Blok perdagangan melalui Regional Comprehensive Economic Patnership (RCEP/ Perjanjian Kerja Sama Komprehensif Regional) yang mencakup populasi 48% populasi dunia akan segera berlaku paling lambat pada 2022.
Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas bidang ekonomi akhir Oktober 2019 telah meminta menterinya yang terlibat dalam perjanjian perdagangan itu untuk menuntaskan perjanjian dagang dengan sejumlah negara di RCEP.
“Setelah Indonesia dan Australia tuntas melalui CEPA. Saya minta dengan yang lainnya dituntaskan. Saya minta akhir 2020 selesai,” tandas Joko Widodo, Rabu (30/10/2019).
RCEP merupakan perjanjian perdagangan bebas yang melibatkan 10 anggota Asean (Brunai, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam) dan lima negara mitra (Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru).
Perjanjian RCEP ini awalnya dibentuk pada 2011 dengan inisiatif dari Indonesia. Selama ini negara-negara Asean memiliki perjanjian perdagangan bilateral sendiri-sendiri dengan Tiongkok, Jepang, India, Korea Selatan, maupun Australia.
Akhirnya, Indonesia menawarkan agar blok perdagangan kawasan ini semakin diperluas dengan melibatkan negara ekonomi besar yang disebutkan di atas sehingga seluruh negara kawasan merasakan manfaatnya. Perundingan RCEP pertama kali diinisiasi pada KTT Asean di Kamboja pada November 2012.
Masalah RCEP itu juga kembali dibahas dalam KTT Asean ke-35 di Bangkok 2-4 November 2019. Isu RCEP telah menjadi agenda penting dan diharapkan segera diselesaikan secara substansial tahun ini karena RCEP diyakini dapat mendorong kemajuan industri negara-negara kawasan regional tersebut.
RCEP diharapkan sudah berjalan minimal pada 2021 atau paling lambat 2022. Selain 15 negara itu, India juga sebenarnya masuk ke dalam perjanjian itu. Namun pada November 2019, India memutuskan keluar dari perjanjian tersebut.
Dalam konteks Indonesia, perjanjian RCEP dengan seluruh negara Asean dan enam negara mitra regional Asia Pasifik tentu sangat berpengaruh bagi kinerja perdagangan negara ini. Tujuannya tentu agar industri nasional masuk ke dalam proses rantai pasok produksi kawasan.
Indonesia berpeluang mendongkrak perdagangannya melalui skema RCEP ini. Bayangkan, pasar negara yang tergabung ke dalam RCEP mencapai total PDB sebesar 32% PDB dunia. Tidak itu saja, kawasan RCEP menjadi pasar yang besar, sebab 29% perdagangan dunia berada di kawasan ini.
Berkaitan dengan perjanjian RCEP, Direktur Perundingan ASEAN Kementerian Perdagangan (Kemendag) Donna Gultom meyakini putusan RCEP akan tuntas tahun depan.
Implementasi 2022
Donna lantas memperkirakan perjanjian tersebut nantinya bisa diimplementasikan selambat-lambatnya 2022. Dia juga menjelaskan sebenarnya kemarin pembahasan sudah tuntas.
“Namun, baru teksnya saja. Tahun depan kami perkirakan selesai. Tentu setelah itu perlu ada ratifikasi dari DPR dan pengalaman biasanya kita itu lamanya di sini,” ucap Donna di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Jakarta Pusat, Rabu (20/11/2019).
Persoalannya dengan adanya perjanjian RCEP itu, artinya pasar Indonesia menjadi pasar terbuka bagi negara yang terlibat dalam perjanjian perdagangan itu, Donna mengakuinya.
Dia pun juga menambahkan pula bahwa tidak semua perdagangan Indonesia akan dibuka. “Saya menyakini pada 2022 baru akan ada sekitar 65% pasar Indonesia yang terbuka. Indonesia akan menerapkannya secara bertahap.”
Sama dengan Donna Gultom, Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian Rizal Affandi Lukman optimistis perjanjian ini bisa diterapkan dua tahun lagi. “Kalau saya sih, masih optimistis 2021 bisa, tapi ya kita lihat saja nanti,” ujarnya.
Namun terlepas apapun sikap negara tersebut, Indonesia masih berkomitmen penuh untuk menuntaskan negosiasi. RCEP pada dasarnya adalah kebijakan yang membuka akses bagi pergerakan barang, jasa, sampai investasi. Di dalamnya termasuk pembahasan mengenai tarif impor antara negara.
"RCEP memiliki tujuan progresif menghapuskan tarif dan hambatan nontarif serta memfasilitasi dan meningkatkan transparansi antarnegara anggota. Ada peluang yang harus bisa dimanfaatkan yakni pembukaan akses pasar, jasa, dan investasi," jelas Donna Gultom.
Bahkan, Donna menambahkan, melalui RCEP ini diharapkan Indonesia semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan memperkuat integrasi suplai rantai pasok produksi industri nasional sekaligus memanfaatkan potensi dan kapasitas dari negara-negara yang tergabung dalam skema RCEP tersebut.
Persoalan apa yang menjadi andalan Indonesia dan apa hambatannya? Harus diakui Indonesia kini mulai memiliki produk yang berdaya saing termasuk melalui skema RCEP tersebut, antara lain, produk otomotif, kimia, farmasi, elektronik, dan agroindustri.
"Ini kesempatan Indonesia untuk menikmati fasilitas RCEP agar memacu pertumbuhan dan investasi ekonomi. Kalau ini bisa berjalan dengan baik. Saya yakin pada 2045, GDP Indonesia bisa mencapai USD7.000 triliun, jauh melampaui GDP saat ini sekitar USD1.000-an triliun," tukas Rizal Affandi Lukman.
Pendapat Rizal juga diamini Donna Gultom. Yang jelas, RCEP berpotensi besar memajukan industri dalam negeri, khususnya otomotif dan kimia yang didorong untuk paling depan memanfaatkan kerja sama tersebut.
"Saya pikir sektor industri kita lumayan ya, di industri besi dan baja kita dorong meski PR (pekerjaan rumah) kita banyak sekali. Otomotif yang sedang kita garap, kalau kita bisa lebih efisien lagi, mungkin otomotif ini yang paling duluan kita bisa dapatkan manfaatnya. Kemudian industri kimia, farmasi, itu semua yang potensial buat Indonesia," ungkapnya.
Namun demikian, baik Donna Gultom maupun Rizal memberikan peringatan serius agar Indonesia benar-benar menangkap peluang karena masih banyak kendalanya seperti masalah infrastruktur pendukung. Salah satunya seperti pelabuhan untuk ekspor. Persoalan biaya logistik dan konektivitasnya dinilai perlu segera diperbaiki sehingga mampu bersaing di pasar RCEP
"Jadi memang banyak hal yang harus kita siapkan. Korea sudah masuk permintaan farmasi, lalu otomotif juga kita harapkan bertambah dari Jepang. Yang jelas kalau kita merasa belum mampu berdaya saing, kita akan dorong investasi ke sana karena kita ingin meningkatkan kapasitas produksi kita, kemampuan kita ekspor, supaya pada saatnya kita buka itu kita sudah mampu bersaing," tandas keduanya. (F-1)