Pembatasan kegiatan demi menekan laju penularan Covid-19 tidak bisa terus-menerus diberlakukan. Namun, relaksasi yang tidak tepat dan tidak disertai dukungan penuh masyarakat justru bisa berakibat fatal.
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa-Bali--kemudian diperluas ke 15 daerah lain di tanah air--dilaksanakan sejak 3 Juli 2021 hingga 20 Juli 2021 demi menekan laju lonjakan penularan Covid-19 di tanah air. Sebagaimana diketahui, angka infeksi kasus harian sempat mengalami lonjakan hingga 14 kali lipat.
Di tengah pelaksanaan PPKM Darurat, angka penularan penyakit akibat virus corona mutan itu sempat melambung hingga melewati angka psikologis 50 ribu kasus. Tepatnya pada Rabu (14/7/2021), penularan harian mencapai 54.517 kasus, sehingga total kumulatif orang terpapar virus Covid-19 di Indonesia ketika itu mencapai 2.670.046 kasus.
Melambungnya jumlah penularan harian ketika itu sekaligus menempatkan Indonesia pada urutan pertama dunia, untuk negara dengan kasus harian tertinggi menurut https://www.worldometers.info/coronavirus/. Dalam situs itu, ada lebih dari 100 negara di dunia yang sudah melaporkan data kasus Covid-19 di negaranya. Di bawah Indonesia, ada Inggris dengan jumlah kasus baru terkonfirmasi Covid-19 sebanyak 51.870 orang. Disusul Brazil di peringkat ketiga, dan Amerika di peringkat keempat.
Kini, setelah lebih dari dua pekan lebih kebijakan itu diberlakukan, pemerintah melalui Juru Bicara Satgas Covid-19 Profesor Wiku Adisasmito mengungkapkan, terjadi sejumlah perbaikan situasi kesehatan di tengah pandemi. Yakni, pertama, Wiku dalam keterangan pers virtual mengatakan, terjadi penurunan rasio keterisian tempat tidur di rumah sakit-rumah sakit (bed occupancy ratio/BOR) di Jawa-Bali. Kedua, menurunnya mobilitas penduduk.
Kendati menunjukkan perbaikan situasi kesehatan masyarakat, kebijakan pengetatan seperti halnya PPKM Darurat tidak dapat dilakukan secara terus-menerus. Pasalnya, kebijakan serupa itu membutuhkan sumber daya yang sangat besar dengan risiko korban jiwa yang terlalu tinggi dan memberikan dampak ekonomi.
Sejak Covid-19 ditemukan pertama kali berjangkit di Indonesia, yakni pada 2 Maret 2020, Indonesia telah empat kali memberlakukan kebijakan pengetatan, termasuk PPKM Darurat. Mekanisme pengetatan di tanah air biasanya berlangsung selama 4—8 minggu. Efek dari sejumlah pengetatan yang dilakukan selama ini, menurut Wiku, adalah melandainya angka kasus harian.
Namun dalam pengetatan yang sudah berlangsung dua minggu ini, Wiku menjelaskan, penambahan kasus masih menjadi kendala penanganan yang dihadapi. Hingga kini, sambung dia, kasus masih meningkat 2 kali lipat dengan kasus aktif 542.938 atau 18,65 persen. “Tentu kenaikan ini tidak terlepas dari fakta masuknya variant of concern (VoC) di Indonesia, khususnya varian delta yang penularannya mencapai 661 kasus di Jawa-Bali,” katanya.
Pascapengetatan, Wiku mengatakan, pemerintah kerap memberlakukan langkah relaksasi. Namun ada persoalan, jika relaksasi yang dilakukan dalam kurun 13—20 minggu itu tidak tepat dan tidak didukung oleh seluruh lapisan masyarakat, maka yang terjadi justru memicu kenaikan lebih tinggi angka kasus Covid-29. Kondisi itu pernah terjadi dan mengakibatkan kasus kembali meningkat hingga 14 kali lipat.
Situasi itu, Wiku menegaskan, perlu menjadi refleksi penting pada pengetatan yang kini tengah dilakukan. Sebab pada suatu titik, relaksasi memang harus dilakukan. Disadari, perlunya relaksasi kebijakan yang penuh kehati-hatian, berkaca pada pengetatan dan relaksasi atau langkah gas rem yang diambil pemerintah selama 1,5 tahun negeri dirudung pandemi.
Penanganan Covid-19 dapat berhasil dan efektif, menurut Wiku, bila keputusan relaksasi yang diambil telah dipersiapkan secara matang dan merupakan kesepakatan seluruh unsur pemerintah dan masyarakat. Kedua hal itu, sambung dia, memang menjadi kunci terlaksananya relaksasi yang efektif dan aman serta tidak memicu lonjakan kasus.
“Ini merupakan cara yang paling murah dan mudah dan dapat dijalankan dengan berbagai penyesuaian pada kegiatan masyarakat,” katanya.
Evaluasi PPKM Darurat
Sayangnya, Wiku mengatakan, melalui pembelajaran yang ditemukan di lapangan selama ini, keputusan relaksasi sering tidak diikuti dengan dengan sarana, prasarana, fasyankes, dan pengawasan prokes yang ideal. Relaksasi juga sering disalahartikan, sambung dia, sebagai keadaan aman. “Sehingga prokes dilupakan dan penularan kembali terjadi di masyarakat sehingga kasus kembali meningkat,” katanya.
Dari data monitoring kepatuhan prokes selama seminggu terakhir pemberlakukan PPKM Darurat tahap pertama, Wiku menjelaskan, masih ada 26 persen desa/kelurahan di Indonesia yang menunjukkan kepatuhan rendah dari masyarakat terkait pemakaian masker. Lalu, 28 persen yang tidak patuh dalam menjaga jarak.
“Restoran, pemukiman warga, dan tempat olahraga publik masih kerap menjadi pusat kerumunan yang menunjukkan rendahnya kepatuhan masyarakat,” tuturnya.
Secara lebih rinci, Wiku membeberkan, di Jawa-Bali, Banten menjadi provinsi dengan persentase pelanggaran prokes tertinggi dalam ketaatan penggunaan masker, yakni sebanyak 28,57 persen pelanggaran oleh masyarakat. Sedangkan untuk desa/kelurahan yang paling tidak menaati aturan jaga jarak terdapat di DKI Jakarta dengan persentase sebesar 48,26 persen atau sama dengan hampir setengah kelurahan di DKI Jakarta masyarakatnya tidak patuh menjaga jarak.
Sementara itu, berdasarkan evaluasi penanganan kesehatan, Wiku mengungkapkan, masih terlihat tren penambahan kasus yang masuk ke rumah sakit di sejumlah kota di Jawa-Bali, yakni di Provinsi DIY, Bali, dan Jatim. Sedangkan berdasarkan evaluasi cakupan vaksinasi, ditemukan daerah yang perlu ditingkatkan vaksinasinya yaitu Provinsi Jabar, Jateng, dan Banten.
“Oleh karena itu, ke depannya, fokus penanganan kesehatan dan percepatan vaksinasi akan diutamakan bagi daerah-daerah tersebut. Pemerintah berkomitmen menjamin, setiap orang mampu mengakses vaksin, baik dengan skema program pemerintah ataupun gotong-royong,” katanya.
Presiden juga telah menginstruksikan kepada jajarannya, menurut Wiku, untuk mempercepat pelaksanaan vaksinasi dan menghabiskan stok vaksin di daerah. Sedangkan untuk memastikan ketersediaan vaksin, kata dia, akan ada kedatangan vaksin lebih dari 30 juta dosis pada akhir Agustus 2021.
Kemudian terkait kebutuhan pasokan oksigen, Wiku mengatakan, Kementerian Perindustrian serta BUMN telah bekerja sama dalam peningkatan kapasitas produksi tabung oksigen, pengaktifan kembali operasional pabrik, serta usaha kemitraan dengan perusahaan-perusahaan milik negara. “Upaya ini paralel dilakukan dengan pemenuhan kebutuhan oksigen jangka pendek dengan membeli ke produsen di luar negeri,” ujarnya.
Sedangkan untuk mendukung adaptasi kebiasaan baru dalam menjalankan prokes, Wiku menjelaskan, Kemenkominfo, BNPB, dan TNI-Polri saling bekerja sama untuk melakukan edukasi dan penangkalan hoaks berkelanjutan dalam rangka perubahan perilaku sampai ke tingkat hulu dan upaya pendisiplinan. Hasil evaluasi menunjukkan, sambung dia, masih banyak pelanggaran prokes di tingkat komunitas, sehingga menimbulkan klaster keluarga.
