang terkait dengan long covid. Mereka memilih laporan yang meneliti lebih dari 100 pasien dan mencari irisan tentang keluhan yang umum terjadi. Akhirnya, mereka membedah 82 laporan utama yang melibatkan hampir 48 ribu penyintas, yang merasa mengalami gejala long covid, dalam kurun 14–110 hari pascadinyatakan sembuh dari Covid-19. Kelompok ini ada pada rentang usia 17--87 tahun.
Masing-masing penyintas dapat mengalami beberapa gejala sekaligus. Gejala paling umum adalah kelelahan,yang dialami oleh 58 persen penyintas. Dari jumlah itu, 17 persen disertai gejala berkeringat, 12 persen mengalami penurunan berat badan, 11 persen lagi ngilu-ngilu otot, ada pula yang panas dingin 7 persen, serta hipertensi 1 persen.
Gejala kedua terbesar adalah sakit kepala yaitu 44 persen. Dari kelompok ini, yang disertai kehilangan konsentrasi (27 persen), 21 persen kehilangan penciuman, 16 persen memori otak terganggu, 13 persen kecemasan, demam 11 persen, bahkan stroke 3 persen.
Namun, banyak yang hanya melaporkan satu gejala khusus disertai gejala lain yang minor. Gejala khusus yang umum ialah rambut rontok 25 persen, sesak nafas (dyspnea) dan nafas pendek (polypne) 24 persen. Yang kehilangan indra perasa (lidah) sehingga tak merasakan pahit-manis ada 23 persen. Yang merasa kehilangan indra penciuman 21 persen.
Ada pula yang mengalami batuk-batuk 19 persen, dada tidak nyaman 16 persen, indra pendengaran terganggu 15 persen, gangguan pencernaan 12 persen, jantung berdebar 11 persen, gangguan ginjal 1 persen, irama jantung tidak normal (arhitmia) 0,4 persen, dan masih banyak lainnya.
Sandra Lopez Leon menggarisbawahi bahwa gejala penyakit yang dilaporkan itu tak serta-merta bisa disebut sebagai efek long covid. Perlu penelitian yang lebih spesifik untuk bisa memastikannya. Mereka berharap agar otoritas kedokteran segera menemukan korelasi yang lebih jelas agar bisa disusun prosedur penanganannya.
Yang paling mendesak ialah perlu istilah yang baku untuk menyebut penyakit yang timbul sebagai dampak susulan serangan Covid-19 itu. Sejauh ini, tulis mereka, ada istilah “long haulers”, “post-acute Covid-19”, “persistent Covid-19 symptoms”, “post Covid-19 manifestations”, “long-term Covid-19 effects”, “post Covid-19 syndrome", mungkin ada lagi yang lainnya. Penyeragaman nama ini penting demi penyamaan makna.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari