Indonesia.go.id - Sang Akademisi yang Politikus

Sang Akademisi yang Politikus

  • Administrator
  • Jumat, 25 Oktober 2019 | 18:45 WIB
PIMPINAN MPR
  Hidayat Nur Wahid. Foto: Dok. PKS

Hidayat tercatat dalam tiga besar calon legislatif dengan suara terbanyak di peringkat tiga setelah Puan Maharani (PDIP) dan Cornelis, juga dari PDIP.

Lebih banyak bergerak di bidang tarbiyah (pendidikan), itulah label yang lebih tepat melekat pada Hidayat Nur Wahid, figur yang terpilih kembali menjadi wakil ketua MPR periode 2019-2024 dari unsur fraksi Partai Kesejahteraan Sosial (PKS).

Wajar saja, latar belakang itu melekat pada tokoh pendiri PKS ini. Pasalnya, kedua orang tua Hidayat adalah pendidik. Hidayat adalah anak sulung dari tujuh bersaudara dari pasangan H Muhammad Syukri dan Siti Rahayu.

Sang ayah merupakan seorang guru lulusan IKIP Yogyakarta, sementara sang ibu merupakan guru Taman Kanak-Kanak dan aktivis Aisyiyah Muhammadiyah. Pria kelahiran Kebon Dalem Kidul, Prambanan, Klaten 8 April 1960 ini memulai pendidikan formalnya di SD Negeri Kebondalem, Kidon, dan lulus pada 1972.

Setelah lulus SD, Hidayat yang tertarik mendalami Islam kemudian mendaftar ke Pondok Pesantren Wali Songo di Ngabar, Siman, Ponorogo, sebelum melanjutkan pendidikannya di Pondok Modern Darussalam, Gontor. Lulus pada usia 18 tahun, Hidayat melanjutkan kuliah ke Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakata.

Hanya setahun di UIN Sunan Kalijaga, Hidayat muda pun mendapatkan beasiswa untuk studi sarjana di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi. Dia masuk ke Falkultas Dakwah dan Ushuluddin dan lulus dengan predikat cum laude pada 1983.

Lulus sebagai sarjana, pria yang bila berbicara cukup santun ini melanjutkan pendidikan magister dan doktornya di universitas yang sama. Dalam waktu singkat dia selesaikan dan berhasil menggondol gelar doktor pada usia 32 tahun.

Setelah merampungkan studinya di Arab Saudi, Hidayat memulai kariernya untuk terlibat aktif dalam gerakan tarbiyah (pendidikan) dan ikut mendirikan Yayasan Alumni Timur Tengah.

Dia juga ikut mendirikan lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam (LP2SI) di bawah Yayasan Al-Haramain dan sempat menjadi redaktur jurnal Ma'rifat, majalah terbitan lembaga Haramaian.

Selain itu, dia juga mengajar studi Islam di Universitas Muhammadiyah Jakarta, dosen pascasarjana di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidaytullah dan Universitas Asy-Syafi'iyah, Jakarta.

Bagaimana perjalanannya di bidang politik? Karier Hidayat dalam dunia politik dimulai setelah bergulirnya Era Reformasi. Hidayat menjadi salah satu deklarator Partai Keadilan (PK) yang dideklarasikan di Jakarta, pada 20 Juli 1998, dan terpilih menjadi ketua Dewan Pendiri dan menerima pelantikan menjadi Ketua Majelis Pertimbangan Partai Keadilan.

Pada pascapemilu 1999, PK berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).Hidayat mulai dikenal ketika ia terpilih menjadi presiden PK tanggal 21 Mei 2000, menggantikan  Nurmahmudi Ismail sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan saat pemerintahan Presiden Gus Dur.

Pada pemilu 2004, Hidayat terpilih sebagai anggota DPR dan sekaligus menjadi Ketua MPR 2004-2009. Di rentang karier politiknya, Hidayat sempat mencoba peruntungannya dengan bertarung di Pilgub DKI Jakarta 2012. Hidayat menggandeng politisi PAN Didik Rachbini, tapi belum berhasil.

Kekalahan tidak membuat patah semangat Hidayat, dia tetap beraktivitas seperti biasanya sebagai politikus, akademisi, dan kegiatan ceramah yang tidak pernah ditinggalkan.

Karier politiknya mengalir terus, pada pemilu 2014, dia terpilih kembali menjadi anggota DPR dan didaulat menjadi wakil Ketua MPR RI 2014-2019. Khusus Pemilu 2019, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS itu kembali mencoba peruntungannya untuk menjadi anggota DPR dan ikut bertarung di daerah pemilihan DKI II.

Pria beristrikan Diana Abbas Thalib dan memiliki enam anak itu berhasil memperoleh sebanyak 281.372 suara. Bahkan, Hidayat tercatat dalam tiga besar calon legislatif dengan suara terbanyak peringkat tiga setelah Puan Maharani (PDIP) dan Cornelis juga dari PDIP untuk daerah pemilihan Kalimantan Barat.

Meskipun PKS identik sebagai partai kader berbasis keagamaan, pandangan politik Hidayat bisa dikatakan mewakili garis politik Islam moderat. Indikasi itu tergambarkan dari pandangan politiknya yang juga mempromosikan kerukunan beragama.

Pernyataan Hidayat itu diucapkan ketika kampanye Pilgub DKI Jakarta 2012. Ucapannya di kampanye pada waktu adalah kesiapannya merangkul umat Katolik dalam membangun Jakarta jika terpilih menjadi gubernur, dan mengajak rakyat untuk menciptakan kehidupan beragama yang ‘indah dan berseni’.

Hidayat Nur Wahid juga terkenal sebagai salah satu wakil rakyat yang vokal dalam menyuarakan pencegahan korupsi. Bersama beberapa tokoh nasional, Hidayat juga pernah mendeklarasikan Komite Penyelamat Kekayaan Negara pada 28 Juli 2008.

Bagaimana dengan kekayaannya? Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Hidayat memiliki total kekayaan senilai Rp19.383.507.755.

Rincian kekayaannya ialah harta bergerak terdiri dari dua kendaraan bermotor senilai Rp1.085.000.000, yakni Mobil Toyota Vellfire dan Mobil Mini Cooper. Harta bergerak lainnya senilai Rp500.070.000.

Sementara itu, harta tak bergeraknya terdiri dari delapan tanah dan bangunan senilai Rp15.431.414.000, aset berada di Bekasi, Bogor, Jakarta Barat, dan Jakarta Selatan. Selain itu, surat berharga Rp3.261.500.000 dan kas dan setara kas senilai Rp4.605.523.755. Dia juga memiliki utang sebesar Rp5.500.000.000. (F-1)