“Sehingga ke depan, program perubahan perilaku masyarakat akan difokuskan di tingkat terkecil, dengan pemberdayaan RT-RW setempat. Pada hal ini, yang harus ditekankan bukan hanya soal persentase kepatuhan, tapi memastikan setiap orang harus menjalankan prokes secara sempurna dan bersamaan,” paparnya.
Evaluasi terhadap beberapa kebijakan yang diberlakukan, baik itu yang tertuang dalam Inmendagri, SE Pelaku Perjalanan, SE Kegiatan Peribadatan dan Tradisi Keagamaan, hingga pedoman dalam menjalankan kegiatan belajar-mengajar yang dibuat dan disesuaikan dengan kondisi Covid-19 yang dinamis, Wiku mengakui, penerapannya di seluruh kabupaten/kota di Indonesia secara serentak masih belum sempurna. Oleh karena itu ke depannya, sambung dia, pemerintah daerah diimbau untuk terus mengevaluasi pengendalian secara berjenjang di semua sektor secara komprehensif.
Petunjuk Langkah Relaksasi
Pelaksanaan pengawasan dan tindak tegas protokol kesehatan (prokes), menurut Wiku, perlu direncanakan dengan matang, sebelum relaksasi dilakukan. Tak hanya itu, Wiku juga merincikan lebih jauh hal-hal yang diperlukan untuk mengiringi langkah relaksasi.
Pertama, adanya komitmen seluruh unsur, juga dari pemda, TNI-Polri, puskesmas, hingga ketua RT-RW untuk menjalankan penanganan dengan baik. “Hal Ini penting sebagai modal melaksanakan relaksasi yang aman dan efektif,” katanya.
Yang kedua, Wiku menjelaskan, perlunya rencana dan evaluasi yang matang. Hal itu termasuk, sambung dia, melakukan perencanaan terkait sasaran, ruang lingkup, metode penanganan. “Ini menjadi penting untuk mencapai keefektifan penanganan. Selain itu, evaluasi berkala juga harus dilakukan agar kualitas penanganan dapat terus ditingkatkan,” ujarnya.
Ketiga, perlu ada persiapan sarana dan prasarana sesuai proyeksi kasus. Dalam hal ini, Wiku menekankan pentingnya pemantauan atas ketersediaan tempat tidur, tenaga kesehatan, alat kesehatan, dan obat-obatan. Selain menyiapkan buffer atau rencana penambahan, kata dia, bila kasus kembali melonjak.
Keempat adalah pentingnya tindak tegas pelanggaran. Saat ini, Wiku mengatakan, kerumunan di wilayah pemukiman warga bahkan di kota-kota besar masih banyak terjadi. Itu menunjukkan, sambung dia, belum menyeluruhnya operasi yustisi dan penindakan pelanggaran. “Sehingga, perlu ada perencanaan wilayah target dan jadwal rutin patroli pengawasan dan tindakan tegas,” katanya.
Kelima, terkait pada urgensi adanya pemahaman masyarakat. Wiku meyakini, pemahaman masyarakat memiliki dampak sangat besar dalam keberhasilan menekan kasus selama periode relaksasi. Bahkan, kata dia, keberhasilan relaksasi bergantung dari seberapa kompak komitmen masyarakat.
“Jika hanya sebagian masyarakat disiplin dan sebagian masyarakat abai tentu tidak akan berhasil. Dalam hal ini, peran RT-RW menjadi sangat besar dalam memastikan warganya menjalankan prokes. Ketua RT-RW harus menjadi contoh dengan tidak mengizinkan adanya kerumunan di pemukiman dan mengingatkan selalu menggunakan masker bila keluar rumah,” katanya.
Disadari, menurut Wiku, hal itu memang menjadi beban berat bagi RT-RW, untuk terus memonitor masing-masing warganya. Hanya saja, meski sulit, Wiku meyakini pengawasan bisa terus dilakukan dengan prinsip menyelami, menghubungi, mempengaruhi, dan mengajak warga untuk menjalankan prokes.
“Berkoordinasilah dengan unsur TNI-Polri dan puskesmas, jika berhasil tingkatkan kedisiplinan prokes, berarti telah berkontribusi dalam menekan Covid-19 hingga tingkat nasional,” jelas Wiku.
Penulis: Ratna Nuraini
Redaktur: Elvira Inda Sari