Dampak pandemi Covid-19 menyodok ke mana-mana, tidak terkecuali industri minyak dan gas (migas). Situasi pasar yang tidak bergairah, harga yang kurang merangsang, dan gangguan atas rantai pasokan, telah mengendurkan kegiatan produksinya. Alhasil, target produksi migas 2021 harus disesuaikan agar lebih realistis. Target produksi pun dipatok 1.68 – 1,72 juta barrel oil equivalent per day (Boepd). Tak banyak kemajuan dari 2020.
Keputusan untuk menetapkan target baru lifting 2020 itu muncul dalam rapat kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan Komisi VII DPR, Senin (29/6/2020). “Tanpa ada produksi dari ladang baru, sulit mendongkrak lifting. Apalagi, ladang migas existing saat ini mengalami penurunan produksi sekitar tiga hingga lima persen per tahun,” ujar Menteri ESDM Arifin Tasrif.
Ketika awal didapuk sebagai Menteri ESDM, Arifin bertekad menggenjot produksi minyak dalam negeri dari sumur yang sudah beroperasi, selain akan mencari minyak dari sumur yang baru, termasuk pengusahaan wilayah kerja migas baru.
Namun, apa lacur wabah pandemi menerpa dunia. Bahkan, harga emas hitam itu sempat terjerembab ke level yang paling rendah dalam sejarah, harganya kolaps hingga di bawah USD10 per barel. Itu terjadi di awal April 2020.
Padahal, negara produsen dunia pernah menikmati minyak dengan rekor USD145 per barel pada 2008. Penyebab harga komoditas itu hancur akibat perang antara Arab Saudi dan Rusia. Mereka sama-sama ngotot menaikkan produksinya di tengah permintaan dunia yang sedang melemah.
Arab Saudi dan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) bersama Rusia pun berusaha mencapai kesepakatan. Namun, kesepakatan itu tak diperoleh. Pasar minyak dunia pun banjir sehingga harga terkoreksi hingga ke paling dasar.
Sontak perang harga bergolak di tengah pandemi yang mulai menyeruak. Berbagai spekulasi bergulir di atas arus wabah. Apakah sudah saatnya harga minyak bumi ambruk? Tentu saja tidak. International Energy Agency (IEA) memprediksi harga komoditas itu akan naik kembali di atas USD40 per barel bila produsen dunia mengurangi angka produksinya.
Indonesia terpapar pula oleh dampak perang minyak itu. Meski produksi minyak dunia sudah kembali dikontrol, harganya masih jeblok. Pada pertengahan Juli ini harganya masih tertahan di kisaran rata-rata USD40 per barel. Para kontraktor migas masih tidak bersemangat melakukan eksplorasi atau eksploitasi. Kondisi ini juga terjadi di Indonesia. Pandemi Covid-19 membuat harga migas tak berkutik.
Dalam konteks Indonesia, pemerintah punya mekanisme untuk harga itu, yakni Indonesia Crude Price (ICP). Sepanjang 2020, tren ICP bisa dikatakan berfluktuasi. Harga komoditas itu sempat tertekan pada periode April yang hanya tercatat USD20,66 per barel. Padahal, ICP selama Januari pernah menyentuh level UD65,38 per barel, Februari (USD56,61), Maret (USD34,23), April USD20,66, dan naik 24,3 persen menjadi USD25,67 pada Mei 2020.
Kompromi
Kondisi harga emas hitam yang volatile itu tidak menyurutkan pemegang otoritas produksi migas untuk terus meningkatkan produksinya. Oleh karena itu, dalam rapat pemerintah dengan Komisi VII akhirnya tercapai kesepakatan soal target lifting migas 2021 di kisaran 1,68-1,72 juta barel setara minyak per hari (boepd), yang rinciannya 690.000-710.000 barel minyak per hari (boepd) dan gas sebesar 990.000 - 1,01 juta boepd.
Sebenarnya, target lifting minyak 2021 itu jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan target tahun ini, yang juga sudah dipangkas dari 1,946 juta boepd menjadi 1,697 juta boepd, dengan perincian minyak 705.000 boepd dan gas 992.000 boepd. Namun, berdasarkan data SKK Migas per 30 Juni 2020, produksi migas sudah mencapai 1.940.000 barel per hari, masing-masing produksi minyak 720.200 barel per hari dan gas bumi 6.830.000 Mmscfd (juta standar kaki kubik per hari).
Sejumlah anggota DPR pun menyatakan ketidakpuasannya terhadap kinerja produksi minyak nasional tersebut. “Terkait lifting minyak itu bukan masalah mampu atau tidak, tapi keseriusan pemerintah. Kami tetap mendorong lifting minyak di atas 710.000 boepd,” ujar Maman Abdurrahman dari Fraksi Golkar.
Sorotan juga menuju ke Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang mendampingi Kementerian ESDM dalam urusan migas. “Saya harap SKK Migas dapat lebih bersemangat, karena kami memberikan target 700.000-710.000,’’ begitu Mulyanto dari Fraksi PKS, ikut menambahkan. SKK Migas diminta berani mendesakkan misinya, yaitu target lifting 1 juta boepd.
Namun, beratnya kondisi untuk mendongkrak lifting tahun 2021 disampaikan oleh Arifin Tasrif. Dalam paparannya, dia mengatakan, tanpa adanya produksi dari lapangan baru akan sulit untuk mendongkrak lifting. Apalagi, lapangan existing saat ini mengalami penurunan produksi sekitar 3%-5% per tahun. Menurutnya, lifting migas pada 2021 memang tidak banyak berubah dari outlook 2020.
Hal senada pun diungkapkan oleh Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno. “Proyeksi lifting memang sangat sulit.” Namun pihaknya masih mengupayakan agar sejumlah proyek migas yang onstream pada tahun ini dan tahun depan dapat berjalan tepat waktu, sehingga juga bisa mendongkrak lifting 2021.
Sejumlah proyek besar yang akan onstream pada 2021 adalah Merakes-Eni, Jambaran-Tiung Biru PEPC, Tangguh Train-3 BP, dan beberapa proyek lainnya yang akan menambah produksi minyak maupun gas.
Selain itu SKK Migas juga masih mengupayakan sejumlah proyek bisa segera onstream pada kuartal II dan III tahun 2020, seperti Lapangan Meliwis WK Madura Offshore, Malacca Strait Phase I, Lapangan Peciko 8A WK Mahakam, Lapangan Cantik WK Belida, serta Kompresor Betung dan SKG-19 Musi Timur.
Akankah sejumlah proyek dari sejumlah lapangan itu bisa mendongkrak produksi migas nasional? Harus ada upaya terobosan dari Kementerian ESDM bersama SKK Migas untuk mencapainya, meski kondisi iklim usaha di sektor migas kini masih terpapar dampak pandemi. Jangan sampai Covid-19 ikut menyumbat saluran di sumur baru.
Penulis: Firman Hidranto
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini