Dalam sebuah kunjungan ke Pemerintah Indonesia, Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross memberikan harapan bahwa Indonesia sebenarnya dapat mengejar pertumbuhan ekonominya hingga 7 persen. Asal, bisa memberikan akses pasar setara bagi pebisnis Amerika.
Menurut Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, ada sejumlah perusahaan yang menyatakan keinginannya untuk melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Pemerintah telah melakukan pembahasan teknis dengan delegasi bisnis Amerika Serikat yang ada di Indonesia. Kerja sama ini akan dilakukan pada berbagai sektor, mulai dari penerbangan, kesehatan, dan sektor jasa lainnya.
Perusahan asal AS, seperti Tesla dan Honeywell, disebutkan ingin memanfaatkan perkembangan ekonomi di Indonesia. Tesla Inc merupakan produsen mobil listrik dan energi yang dikenal karena ramah lingkungan. Sedangkan Honeywell International Inc adalah sebuah konglomerat multinasional asal Amerika Serikat yang memproduksi berbagai macam produk komersial dan barang jadi serta sistem aeronautika.
Perusahaan itu juga menyediakan jasa teknik, baik untuk perorangan maupun untuk perusahaan besar dan pemerintahan. Saat ini, Honeywell memiliki tiga grup bisnis strategis, yakni Aerospace, Automation and Control Solution (ACS), dan Performance Materials and Technologies (PMT).
Dalam sebuah pertemuan dengan KADIN, pebisnis AS sangat tertarik masuk ke sektor kepelabuhan dan bandar udara. Terlebih AS saat ini sedang gencar menawarkan mega proyek infrastruktur pesaing One Belt One Road yang diusung Tiongkok, ke negara-negara Asia. Mega proyek tersebut adalah Blue Dot Network yang diinisiasi oleh AS, Jepang, dan Australia.
Dalam kesempatan pertemuan dengan Ross, Airlangga menceritakan bahwa pemerintah Indonesia juga menegaskan komitmennya untuk memfasilitasi kegiatan investasi. Hal ini mencakup langkah mempermudah masuknya investasi karena ada sejumlah permintaan terkait batasan-batasan mengenai permodalan dan kemitraan. Hal tersebut menjadi salah satu poin penting dalam omnibus law yang dijanjikan dalam waktu tiga bulan.
Di sisi lain, terkait dengan pelonggaran ketentuan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dan data center yang merupakan bagian dari peninjauan ulang fasilitas generalized system of preferences (GSP), Airlangga mengklaim, sudah ada komitmen mengenai dua persoalan itu.
Pelonggaran GPN akan dibahas lagi dengan otoritas terkait, yaitu BI (Bank Indonesia) dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Dan setelah negosiasi GSP selesai, pemerintah juga bakal mengajukan kemudahan akses bagi ekspor furnitur dan tekstil ke AS.
Selain itu pemerintah juga melakukan finalisasi GSP dengan perwakilan dari AS. Rencananya pemerintah akan mengirimkan tim di bawah Kementerian Perdagangan untuk mempercepat prosesnya.
Sebelumnya Duta Besar AS untuk Indonesia Joseph Donovan mengungkapkan bahwa perlakuan adil dan kesetaraan akses pasar akan meningkatkan peluang investasi asing bagi Indonesia. Menurut Donovan perusahaan-perusahaan Amerika terkadang harus berpikir dua kali untuk masuk ke Indonesia karena perubahan regulasi yang tidak diterapkan secara merata.
Pemerintah AS juga berkomitmen untuk memperdalam keterlibatannya dengan Indonesia di sejumlah sektor ekonomi, di mana pelaku bisnis AS menunjukkan ketertarikan mereka untuk meningkatkan investasinya pada beberapa sektor utama seperti infrastruktur, energi, kesehatan, dan teknologi.
Donovan menambahkan, cara terbaik untuk menarik lebih banyak investor untuk datang ke Indonesia adalah dengan memperlakukan pengusaha AS existing secara adil.
"Jika mereka diperlakukan adil dan ada potensi yang menjanjikan bagi bisnisnya, minat terhadap investasi di Indonesia akan ikut meningkat," janjinya.
Selain regulasi, kendala utama yang masih dijumpai perusahaan Amerika untuk berbisnis di Indonesia adalah panjangnya DNI (Daftar Negatif Investasi). Misalnya, salah satu syarat yang diminta untuk melakukan bisnis di Indonesia adalah muatan lokal. Syarat itu dipandang berbanding terbalik dengan tren saat ini di banyak negara. Padahal investor ingin membangun rantai pasokan yang lebih luas.
Amerika Serikat merupakan investor terbesar di kawasan Indo-Pasifik, dengan estimasi jumlah investasi sepanjang 2018 di Asean saja lebih dari USD271 miliar. Nilai tersebut lebih tinggi dari investasi AS di Tiongkok maupun Jepang.
Di Indonesia, AS juga merupakan sumber penanaman modal asing terbesar. Sepanjang periode 2013-2017 nilainya diperkirakan mencapai USD38,7 miliar atau sekitar Rp545 triliun. Amerika ingin menggandakan nilai perdagangan dengan Indonesia dari sekitar USD30 miliar per tahun menjadi USD60 miliar.
Memang, dalam sejumlah pertemuan bisnis dengan pengusaha asal AS, Indonesia mendapatkan apresiasi dalam menjaga kondisi perekonomiannya. Namun, para pebisnis Paman Sam juga memberikan sejumlah catatan yang harus diperbaiki oleh Indonesia agar menarik bagi mitra dagang dan investasi bagi pengusaha AS.
Salah satu catatan tersebut misalnya peningkatan produktivitas tenaga kerja Indonesia dan kepastian hukum bagi investasi. Dua hal ini seringkali dibandingkan oleh pengusaha AS dengan kondisi yang terjadi di Vietnam. Selama ini Vietnam memiliki insentif yang menarik seperti pemberian tanah secara gratis ke investor, sementara di Indonesia tidak. Tetapi daya tarik Indonesia adalah sebagai pasar yang besar, yang tidak dimiliki oleh Vietnam.
Sementara itu Presiden RI Joko Widodo telah mengindentifikasi sejumlah isu yang menghambat bisnis asing untuk melakukan ekspansi di Indonesia, seperti menyiapkan regulasi yang lebih transparan. Untuk itu pemerintah akan mempercepat pembahasan upaya reformasi ekosistem investasi untuk mempermudah penanaman modal asing di Indonesia.
Presiden menilai, sejumlah negara kompetitor Indonesia juga berbenah dan memberikan tawaran menarik untuk menggaet investor. Keluhan para investor yang menghadapi kendala karena regulasi, maupun perizinan untuk investasi secara prosedural terlalu berbelit, segera dibenahi. Juga, diskresi aturan yang diterapkan oleh kementerian sehingga menyulitkan investor untuk segera diselesaikan.
Jokowi menegaskan, reformasi ekosistem investasi mulai dari sisi regulasi, kemudahan perizinan, insentif perpajakan, pertanahan, ketenagakerjaan, hingga keamanan sehingga menarik investasi langsung dapat menjadi kunci menghadapi penurunan pertumbuhan ekonomi global. (E-2)