Tak mudah bagi Presiden Joko Widodo memutuskan melarang mudik. Meski wabah corona sudah menyebar ke seluruh provinsi dan sejumlah kabupaten/kota, pemerintah tampaknya tidak mau grasa-grusu. Sebab, mudik--apalagi ketika lebaran--sudah menjadi tradisi bagi para perantau untuk pulang kampung.
"Kami lakukan itu tiga kali survei," kata Menteri Perhubungan ad interim Luhut Binsar Pandjaitan, usai mengikuti rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo di Jakarta, Selasa (21/4/2020).
Hasil survei itulah yang kemudian dijadikan pijakan Presiden Jokowi dalam membuat aturan pelarangan mudik. Menurut Luhut, hasil survei terakhir yang dilakukan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pada 13-15 April 2020 terungkap hampir 24 persen masyarakat masih bersikeras mudik walau pemerintah mengimbau tidak mudik
Presiden memerinci hasil lengkap survei Kementerian Perhubungan itu. Hasil survei, ada 68 persen warga tidak mau mudik, 24 persen masih bersikeras mudik, dan 7 persen sudah mudik. "Artinya masih ada angka yang sangat besar yaitu 24 persen," katanya.
Presentase orang yang tak ingin mudik itu meningkat dibanding dengan hasil survei yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemenhub sebelumnya. Survei yang dilakukan terhadap 43.000 responden di Jabodetabek, menyebut 7 persen warga Jabodetabek memutuskan tetap mudik, 56 persen memutuskan tidak mudik, dan sisanya 37 persen belum memutuskan.
"Angka tujuh persen dari penduduk Jabodetabek lumayan banyak," kata Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kemenhub Polana B Pramesti, Minggu (5/4/2020).
Survei serupa dilakukan lembaga Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC). Dalam survei yang dilakukan secara nasional pada 9-12 April 2020, SMRC melibatkan 1.200 responden di 34 provinsi. Pemilihan responden dilakukan secara acak dan diwawancarai melalui telepon, dengan margin of error 2,9 persen.
Hasilnya? Terdapat 11 persen atau setara 20 juta warga dewasa ingin mudik. Persentase warga paling banyak ada di Jakarta yang mencapai 31 persen. Disusul penduduk Jawa Timur sebesar 12 persen. Sementara Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten masing-masing 10 persen, dan warga Sulawesi Selatan 6 persen menyatakan ingin mudik.
Hasil berbeda terungkap dari survei yang dilakukan Indo Barometer. Dalam survei dilakukan pada 9-15 April 2020 dengan 400 responden di tujuh provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, Banten, Sumatra Utara, dan Sulawesi Selatan), terungkap 86,3 persen warga memilih tidak mudik.
Namun, menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari, masih ada 11,8 persen warga yang menyatakan ingin mudik di tengah pandemi corona ini. "Yang tidak tahu/tidak menjawab hanya dua persen," katanya.
Qodari menyebut sejumlah alasan mereka yang ingin mudik di tengah pagebluk corona ini. Alasan terbesarnya ingin bersilaturahmi dengan keluarga (40,8 persen) dan rindu kampung halaman (17,1 persen).
Menurutnya, ada juga yang beralasan karena mereka tak punya pekerjaan alias menganggur di kota. Lainnya, mereka menganggap mudik menjadi keharusan setiap lebaran karena sudah menjadi tradisi keluarga.
Daerah Tujuan
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada 2019 pernah menyebut, jumlah pemudik pada 2017 mencapai 20 juta, tahun 2018 mencapai 21,6 juta, dan pada 2019 ada 18,3 juta pemudik.
Untuk daerah tujuan mudik, Katadata Insight (KIC) melakukan survei terhadap 2.437 responden pengguna internet di Indonesia. Survei online ini dilakukan pada 29-30 Maret 2020. Hasilnya menyebutkan, pemudik asal Jakarta yang akan mudik ke Jawa Tengah sebanyak 35 persen, Jawa Barat 18,3 persen, dan Jawa Timur 11,7 persen.
Tujuan pemudik ke Jawa Tengah ini juga terungkap dari hasil survei Balitbang Kemenhub tahun 2020. Dari hasil survei kementerian itu disebutkan, sebanyak 24,2 persen pemudik akan mudik ke Jawa Tengah, Jawa Timur sebanyak 23,8 persen, Jawa Barat 12,7 persen, wilayah Jabodetabek 6,3 persen, dan sisanya 33 persen ke daerah lain di Indonesia.
Muasal Mudik
Tak diketahui persis, sejak kapan tradisi mudik terjadi. Sejarawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Silverio Raden Lilik Aji Sampurno memperkirakan, fenomena mudik sudah ada sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam.
Saat itu, wilayah kekuasaan Majapahit hingga ke Sri Lanka dan Semenanjung Malaya. Luasnya kekuasaan Majapahit itu, membuat kerajaan menempatkan sejumlah pejabatnya ke berbagai wilayah. Suatu ketika, pejabat itu akan balik ke pusat kerajaan untuk menghadap raja dan mengunjungi kampung halamannya. Peristiwa inilah yang kemudian dikaitkan dengan mudik.
"Selain berawal dari Majapahit, mudik juga dilakukan oleh pejabat dari Mataram Islam yang berjaga di daerah kekuasaan. Terutama mereka balik menghadap raja pada Idul Fitri," kata Silverio.
Istilah mudik, menurut Silverio, baru tren pada 1970-an. Mereka kembali ke kampung halamannya untuk berkumpul bersama dengan keluarga. "Mudik menurut orang Jawa itu kan dari kata mulih ndisik yang bisa diartikan pulang dulu. Hanya sebentar untuk melihat keluarga, setelah mereka menggelandang (merantau)," ujar Silverio.
Orang Betawi kerap menyebut mereka yang berasal dari luar Betawi sebagai orang udik. Saat orang Jawa pulang ke kampung halamannya, orang Betawi menyebut "mereka akan kembali ke udik."
Secara bahasa akhirnya sebutan itu mengalami penyederhanaan dari udik menjadi mudik. Mudik, terutama menjelang lebaran, memang telah menjadi tradisi yang berlangsung lama dalam kultur masyarakat Indonesia.
Para pemudik adalah mereka yang hijrah ke kota, daerah lain, bahkan negara lain, untuk bertemu kembali dengan keluarga, sanak saudara, kerabat, dan sahabat.
Agus Maladi Irianto dalam tulisannya berjudul "Mudik dan Keretakan Budaya” (2012) mengatakan, tradisi mudik bukan hanya erat kaitannya dengan perayaan Idul Fitri, melainkan juga terkait erat dengan berbagai dimensi kehidupan manusia. Tradisi mudik, kata Agus, paling tidak punya tiga dimensi. Pertama, dimensi spiritual-kultural. Artinya, mudik dianggap sebagai tradisi warisan yang dimiliki sebagian besar masyarakat Jawa.
Mengutip cerpen Umar Kayam Ziarah Lebaran (2002), digambarkan, tradisi mudik terkait dengan kebiasaan petani Jawa mengunjungi tanah kelahiran untuk berziarah ke makam para leluhur. Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, kehidupan duniawi tidak dapat dilepaskan dari kehidupan nanti di alam keabadian. Begitu pula ikatan batin antara yang hidup dan yang mati tidak begitu saja lepas oleh hilangnya nyawa di jasad.
Mereka menganggap berziarah dan mendoakan leluhur adalah kewajiban. Karena itu muncullah tradisi berziarah dalam kurun waktu tertentu meskipun dipisahkan oleh kondisi geografis. Nilai spiritual yang tertanam dalam tradisi berziarah inilah yang kemudian, tulis Agus, berdialektika dengan kultur masyarakat yang kemudian melahirkan tradisi mudik.
Selain dimensi kehidupan manusia, kedua, mudik juga punya dimensi psikologis. Pulang ke kampung halaman, kata Agus, bagi para pemudik bukan hanya sebatas merayakan lebaran bersama keluarga, tetapi juga untuk menghilangkan kepenatan beban kerja. Kerasnya kehidupan kota, bisingnya kota, dan berbagai tekanan kerja lainnya membuat para migran mengalami stres di tempat kerja. Sementara itu keluarga yang menjadi tempat berbagi rasa jauh darinya.
Tenangnya suasana kampung halaman, sejuknya alam pedesaan, ramahnya keluarga dan kerabat, kata Agus, menjadi alasan yang tidak dapat ditolak untuk tidak mudik. Nostalgia kehidupan keluarga di kampung halaman juga menjadi salah satu obat mujarab untuk menghilangkan stres bagi masyarakat migran kota.
Terakhir, menurut Agus, mudik juga mengandung dimensi sosial. Menjadi migran kota dengan setumpuk cerita keberhasilan merupakan sebuah kebanggaan. Mudik menjadi salah satu media untuk mengkomunikasikan cerita keberhasilan sekaligus menaikkan posisinya pada strata sosial yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Cerita sukses hidup di rantau biasanya diwujudkan dalam berbagai bentuk aksesoris dan gaya hidup para migran di tanah kelahiran. Tak pelak pada kondisi terakhir ini mudik juga menjadi media penyalur watak konsumeris dan hedonis.
Watak konsumeris dan hedonis ini bahkan sudah telanjur melekat pada orang yang bekerja di kota. Orang kampung akan menganggap mereka yang berani mudik, berarti sukses di kota. Mereka tak tahu bahwa orang yang berjuang di kota itu banyak juga yang tetap kere.
Almarhum Amarzan Loebis, mantan wartawan senior Tempo, dengan berkelakar mencontohkan, kesuksesan "abal-abal" ini. Kata dia, biasanya saat makan di warung dengan teman-temannya, mereka selalu berebut mentraktir. "Bahkan memilih air mineral saja, mereka memilih yang bermerek Aqua karena minuman itu adalah minuman majikannya," katanya.
Dalam catatan Umar Kayam, menurut Agus, mudik merupakan tradisi lama yang pernah menghilang. Sejak Islam datang, mulai terkikisnya budaya syirik, ziarah menemukan momentum saat lebaran. Apalagi, kultur Jawa yang kemudian diterima oleh kalangan Islam tradisional menghasilkan akulturasi budaya yang harmoni. Perlahan ziarah kubur yang dianggap sebagai syirik dapat diterima oleh kalangan tradisional dengan disisipi ajaran agama.
Mudik pun menjadi salah satu tradisi spiritual bagi masyarakat untuk melakukan ziarah ke makam leluhur. Sayangnya, tradisi mudik yang demikian kemudian luntur lantaran niat mudik hanya untuk sekadar kelangenan (kesenangan), menghamburkan uang, menunjukkan sikap konsumeris dan hedonis.
Dan, tahun ini, karena pagebluk corona, kita semua harus rela menahan diri untuk tidak melakukan tradisi mudik tahunan itu. Demi kita, demi mencegah penyebaran virus penebar Covid-19, demi kampung halaman kita.
Penulis: Fajar WH
Editor: Firman Hidranto/Elvira
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini