Indonesia.go.id - Membangun Generasi Unggul di Masa Depan

Membangun Generasi Unggul di Masa Depan

  • Administrator
  • Minggu, 24 November 2019 | 20:54 WIB
SERTIFIKASI PERKAWINAN
  Diskusi Media FMB 9 dengan tema Perlukah Sertifikasi Perkawinan? di Kementerian Kominfo, Jakarta, Rabu (20/11/2019). Foto: IndonesiaGOID/Hermawan Susanto

Persoalan stunting, misalnya, hanya akan mengalami penurunan yang signifikan jika pasangan suami istri memperoleh pendidikan yang benar tentang asupan gizi bernutrisi bagi ibu dan calon anak-anak mereka.

Revitalisasi bimbingan perkawinan adalah istilah yang lebih tepat dibanding dengan isu sertifikasi perkawinan yang berkembang selama ini. Bimbingan perkawinan atau suscatin atau kursus calon pengantin sebenarnya sudah berjalan sejak tahun 90-an. Hanya saja, kegiatan yang dilakukan bersifat praktis atau penyesuaian. Saat ini Kementerian Agama perlu melakukan program bimbingan yang lebih serius. Demikian penjelasan dari Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah Kemenag Mohsen kepada wartawan yang mengikuti diskusi Forum Merdeka Barat 9 yang diselenggarakan pada Jumat, 22 November 2018, di Kementerian Komunikasi dan Informasi, Medan Merdeka Barat, Jakarta.

Selama ini bimbingan yang dilakukan sedikit banyak terkait persoalan fiqih munakahah (tata cara nikah agama Islam). Seperti tata cara melakukan ijab kabul sampai dengan petunjuk mandi wajib atau janabah. Ke depannya, harus lebih dikembangkan  persoalan mempersiapkan keluarga dengan sebaik-baiknya. Di dalamnya harus diajarkan perspektif keadilan dalam berumah tangga hingga kesetaraan. Bahkan ada persoalan hak azasi manusia (HAM) yang diberikan pada calon pengantin. Semua itu tentu memerlukan perencanaan yang baik dari Kementerian Agama. Fasilitator atau petugas yang memberikan bimbingan itu harus mendapat bimbingan teknis yang memadai.

Selain bimbingan sebelum perkawinan, bimbingan pascaperkawinan juga penting, "Bukan hanya bimbingan prapernikahan tapi bimbingan pascapernikahan juga penting," kata Mohsen.

Lima tahun pertama di masa pernikahan, menurut Mohsen, merupakan masa yang rentan terhadap berbagai persoalan. Dan biasanya pada masa ini kerap terjadi perceraian. Oleh karena itu bimbingan pascapernikahan penting untuk menjaga harmoni dan ketahanan keluarga.

Bimbingan pascapernikahan menurut Mohsen bisa diintegrasikan dengan kementerian dan lembaga terkait dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kemendikbud, hingga Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Pembangunan Keluarga Berkualitas

Dokter Hasto Wardoyo, Kepala BKKBN, mengatakan bahwa edukasi kesehatan reproduksi merupakan bekal wajib dalam bimbingan perkawinan. Materi pendidikan ini penting dan menjadi syarat yang diperlukan untuk mendapat sertifikasi perkawinan. Dengan sertifikasi perkawinan diharapkan pembangunan keluarga yang berkualitas akan semakin mudah diwujudkan.

"Kami dari BKKBN merupakan bagian yang bertugas untuk pemberdayaan keluarga. Selama ini kami merasa gemas (prihatin) dengan angka kematian ibu yang masih tinggi. Demikian pula dengan tingkat kematian bayi yang tinggi disertai dengan stunting yang juga tinggi. Sumber tingginya tingkat kematian ibu adalah rendahnya pemahaman masyarakat tentang proses reproduksi (manusia). Peserta bimbingan perkawinan akan mendapat pendidikan yang benar tentang reproduksi manusia. Seperti usia yang tepat untuk hamil dan tahap-tahap kehamilan yang harus dipahami oleh pasangan yang berkeluarga.

"Usia pernikahan yang benar harus dijelaskan pada calon pengantin. Harus dipahami bahwa usia di bawah 19 tahun merupakan usia yang rentan risiko kanker mulut rahim," papar Dokter Hasto. Melalui edukasi kesehatan reproduksi calon suami harus paham agar dia tidak membuat istrinya stres saat sedang mangalami kehamilan karena membahayakan sang bayi. Sedangkan persoalan stunting, misalnya, hanya akan mengalami penurunan yang signifikan jika pasangan suami istri memperoleh pendidikan yang benar tentang asupan gizi bernutrisi bagi ibu dan calon anak-anak mereka.

Perlindungan Anak

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) lebih melihat persoalan sertifikasi perkawinan dalam konteks perlindungan anak. Ghafur Akbar Dharma Putra, Deputi VI Kemenko PMK Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak, yang hadir sebagai pembicara dalam FMB 9, menegaskan pentingnya hal itu mengingat pesan presiden tentang pembangunan sumber daya manusia sebagai prioritas pembangunan periode kedua kepemimpinannya.

Perencanaan keluarga yang diajarkan di dalam bimbingan perkawinan harus dimulai dari hal-hal yang kecil. Membangun kesadaran bersama antara suami istri ketika membangun keluarga adalah hal yang perlu diperhatikan. Bagaimana cara menyelesaikan konflik, bagaimana berbagi peran dalam keluarga, bagaimana berbagi peran pengasuhan anak atau pemenuhan kebutuhan ekonomi tentunya semuanya harus dibicarakan dan dijalankan oleh pasangan yang menikah dengan sebaik-baiknya.

“Bimbingan perkawinan merupakan salah satu cara pemerintah dalam meningkatkan kualitas hidup manusia. Kami meyakini, keluarga yang kokoh, tangguh, dan berketahanan merupakan fondasi dalam menciptakan ketahanan nasional,” papar Akbar tentang bimbingan penting bagi calon pembangun keluarga.

Bimbingan perkawinan adalah usaha nyata untuk mempersiapkan pasangan calon memasuki mahligai rumah tangga. Lantaran itulah, kelak dalam bimbingan perkawinan yang tengah digodok pemerintah akan diisi dengan sejumlah materi terkait. “Antara lain, cara mewujudkan keluarga bahagia. Kemudian bagaimana membangun kesadaran bersama antara suami istri, termasuk soal berbagi peran. Selanjutnya, ada pula materi tentang mewujudkan keluarga sehat dan berkualitas,” katanya menjelaskan gambaran bimbingan yang diperlukan.

"Pemerintah sekarang sudah mempunyai program untuk memberikan bimbingan kemampuan berusaha. Jika dia tidak punya modal pemerintah bisa memberikan kredit usaha kecil. Hal-hal seperti ini juga masuk dalam program bimbingan yang nanti akan diberikan bagi calon pembina keluarga," urai Akbar tentang perlunya membimbing calon orang tua.

Materi-materi itu dinilai penting karena kondisi rumah tangga di Indonesia secara umum, seperti diungkapkan data Susenas 2018, sedikitnya terjadi 11,2% perkawinan anak atau di bawah umur. Bukan hanya itu, sepanjang 2018 pun, berdasarkan data Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung ada sebanyak 375.714 kasus perceraian yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Data lain, dari Kementerian Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Perempuan (KPPPA), juga mengungkap bahwa sebanyak 1.220 pelaku kekerasan keluarga adalah orang tua dan 2.825 pelaku lainnya adalah suami/istri. “Angka-angka itu cukup tinggi. Dan yang lebih menyedihkan lagi, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sepanjang tahun 2017 menunjukkan bahwa sedikitnya 393 anak mengalami kekerasan seksual dalam rumah tangga,” kata Akbar menjelaskan kondisi yang belakangan ini terdata.

Struktur penduduk Indonesia di masa pembangunan manusia seperti sekarang ini jika dilihat di dalam grafik kependudukan besarnya masih di tataran bawah. Artinya persoalan pembangunan generasi usia tumbuh kembang manusia harus diutamakan. Bimbingan perkawinan jelas akan memberikan bekal yang perlu untuk membangun sebuah keluarga yang bahagia sekaligus tangguh menghadapi perkembangan global.  Bimbingan perkawinan akan turut membangun sebuah generasi unggul karena salah satu yang diarahkan adalah upaya untuk mengurangi kemiskinan. (Y-1)