Sorotan kamera tumpah ke sepetak lahan dekat Kompleks Perumahan Batan Indah, Serpong, Tangerang Selatan. Viral ke antero negeri di pertengahan Februari ini. Gara-garanya, ada garis polisi mengitari lahan seluas 200 m2, yang menjadi bagian area terbuka hijau di perumahan itu. Warga diminta untuk tidak melintas di situ per 1 Februari lalu. Alasannya, area tersebut terpapar oleh radiasi nuklir.
Warga Kompleks Batan Indah dan sekitarnya geger. Isu paparan radioaktif di area hijau dekat lapangan voli itu menyebar. Foto TKP (tempat kejadian perkara) beredar di media sosial, lengkap dengan garis polisi, pohon mangga, sirsak, tanjung, pisang, dan sejumlah pohon lain di dalamnya.
Daripada mengundang spekulasi yang tidak menentu, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) pun membuka kasus ini kepada pers 14 Februari lalu. Bapeten mengakui fakta adanya paparan radiasi di sepenggal lahan di dalam Kompleks Batan Indah itu.
Paparan sinar radioaktif itu ditemukan oleh petugas Bapeten saat melakukan pemeriksaan di areal ini pada 30 Januari silam. Inspeksi itu rutin dilakukan hanya di sekitar Puspitek (Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi (Puspitek Serpong), yang di dalamnya terdapat berbagai fasilitas pengembangan teknologi nuklir termasuk Reaktor GA. Siwabessy yang dioperasikan oleh Batan (Badan Tenaga Atom Nasional).
Pada hari itu, petugas Bapeten menyisir beberapa titik di Pamulang, Perumahan Puspiptek, Kawasan Muncul, Kampus ITI, Perumahan Batan Indah, dan Stasiun KA Serpong. Hanya di lahan terbuka dekat Blok J Perumahan Batan Indah itulah sensor radiasi petugas Bapeten memberi isyarat adanya radiasi nuklir yang jauh di atas normal. Beberapa kali dipindai, alarm terus berbunyi. Lokasi pun ditandai.
Esoknya, 31 Januari, petugas Bapeten datang kembali, memeriksa lagi, dan memastikan terjadi kasus cemaran radioaktif. Pihak Bapeten langsung berkoordinasi dengan Ketua RT/RW setempat, memberi tahu apa yang terjadi. Tali pengaman dipasang melingkari lahan yang tercemar, dan warga diwanti-wanti untuk tidak mendekat ke area tersebut.
Hari-hari berikutnya, tenaga teknis dari Bapeten dan Batan terus mengobservasi TKP seraya melakukan tindakan dekontaminasi (penanggulangan paparan radiasi). Mula-mula dicari material radioaktif yang menjadi sumber paparan. Ternyata, ada lima spot yang memancarkan radioaktif, di antaranya berupa sebuah botol. Yang lain hanya berupa serpihan bahan yang telah bercampur tanah dan tak berbentuk. Sumber pencemar itu pun diangkat dan dibawa ke tempat pelimbahan PTLR (Pusat Teknologi Limbah Radioaktif) di Kompleks Batan, Serpong.
Dari pemeriksaan itu juga tersingkap bahwa tanah di sekeliling, batang-batang pohon dan ranting telah terkontaminasi radioaktif. Cirinya, material terkontaminasi itu juga memancarkan radiasi. Maka, tanah-tanah itu digali, dimasukkan ke dalam drum-drum plastik, lantas diangkut ke lokasi pelimbahan nuklir di PTLR Batan Serpong.
Paparan radioaktif di TKP susut drastis. Tapi, masih dianggap belum aman. Maka, penggalian dilanjutkan Selasa (18/2/2020). Beberapa batang pohon ditebang lagi. Tindakan dekontaminasi itu akan perlu waktu setidaknya 20 hari.
Jangkauan paparan radiasi nuklir dipastikan terbatas, hanya di area dengan diameter sekitar 20 meter. Air tanah di sekitar lokasi dipastikan tak tercemar, dan warga aman mengkonsumsi air dari sumur bornya. Namun, ada kekhawatiran warga pun bisa ikut terkontaminasi. Tentu, dosis paparannya tak akan sebesar pohon mangga di situ, karena orang hanya beberapa saat di tempat tersebut, sedangkan pepohonan di situ terpapar 24 jam setiap harinya.
Bapeten mengambil sampel sembilan orang warga untuk diperiksa, demi memastikan kemungkinan mereka ikut menjadi korban paparan nuklir. Pemeriksaan pun sudah dilakukan dan beberapa waktu untuk mengulas hasilnya. Tak bisa buru-buru, karena ini terkait isu sensitif.
Caesium-137
Dari olah TKP itu kemudian ditemukan bahwa paparan radioaktif itu bersumber dari bahan Caesium (Cs-137). Unsur Cs-137 itu berbentuk kristal logam alkali berwarna putih keemasan yang mudah larut dalam air dan membentuk larutan garam. Sifat itu yang membuatnya sulit ditemukan wujud fisiknya. Tim Batan dan Bapeten bisa cepat menemukan keberadaan Caesium ini, antara lain, karena ciri khasnya yang lain memancarkan sinar gamma.
Cs-137 ini beredar sebagai isotop yang diperdagangkan dalam paket piranti khusus. Ia diperlukan untuk sensor piranti pengukur ketebalan kertas, jam atom dengan skala sepersekian detik, dan yang populer adalah untuk tindakan medik radiologi penyakit tumor. Dalam dosis yang tepat, radiasi gammanya bisa menghantam mati sel-sel tumor. Seperti radioaktif lainnya, sinar gamma ini mendorong terjadinya ionisasi pada atom-atom yang ditabraknya. Ionisasi inilah yang merusak sel tumor.
Namun pada sel sehat, ia pun mampu melakukan hal yang sama. Bila ionisasi itu terjadi pada material genetik, bisa terjadi mutasi. Ihwal inilah yang membuat sinar-sinar radioaktif dianggap mendatangkan risiko kanker, kemandulan, dan sejumlah fisik gangguan lain. Cs-137 itu umumnya diperoleh sebagai isotop dari hasil reaksi fisi (pembelahan) Utanium di reaktor nuklir. Ia menjadi hasil ikutan Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Kalaupun ditemukan di alam, itu pun hasil peluruhan Uranium secara alamiah.
Tindak Pidana
Namun, dari mana asal-usul material cemaran isotop Cs-137 di Kompleks Batan Indah itu? Bapeten dan Batan menampik spekulasi ada kebocoran Reaktor GA Siwabessy di Puspitek Serpong. Reaktor serba guna yang dibangun 1988 itu dipastikan dalam keadaan prima. Bila terjadi kebocoran akan menyebar, berdampak pada area yang luas dan mudah terdeteksi.
Maka, kini muncul kecurigaan kuat ada pihak yang tak bertanggung jawab, yang membuang limbah bahan isotop Cs-137 secara sembarangan ke lahan kosong dekat lapangan voli di Kompleks Batan Indah tersebut. Tak heran bila pihak Bapeten kini melibatkan aparatur Polri untuk melakukan penyelidikan.
Pemakaian bahan isotop di Indonesia sudah sejak puluhan tahun lalu untuk berbagai keperluan. Banyak ragamnya dan banyak pula penggunanya. Yang umum ialah Cobalt (Co-60), Iodium (I-123), Technetium (Tc-99), dan Caesium (Cs-137). Dalam keadaan terlarut Tc-99, misalnya, disuntikkan ke tubuh pasien dan akan terserap jantung. Radiasi kecil Tc-99 itu akan ditangkap oleh pemindai dan bisa menggambarkan kondisi jantung secara rinci. Dalam dosis kecil, TC-99 itu tak berbahaya.
Larutan I-123 biasa diinjeksikan ke pasien untuk mendiagnosis organ ginjal. Sementara itu, Cobalt (Co-60) yang memancarkan radiasi gamma, biasa digunakan untuk radiasi tumor, sebagaimana Cs-137. Keruan saja, I-123, Cs-137, dan Co-60 itu banyak digunakan di rumah sakit. Di luar RS, isotop itu diperlukan oleh berbagai industri.
Diperkirakan saat ini ada sekitar 1.200 instansi pengguna teknologi nuklir di Indonesia. Di Jawa Timur misalnya, ada 451 instansi, 339 rumah sakit, dan 122 industri swasta. Untuk mengoperasikan teknologi nuklir itu, semua harus mengantongi izin dari Bapeten dan bersedia untuk diinspeksi penggunaannya. Itu sesuai peraturan yang berlaku sesuai UU Nomor 10/1997 tentang Ketenaganukliran. Maka, Bapeten memiliki catatan siapa saja pemakai bahan radionuklir itu.
Bukan hanya dalam pengoperasiannya Bapeten punya otoritas perizinan dan supervisi, juga dalam hal transportasi, pengemasan, dan pembuangan limbah. Peraturan yang ada saat ini menyebutkan bahwa limbah radioisotop itu hanya ada dua pilihan, yakni dikembalikan ke pabrikan asalnya atau dikirim ke PTLR Batan di Serpong, Tangerang Selatan.
Dengan demikian, oknum yang membawa limbah Cs-137 dan membuangnya di lahan kosong dalam Kompleks Batan Indah itu dianggap melawan hukum dan bisa dipidanakan. Mungkin, tidak akan terlalu sulit bagi Polri mengungkapnya karena pengguna teknologi nuklir itu terbatas, meskipun tak tertutup kemungkinan ada pihak yang memakainya secara diam-diam. Yang lebih sulit adalah menjaga agar peristiwa serupa tak terulang.
Penulis : Putut Tri Husodo
Editor : Ratna Nuraini