Indonesia.go.id - Jibaku Pemerintah Melawan Corona

Jibaku Pemerintah Melawan Corona

  • Administrator
  • Sabtu, 4 April 2020 | 03:46 WIB
STIMULUS EKONOMI
  Ketua DPR Puan Maharani (tengah) bersama pimpinan DPR menerima Surat Presiden (Supres) untuk Perppu 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (kanan) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (2/4/2020). Surat Presiden tersebut tentang pengajuan aturan hukum mengenai tambahan anggaran pemerintah untuk penanganan penyebaran pandemi virus corona (COVID-19). Foto: ANTARA FOTO/Raqilla

Pengesahan anggaran senilai Rp405,1 triliun untuk berperang melawan virus mematikan, corona, tentu bukan hal mudah.

Wabah akibat virus corona yang telah menjangkiti nusantara membuat Presiden Joko Widodo mengambil keputusan cepat. Selasa, 31 Maret 2020, Presiden menggelar telekonferensi dengan wartawan dari Istana Bogor, Jawa Barat.

Dalam kesempatan itu Presiden mengumumkan penggelontoran dana darurat senilai Rp405,1 triliun untuk melawan Covid-19. Stimulus keuangan ini dilakukan untuk tetap menjaga stabilitas ekonomi rakyat dan pelaku usaha, baik kelas mikro, menengah, dan besar karena terdampak oleh virus mematikan ini.

Pengerahan anggaran senilai Rp405,1 triliun ini merupakan jumlah terbesar yang pernah dilakukan dalam sejarah Indonesia untuk mengatasi situasi darurat kemanusiaan.

Negara ini pernah juga mengeluarkan dana darurat terbesar saat musibah gempa dan tsunami melanda Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 26 Desember 2004. Gempa berkekuatan 9 skala Richter ini telah menghilangkan 170 ribu nyawa rakyat Aceh. Jutaan jiwa lainnya harus mengungsi karena tak lagi memiliki tempat berlindung. Kerugian yang diderita rakyat saat itu mencapai Rp41,4 triliun.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, sebanyak Rp50 triliun lebih telah dikucurkan bagi proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pascagempa. Dana sebesar itu pun dikucurkan secara bertahap hingga 10 tahun.

Kembali kepada stimulus yang diberikan presiden untuk melawan virus corona, dana sebanyak Rp405,1 triliun telah dirincikan peruntukannya bagi sejumlah sektor. Termasuk pemulihan ekonomi rakyat dan menjamin keselamatan para tenaga medis sebagai garda terdepan penumpasan virus SARS COV-2 ini.

Pengerahan anggaran senilai Rp405,1 triliun untuk berperang melawan virus mematikan seperti corona tentu bukan hal mudah, terutama bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Sri Mulyani harus rancak berstrategi agar keuangan negara tetap terkendali.

Tapi tidak seluruhnya akan menguras dana pemerintah pusat melalui APBN. Para kepala daerah pun harus menghitung kemungkinan memobilisasi APBD, dari provinsi dan kabupaten-kota untuk digunakan menangkal Covid-19.

Ancang-ancang awal telah dibuat dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor 06 Tahun 2020 tertanggal 15 Maret 2020 untuk pengerahan dana awal sebesar Rp62,3 triliun.

Sumber utamanya adalah pengalihan pos anggaran dinas senilainya Rp43 triliun, di mana separuhnya akan dialihkan bagi perang melawan Covid-19. Pedoman pengalihan anggaran ini pun sudah dikirimkan petunjuk teknisnya kepada seluruh kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah.

Salah satu sumber yang cukup besar adalah dari anggaran Program Dana Desa yang volumenya mencapai Rp72 triliun bagi 74.953 desa di seluruh Indonesia. Dari jumlah sebesar itu, menurut Menkeu, ada sekitar Rp56 triliun hingga Rp59 triliun bisa dialihkan untuk program pemberdayaan masyarakat desa yang terkait dengan penanggulangan Covid-19 di pedesaan.

Menkeu, seperti dikutip dari pernyataan persnya di Jakarta, Rabu (1/4/2020) menjelaskan bahwa sumber pembiayaannya bisa didapat dari Sisa Anggaran Lebih (SAL), dana abadi (endowment fund) yang selama ini disisihkan oleh pemerintah untuk keperluan cadangan serta dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU).

SAL merupakan akumulasi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan (SILPA) tahun lalu. Selain itu, pemerintah juga bisa mendapatkan penambahan dana dari pengurangan penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN.

“Pertama saya punya SAL masih ada Rp160 triliun. Saya masih punya banyak dana abadi yang selama ini dikumpulkan. Masih ada dana BLU,” kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.

Meski lapisan (layer) bagi alternatif pembiayaan memiliki banyak variasi, tetapi Sri Mulyani tidak dapat memastikan berapa lama perang melawan corona ini akan berakhir.

Karena alasan ini pula dirinya merasa percaya diri untuk tidak memohon kepada Gubernur Bank Indonesia untuk digelontorkan Rp400 triliun, misalnya. “Kita masih memiliki banyak lapisan alternatifnya sehingga tidak ujug-ujug meminta kepada Pak Perry (Gubernur BI,red) Rp400 triliun. Tidak seperti itu,” katanya.

