Presiden Jokowi menyampaikan simpati kepada rakyat Myanmar, seraya mendesak supaya tindak kekerasan dihentikan. Presiden berharap ada solusi damai dan demokratis.
Korban terus berjatuhan. Memasuki pekan ke delapan pascakudeta militer di Myanmar 1 Februari 2021, aksi unjuk rasa terus merebak di berbagai kota. Sampai Minggu (21/3/2021), menurut catatan aktivis hak-hak asasi manusia (HAM) Myanmar, sedikitnya 247 pembela demokrasi telah gugur di berbagai kota dalam aksi-aksi demonstrasi yang berujung ke tindak kekerasan oleh penguasa militer (Tatmadaw) Myanmar.
Namun, masyarakat internasional tidak tinggal diam. Uni Eropa akan menjatuhkan sanksi pada 11 petinggi militer yang disebutnya bertanggung jawab atas kudeta, menindas pengunjuk, dan terlibat aksi kekerasan lainnya semenjak 2018. “Nama-namanya belum bisa kami umumkan, namun dalam waktu dekat akan disampaikan ke publik,” kata Kepala Kebijakan Luar Negeri Josep Borrel, di Brussel, Belgia, Jumat (19/3/2021).
Di antara petinggi Tatmadaw (tentara) militer tersebut, yang santer disebut-sebut masuk ke dalam list pelanggar HAM oleh Uni Eropa adalah pemimpin junta yang sekaligus Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Min Aung Hlaing, yang sekaligus pemimpin junta militer saat ini, Menteri Pertahanan Jenderal Mya Tun Oo, dan Menteri Dalam Jenderal Negeri Soe Htut. Ketiga tokoh ini juga masuk dalam deretan nama yang mendapat sanksi dari Pemerintah AS, Inggris, dan Kanada.
Uni Eropa juga akan menjatuhkan sanksi ekonomi. Sejumlah korporasi nasional Myanmar, yang dianggap terafiliasi dengan junta militer, akan dibekukan segala kegiatan bisnisnya di wilayah Uni Eropa. Dua di antaranya adalah Myanmar Economics Holding Limitee (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation (MEC). Di dua holding itu ada bisnis pertambangan, telekomunikasi, perbankan, manufaktur, dan banyak lainnya.
Namun, negara-negara tetangga di Asia Tenggara (Asean) memilih berhati-hati menyikapi situasi di Myanmar. Presiden Jokowi menyampaikan duka cita dan simpati yang mendalam pada rakyat Myanmar atas jatuhnya korban jiwa akibat bentrokan antara polisi dan rakyat. Indonesia pun mendesak agar penggunaan kekerasan di Myanmar segera dihentikan.
“Atas nama pribadi dan seluruh rakyat Indonesia, saya menyampaikan duka cita dan rasa simpati yang dalam kepada korban dan keluarga korban akibat penggunaan kekerasan di Myanmar," ujar Jokowi dalam keterangan pers virtual yang ditayangkan melalui YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (19/3/2021).
“Indonesia mendesak agar penggunaan kekerasan di Myanmar segera dihentikan, sehingga tidak ada lagi korban yang berjatuhan,” tambahnya.
Indonesia juga mendesak agar dialog dan rekonsiliasi segera dilakukan untuk memulihkan demokrasi, perdamaian, dan stabilitas. “Saya akan segera melakukan pembicaraan dengan Sultan Brunei Darussalam sebagai Ketua ASEAN (tahun ini) agar bisa diselenggarakannya pertemuan tingkat tinggi ASEAN yang membahas krisis di Myanmar," kata Presiden pula.
Sejumlah negara Asean memang menyikasi krisis Myanmar ini secara berbeda. Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei menyampaikan keprihatinannya atas kudeta itu seraya mendesak dilakukannya dialog guna mengembalikan proses demokrasi yang telah dirintis selama lima tahun terakhir. Namun, Thailand, Kamboja, dan Vietnam cenderung tidak mau campur tangan.
Konflik di Myanmar itu bermula dari ketidakpuasan militer atas hasil pemilu yang digelar 8 November 2020. Sepekan sesudahnya, Komisi Pemilu mengonfirmasikan bahwa Partai National League for Democracy (LDN) yang dipimpin oleh tokoh kharismatis Aung San Suu Kyi menang, dengan perolehan 347 kursi. Target 377 kursi yang dipatok oleh LDN ada kemungkinan bisa dicapai.
Parlemen Myanmar memiliki 642 kursi, tapi yang 166 kursi (26 persen) adalah jatah militer. Partai Pembangunan dan Solidaritas Persatuan yang didukung militer hanya dapat meraih 33 kursi. Perhitungan alot. Pihak LDN kemudian mengklaim bisa meraih 399 kursi atau 84 kursi yang diperebutkan. Isu kecurangan pemilu pun dihembus-hembuskan, dan ujungnya ialah kudeta militer. Pihak militer berjanji akan menggelar pemilu ulang dalam 1 tahun.
Namun, para aktivis demokrasi tidak bisa menerimanya. Bagi mereka, isu soal kecurangan pemilu itu kemenangan LND terlalu telak, dan bila didukung sejumlah partai kecil, mereka punya berpeluang mengamandemen Konstitusi 2008, dengan risiko terpinggirnya militer dari kancah politik. Militer pun cepat menggalang dukungan dari partai-partai gurem yang kecewa dengan hasil pemilu. Setelah itu kudeta pun dijalankan.
Namun situasi tidak semudah yang dibayangkan. Mesti sejumlah elite partai kecil berbasis etnis kedaerahan sudah dirangkul, tidak demikian halnya dengan basis massanya. Mereka tidak lagi mendukung kehendak para petinggi militer dan bergabung dalam kekuatan aksi menentang kudeta. Sekitar 600 anggota kepolisian Myanmar pun bergabung ke kelompok pembela demokrasi itu, karena tidak rela seragam mereka dipakai militer untuk menekan dan melakukan kekerasan pada pengunjuk rasa.
Sejumlah negara Asean kagok menyikapi situasi Myanmar. Piagam Asean 2008, mengenai perjanjian noninterfeksi, mengikat agar satu negara tak mencampuri urusan domestik di negeri tetangga. Bahkan, para kepala negara menjaga untuk tak mengeritik kebijakan satu sama lain.
Namun, tenggang rasa itu pun meluntur di depan militer Myanmar. Negara-negara Asean mulai tidak bisa diam pascatindakan kekerasan militer pada etnik Rohingya pada 2017-2018 yang mengakibatkan membanjirnya pengungsi di sejumlah negara tetangga.
Kali ini, militer Myanmar kembali unjuk kekuatan. Tidak heran bila para kepala negara tetangga yang wilayahnya terdampak oleh krisis politik Myanmar menyampaikan keprihatinannya.
Penulis : Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari