Jika sebelumnya Yasona sempat mengundurkan diri sebagai Menkumham karena terpilih jadi anggota DPR-RI dari PDI Perjuangan, maka kini dia justru harus mundur dari parlemen dan lantas berbalik arah kembali ke kantor lamanya di Kuningan.Sudah tentu di kantor lamanya itu, ada banyak tugas berat dan sekaligus menantang yang harus segera diselesaikannya.
Hingar-bingar penolakan gerakan mahasiswa terhadap RUU KUHP, RUU Minerba, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Pertanahan, yang berujung pada penundaan pengesahan empat RUU di DPR, jelas menuntut kepiawaiannya membangun dialog, persuasi, dan komunikasi dengan banyak pihak. Selain sebagai upaya menjaring kembali masukan dan substansi yang lebih baik dari masyarakat, juga penting dilakukan sosialisasi yang maksimal tentang arah kebijakan dan logika hukum dari keempat draf legislasi yang tengah disusun oleh DPR dan Pemerintah.
Tentu, bukan semata empat RUU itu saja. Tugas lain dan nisbi tak kalah berat, juga menantang, pun telah menanti di meja kerja Yasonna. Saat Presiden Jokowi memperkenalkan satu demi satu menteri serta tugas utamanya masing-masing, kepada Yasonna dikatakan:
“Yasonna Hammonangan Laoly sebagai Menteri Hukum dan HAM. Saya harapkan nanti mengawal Omnibus Law: RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU Pemberdayaan UMKM” ujar Presiden Jokowi.
Patut digarisbawahi di sini. Presiden Jokowi pada pidato pertamanya setelah pelantikan juga telah menggarisbawahi isu tersebut. Terkait apa yang hendak dikerjakan oleh Kabinet Indonesia Maju pada lima tahun ke depan, pada poin ketiga Presiden mengatakan:
“Ketiga, segala bentuk kendala regulasi harus kita sederhanakan, harus kita potong, harus kita pangkas. Pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan 2 undang-undang besar. Pertama, UU Cipta Lapangan Kerja. Kedua, UU Pemberdayaan UMKM.
Masing-masing UU tersebut akan menjadi Omnibus law, yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU, bahkan puluhan UU. Puluhan UU yang menghambat penciptaan lapangan kerja langsung direvisi sekaligus. Puluhan UU yang menghambat pengembangan UMKM juga akan langsung direvisi” ujar Jokowi.
Menariknya, keprihatinan Presiden Jokowi ini jauh hari juga telah menjadi keprihatinan banyak praktisi hukum di Indonesia. Dalam Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) ke-4 di Jember pada 10-13 November 2017, yang menghasilkan “Rekomendasi Jember,” juga meminta pemerintah segera merampingkan regulasi di Indonesia karena sudah sangat banyak.
Omnibus law atau juga dikenal dengan istilah omnibus bill, merupakan regulasi atau UU baru yang sengaja dibuat untuk mengatur dan mengamandemen beberapa UU sekaligus. Jelas, bahwa pokok-soal (subject-matter) signifikan yang melatarbelakangi lahirnya omnibus law ialah untuk menyelesaikan problem tumpang tindihnya regulasi dan kewenangan. Problem klise ini bukan semata terjadi antar K/L (Kementerian/Lembaga) di tingkat pusat, namun juga relasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Membuat Omnibus law sebenarnya lazim dipraktikan di beberapa negara. Sebutlah seperti di Irlandia, misalnya, atau juga Kanada dan Amerika Serikat. Namun konsep ini bisa jadi nisbi masih asing di Indonesia. Pasalnya konsep omnibus law sama sekali belum pernah dipraktikan. Inilah tugas berat dan tantang besar yang menanti Yasonna sebagai Menkumham periode kedua, yaitu membuat sebuah kebijakan terobosan hukum baru dan sekaligus pertama di Indonesia.
Sementara, bicara topik isu juga sangat luas spektrumnya. Sebutlah RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU Pemberdayaan UMKM saja, misalnya. Sudah tentu kedua topik ini juga terkait mait dengan isu pembangunan ekonomi dan investasi. Kebijakan omnibus law sebagai upaya memangkas berbagai UU yang terlalu banyak dan saling tumpang-tindih ini, mudah diduga pasti akan bersinggungan dengan banyak kepentingan dari para stake holder.
Oleh karena itu, selain dibutuhkan kemampuan membangun dialog, persuasi dan komunikasi rasional, di sini tentu juga dibutuhkan adanya wawasan akademis yang luas dan kuat sebagai prasyaratnya (sine qua non). Dalam konteks memikul inilah, Yasonna Laoly memang sosok yang tepat dipasang di garda depan. Pasalnya, lelaki kelahiran 27 Mei 1953 di Sorkam-Tapanuli Tengah ini selain dikenal hobi membaca buku, juga berlatarbelakang seorang akademisi.
Seorang Pembelajar
Lulus dari Fakultas Hukum di Universitas Sumatera Utara (USU) pada tahun 1978, bapak dari empat orang anak ini, merujuk laman pribadinya tercatat lima tahun kemudian kembali menempuh sekolah. Pada 1983 – 1984, Yasona mengambil studi Internship in Higher Education Administration – Roanoke College di Amerika Serikat. Kemudian pada 1986, masih di negeri yang sama, Yasonna mengambil master di Virginia Commonwealth University. Dan terakhir di tahun 1994 ia kembali ke negeri Paman Sam itu untuk mengambil program doktoral di North Carolina State University.
Pernah bercita-cita menjadi pendeta, Yasonna mengawali perjalanan karirnya sebagai pengacara independen. dan barulah kemudian sebagai pengajar di Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen. Dari sinilah pula mimpi-mimpinya untuk belajar keluar negeri bisa diwujudkan melalui beasiswa. Sekembalinya ke Indonesia, Yasonna terpilih menjadi Dekan Fakultas Hukum.
Namun karirnya sebagai pengajar, paling tidak untuk saat ini, harus dia tinggalkan. Pada 1997 - 1998 saat Indonesia mengalami situasi chaos dan muncul Gerakan Reformasi, Yasonna terpanggil mendedikasikan dirinya terjun ke dunia politik dan menjadi politisi dari PDI Perjuangan.
Pada Pemilu 1999, Yasonna terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara (1999- 2004) mewakili Kepulauan Nias. Saat ia masih menjadi anggota DPRD, di sela-sela kesibukannya Yasonna masih sering menyempatkan diri mengajar di kampus Universitas HKBP Nommensen Medan dan beberapa program pascasarjana.
Berbekal pengalaman, kapasitas ilmu dan jejaring yang luas itu, Yasonna memutuskan “naik kelas”. Pada Pemilu 2004, ia bertarung jadi salah seorang Caleg DPR RI dari Dapil Sumut I. Ternyata, kerja kerasnya berhasil. PDIP mendapat dua kursi di daerah pemilihan tersebut. Yasonna pun melenggang ke Senayan sebagai legislator.
Pada Pemilu 2009, ia kembali maju sebagai Caleg DPR RI. Namun lokasi basisnya kali ini dipindahkan ke Dapil Sumut II. Lagi-lagi, Dewi Fortuna ternyata masih menemani Yasonna. Pada periode kedua sebagai legislator ini, karirnya semakin melejit. Ia dipercaya menduduki jabatan strategis, di antaranya Ketua Fraksi PDIP MPR RI, Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI.
Mulailah, sejak itu Yasonnna diperhitungkan sebagai politisi. Handal mengemukakan pendapat, bicaranya lantang tapi runtut dan jelas. Retorikanya kuat dan memikat siapapun yang mendengar orasinya. Latarbelakangnya sebagai pengajar membuat kedalaman ilmu dan kekayaan wawasan menjadikan setiap pandangannya terasa tajam dan berbobot. Itulah citra yang terpatri kuat pada Yasonna Laoly.
Spirit sebagai pembelajar inilah, barangkali jadi elannya menjalani hidup. Spirit sebagai pembelajar inilah yang selalu ditekankan oleh Yasonna saat memimpin Kemenkumham. Barangkali karena berlatarbelakang Yasonna selaku pendidik inilah, membuat ia selalu mendorong jajaran ASN/PNS di Kemenkumham untuk mau belajar dan belajar terus tanpa henti. Bukan hanya mendorong jajaran ASN/PNS meningkatkan kemampuan bahasa asing mereka, melainkan di bawah kepemimpinannya akses sekolah ke luar negeri juga dibuka luas bagi para ASN/PNS.
Keseriusannya untuk mendorong jajaran ASN/PNS di Kemenkumhan untuk belajar juga difasiltasinya. Tak tanggung-tanggung, selain melalui LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) di Kemenkeu, beasiswa untuk mengambil master hukum di Loyola University pun disediakan melalui bujet Kemenkumham sendiri. Keseriusan Yasonna jelas kasat mata, momen seleksi bagi ASN/PNS yang hendak sekolah di luar negeri itu bahkan dilakukan sendiri oleh Pak Menteri. (W-1)