Di samping itu, pemerintah juga melakukan penghematan belanja negara sekitar Rp190 triliun, baik dari anggaran kementerian/lembaga maupun transfer ke daerah, dan realokasi cadangan Rp54,6 triliun.

Peluang lainnya bisa memanfaatkan dana talangan yang disiapkan oleh sejumlah lembaga keuangan internasional yang bisa dimanfaatkan pemerintah untuk menangani Covid-19. Bank Dunia telah mengalokasikan pinjaman lunak senilai USD14 miliar (Rp232,4 triliun dengan kurs Rp16.600 per USD).

Demikian pula dengan Dana Moneter Internasional (IMF) yang menyediakan pinjaman segar senilai total USD1 triliun (Rp16.660 triliun) untuk modal memberantas virus corona dan pemulihan ekonomi negara-negara anggotanya. Jordania adalah salah satu negara yang telah mengambil inisiatif meminjam kepada IMF senilai USD1,3 miliar untuk penanganan corona.

 

Hindari Pinjaman Asing

Meski tawaran pinjaman lunak dari Bank Dunia dan IMF menggiurkan dan dapat meringankan keuangan negara, tidak demikian dengan Misbakhun. Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar ini justru menyarankan agar pemerintah lebih memberdayakan layer-layer potensial.

Misalnya dana dari pungutan bea ekspor sawit (levy) di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), dana lingkungan hidup di Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Begitu pula Dana Riset Perguruan Tinggi, serta dana dari Surat Utang Negara (SUN).

Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu ini meminta Menkeu agar menghindari meminjam dari lembaga keuangan internasional. Ia yakin pemerintah masih memiliki banyak dana untuk melawan Covid-19 tanpa harus berutang kepada lembaga donor.

“Saya meminta Menteri Keuangan untuk menghindari tawaran bantuan Bank Dunia dan IMF dalam memerangi Covid-19 ini. Kita tidak ingin terjebak pada bantuan IMF dan Bank Dunia yang sering mengikat pada kebijakan dan policy ekonomi politik Indonesia di masa depan,” kata Anggota Komisi XI DPR RI ini di Jakarta, Rabu (1/4/2020).

Anggaran untuk membasmi infeksi corona bisa juga menggunakan dana milik Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang jumlahnya mencapai Rp150 triliun. Menurut Misbakhun, pemerintah bisa meminjam dana milik LPS untuk cadangan darurat bila ada keperluan mendadak. “Posisinya saat ini sedang tidak digunakan dan siap dipinjam oleh negara bila memang diperlukan,” katanya.

Indonesia juga masih memiliki cukup cadangan devisa yang menurut situs resmi Bank Indonesia (BI) per 31 Maret 2020 mencapai USD130,44 miliar (Rp2.158 triliun). Dengan kondisi seperti ini maka pemerintah cukup menerbitkan open end Surat Utang Negara (SUN) agar dibeli oleh BI dengan bunga di bawah 5 persen.

Jika saja pemerintah menerbitkan SUN senilai USD20 miliar, maka akan diperoleh dana segar sebesar Rp332 triliun. “Angka itu merupakan jumlah yang sangat besar dan memadai untuk melawan virus corona tanpa perlu mengutang kepada Bank Dunia ataupun IMF,” kata Misbakhun. 

Tetapi, dalam situasi seperti ini, ia tak menyarankan untuk diterbitkannya global bond. Itu karena, biaya imbal balik rate return dari SUN yang diterbitkan pemerintah akan sangat mahal.

Penerbitan global bond pada masa-masa seperti ini akan menjadi kesempatan bagi fund manager asing untuk memeras institusi negara yang sedang membutuhkan uang untuk likuiditas jangka pendek dalam rangka mengatasi kebutuhan belanja negara yang mendesak.

 

Penerimaan Negara Berubah

Yang pasti, serangkaian insentif ini tak saja dengan pengalihan penggunaan belanja negara, namun juga mengurangi sisi penerimaan. Menkeu memperkirakan, pendapatan negara akan mengalami penurunan hingga 10 persen dalam APBN 2020 atau negative growth. Penurunan ini membuat kegiatan ekonomi domestik tertekan.

Penurunan pendapatan negara terjadi akibat turunnya kinerja perpajakan, bea cukai, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Penurunan penerimaan pajak tak hanya disebabkan oleh menurunnya aktivitas ekonomi tetapi juga karena dukungan insentif pajak.

Penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) oleh pemerintah dilakukan sebagai stimulus mengurangi dampak Covid-19 ke sektor perekonomian. Sementara itu, PNBP menurun dampak jatuhnya harga komoditas, salah satunya adalah minyak bumi yang terjun bebas di kisaran USD20 per barel.

Di sisi belanja, pemerintah fokus untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), dan membantu dunia usaha dengan total Rp255,1 triliun. Meski begitu pemerintah melakukan penghematan belanja negara sekitar Rp190 triliun dan realokasi cadangan Rp54,6 triliun.

Selain itu, pemerintah mengalokasikan dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp150 triliun. Dukungan pembiayaan ini dilakukan dalam rangka program pemulihan ekonomi nasional setelah berakhirnya pandemi corona di Tanah Air. Dengan postur seperti ini, pemerintah memprediksi APBN 2020 akan mengalami defisit 5,07 persen dari PDB.

 

Penulis: Anton Setiawan
Editor: FH
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini