MUDIK merupakan kegiatan yang sudah menjadi tradisi di masyarakat Indonesia, terutama bagi masyarakat perantau. Warga perantau yang jumlahnya mencapai jutaan jiwa ini berdiam dan mencari nafkah di kota-kota besar seperti Jakarta dan wilayah penyangganya, yakni Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Masa mudik terutama dilakukan saat menjelang Hari Raya Idul Fitri atau lebaran dan telah berlangsung sejak puluhan tahun lalu dengan melibatkan jutaan warga. Seperti dikutip dari laporan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pada Lebaran 2019, sebanyak 14,9 juta perantau asal Jabodetabek melakukan mudik ke berbagai kota di Indonesia dengan moda transportasi darat, udara, dan laut.
Khusus di DKI Jakarta, jumlah pemudik diperkirakan mencapai 7.346.430 jiwa atau setara dengan 2.448.810 keluarga. Jumlah ini naik sebesar 4 persen dari jumlah pemudik tahun 2018 sebesar 7.063.875 jiwa.
Aktivitas mudik yang telah mentradisi dan menjadi sebuah rutinitas setahun sekali ini mampu menggerakkan roda perekonomian di banyak daerah yang didatangi pemudik. Tengok saja perhitungan ekonomi yang dibuat Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) saat lebaran lalu.
Disebutkan bahwa para perantau yang mudik tadi telah membelanjakan sebanyak total Rp10,3 triliun uang di kampung halaman mereka. Angka ini di luar ongkos senilai total Rp6 triliun yang dikeluarkan sebagai biaya transportasi selama perjalanan mudik.
Provinsi Jawa Tengah menjadi penerima limpahan rezeki para perantaunya ketika sebanyak Rp3,8 triliun uang segar mengalir deras. Berturut-turut Jawa Barat mendapat limpahan Rp2,05 triliun dari para perantaunya diikuti Jawa Timur dengan Rp1,3 triliun.
Balitbang Kemenhub mencatat, sebanyak 20,9 persen perantau membelanjakan uangnya sebesar Rp500.000 hingga Rp1,5 juta selama berada di kampung halaman. Sebanyak 20,1 persen lainnya membelanjakan dananya di kisaran Rp1,5 juta sampai Rp2,5 juta. Sisanya membagi rezekinya di atas rata-rata angka tadi.
Larangan Mudik
Presiden Joko Widodo akhirnya secara resmi melarang kegiatan mudik pada Lebaran 2020. Keputusan itu dikeluarkan usai memimpin rapat terbatas yang dilakukan melalui telekonferensi dari Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (21/4/2020).
Pelarangan yang resmi dilakukan mulai 24 April ini untuk mencegah perluasan penyebaran virus corona di wilayah Indonesia. Larangan mudik ini berlaku untuk wilayah Jabodetabek, wilayah yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan zona merah penularan virus corona. Hingga Minggu (26/4/2020), sebanyak 8.882 orang positif menderita Covid-19, 743 orang wafat karena virus tersebut dan 1.107 orang dinyatakan sembuh.
Pelarangan ini diikuti pula oleh penerapan sanksi yang mulai diberlakukan pada 7 Mei 2020 seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Musim Mudik Idul Fitri 1441 H dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Menteri Perhubungan ad interim Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan langkah tersebut diambil usai pemerintah melakukan pelarangan mudik bagi para pekerja di institusi pemerintahan yakni aparatur sipil negara (ASN) dan juga jajaran TNI/Polri.
Keputusan itu dilakukan usai pemerintah melakukan sejumlah kajian dan juga pendalaman langsung di lapangan. Selain itu, Kementerian Perhubungan pun diklaim telah melakukan survei terkait dengan pelarangan mudik tersebut.
Dalam Permenhub Nomor 25 tahun 2020 yang ditetapkan pada 23 April 2020 ini diatur mengenai pelarangan sementara penggunaan sarana transportasi baik itu darat, laut, udara serta perkeretaapian (Pasal 1 Ayat 2). Khususnya yang mengangkut penumpang untuk aktivitas mudik Lebaran 2020, misalnya angkutan umum seperti bus, mobil penumpang, kereta api, pesawat terbang, angkutan sungai danau dan penyeberangan serta kapal laut. Permenhub ini juga mengatur mengenai pemakaian kendaraan, baik mobil ataupun sepeda motor untuk keperluan mudik (Pasal 3).
Permenhub No.25/2020 juga mengatur mengenai larangan penggunaan transportasi yang keluar masuk di wilayah-wilayah seperti wilayah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), zona merah penyebaran Covid-19, dan wilayah aglomerasi yang telah ditetapkan PSBB, seperti misalnya, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).
Untuk pengawasannya, di sektor transportasi darat telah dibangun pos-pos koordinasi (check point) yang lokasinya telah ditentukan titik-titiknya. (Pasal 7 Ayat 2).
Dalam Permenhub juga diatur mengenai pemberian sanksi secara bertahap mulai dari pemberian peringatan dan teguran secara persuasif hingga pemberian sanksi denda untuk para pengguna kendaraan pribadi yang membawa penumpang dengan tujuan untuk mudik.
Tahapannya adalah pada 24 April hingga 7 Mei 2020 akan diberi peringatan dan diarahkan untuk kembali atau berputar balik ke asal perjalanan. Pada 7-31 Mei 2020 diarahkan untuk berputar balik dan dapat dikenakan sanksi denda maupun sanksi lainnya sesuai ketentuan yang berlaku (Pasal 6).
Sanksi yang dimaksud adalah Pasal 93 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dimana setiap pelanggar ketentuan tentang karantina kesehatan dipidana satu tahun penjara dan denda maksimal Rp100 juta.
Larangan sementara ini oleh Kemenhub mulai diberlakukan sejak 24 April 2020 hingga 31 Mei 2020 (Pasal 1 Ayat 3). Khusus untuk kereta api dimulai dari 24 April hingga 15 Juni 2020. Sedangkan untuk kapal laut diberlakukan pada 24 April sampai 8 Juni. Begitu juga untuk angkutan udara pada 24 April sampai dengan 1 Juni 2020.
Pengamat Migrasi dan Kependudukan Universitas Gadjah Mada (UGM) Sukamdi menjelaskan, larangan pemerintah agar masyarakat tidak mudik ke kampung halaman selama masa bencana nasional wabah virus corona sudah efektif. Ada pertimbangan-pertimbangan lain yang membuat orang-orang berpikir dua kali untuk melakukan mudik.
Pertama adalah masalah pembatasan jumlah penumpang transportasi umum terutama di wilayah yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kedua, peraturan di daerah asal yang cukup ketat untuk menerima pemudik dari wilayah-wilayah zona merah virus corona seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Pertimbangan selanjutnya yakni penolakan dari masyarakat daerah asal karena ingin menghindarkan risiko penularan virus corona. Serta pertimbangan individu untuk tidak tertular atau menularkan Covid-19. Terbitnya Permenhub No.25/2020 pun ikut memperkuat niat masyarakat untuk memilih berdiam diri di tempat tinggalnya.
Penulis: Anton Setiawan
Editor: Eri Sutrisno/Elvira
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini