Tiga belas hari setelah ditemukannya kasus 1 dan 2 atau tepatnya pada 15 Maret 2020, Presiden Joko Widodo meminta agar masyarakat mengurangi aktivitas di luar rumah. "Saatnya kita kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah," ujar Jokowi dalam konferensi pers di Istana Bogor, Minggu (15/3/2020).
Sejak anjuran itu diumumkan, sejumlah perkantoran pemerintah maupun swasta mulai meminta karyawannya untuk bekerja dari rumah. Begitu juga sekolah. Anak didik diminta mengikuti pembelajaran daring dari rumah. Artinya kurang lebih 1,5 bulan masyarkat melakukan semua aktivitas dari rumah.
Pada minggu-minggu pertama mungkin sebagian masih senang karena bisa bekerja dan berkumpul dengan keluarga. Namun begitu masuk minggu kedua dan seterusnya, sebagian sudah merasa jenuh, bosan, dan juga stres.
Selain membatasi ruang gerak, pandemi covid-19 ini juga menyebabkan sebagian orang kehilangan pekerjaan. Tentu ini juga menjadi masalah tersendiri. Sudah jatuh tertimpa tangga.
Dalam catatan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, hingga 9 April 2020 terdapat 1.506.713 orang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan. Empat hari kemudian jumlah itu bertambah. Pada Senin (13/4/2020) Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengungkapkan, ada 1,6 juta warga terkena PHK dan dirumahkan.
Kehilangan pekerjaan bisa melelahkan secara emosional. Apalagi mengalaminya di saat lingkungan sekitar sedang dalam keadaan penuh ketidakpastian. Hal ini dapat menambah lebih banyak tekanan. "Kita harus menghadapi stres yang semakin akut karena situasi tak menentu ini," ujar Adam Benson, psikolog dari New York, Amerika Serikat.
Kata Adam, kehilangan pekerjaan kerap kali menghasilkan duka, sama seperti saat seseorang kehilangan kekasih. Tahapan emosional dalam berduka pun sama, diawali dengan kekagetan dan penyangkalan, lalu rasa marah dan menawar, kemudian diakhiri dengan penerimaan dan harapan.
Menurut psikolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Laelatus Syifa, ada tiga efek psikologis pandemi corona ini, yakni krisis, uncertainty (ketidakpastian), dan loss of control. Efek krisis biasanya datangnya tiba-tiba. Untuk efek ketidakpastian, kata dia, umumnya dirasakan seseorang dengan kekhawatiran kapan kondisi seperti ini bakal berakhir.
Sedangkan efek loss control, biasanya orang hanya dapat melihat atau mendengar tanpa bisa melakukan hal apapun. "Permisalan dari efek loss of control ini adalah kita bisa melihat bahwa angka kematian terus naik, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa," ujar Latus. Tiga efek itu akan memicu munculnya stres. Jika tekanan makin besar, kata dia, bisa memunculkan ketidakpatuhan seseorang untuk menaati aturan.
Menyadari akan banyaknya tekanan hidup ini, Kantor Staf Presiden (KSP), Rabu (29/4/2020), meluncurkan layanan bantuan konsultasi psikologi untuk sehat dan jiwa atau Sejiwa. Layanan ini akan membantu menangani potensi ancaman tekanan psikologi masyarakat di tengah pagebluk corona.
Layanan Sejiwa ini sangat penting karena masyarakat saat ini menghadapi situasi tak menentu akibat pandemi Covid-19," kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko di Jakarta.
Menurut Moeldoko, ancaman tekanan psikologis itu dibuktikan dengan banyaknya jumlah aduan kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan data lembaga bantuan hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), kata Moeldoko, selama 16-30 Maret terdapat 59 kasus kekerasan perkosaan, pelecehan seksual, dan ponografi daring. Dari jumlah itu, 17 kasus di antaranya kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Berdasarkan laporan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, persoalan Covid-19 ini 20 persen merupakan masalah kesehatan. Sedangkan 80 persen merupakan persoalan psikologis. Masalah psikologis, kata Moeldoko, akan berdampak pada masalah imunitas tubuh.
Untuk menjaga kesehatan warganya itulah, kata Moeldoko, pemerintah meluncurkan layanan Sejiwa. Layanan ini bisa diakses seluruh masyarakat. Masyarakat yang butuh layanan bisa menghubungi hotline 119 ext 8. Penelepon nantinya akan disambungkan ke relawan dari Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi).
Penulis: Fajar WH
Editor: Eris Sutrisno/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini