Setelah cukup lama absen dari ruang perbincangan, isu televisi digital kembali naik ke permukaan. Tak kurang dari Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Johnny G Plate sendiri yang merasa perlu menyampaikan update bahwa pemerintah berniat mempercepat migrasi TV analog ke TV digital, dan menempatkannya sebagai agenda pembangunan nasional. Intinya, lebih cepat migrasi lebih baik.
‘’Pemerintah secara serius tengah mempercepat penyelesaian peraturan perundangan yang konkret, sehingga Analog Switch-Off atau ASO dapat diimplementasikan dengan segera,” kata Johnny G Plate dalam konferensi pers secara virtual, Senin (6/7/2020).
Ada sejumlah alasan untuk langkah percepatan ini, dengan menempatkan migrasi itu sebagai bagian dari prioritas sistem digitalisasi nasional. Indonesia cukup tertinggal dalam proses digitalisasi televisi sistem terrestrial. Negara-negara Eropa dan Timur Tengah sudah selesai dengan digitalisasi televisi satu dekade lalu. Jepang menyelesaikannya pada 2011, sedangkan Korea Selatan 2012.
Di antara negara tetangga, Malaysia dan Singapura sudah selesai Analog Switch-Off (ASO) tahun 2019. TV Digital juga sudah on di sebagian besar wilayah Thailand dan Vietnam, dan kedua negara akan merampungkannya pada 2020 ini. “Sekarang, masyarakat di sana telah bisa menikmati siaran televisi dengan teknologi digital, dengan kualitas gambar dan suara yang sangat baik, serta menikmati pilihan program siaran yang lebih beragam,” Johnny G Plate menambahkan.
Namun ada urusan lain yang juga tidak kalah pentingnya, yakni industri televisi (analog) itu menggunakan jalur frekuensi terlalu boros. Setidaknya, begitulah pandangan dari International Telecommunication Union (ITU). Satu channel TV analog memerlukan lebar pita sampai 8 MHz. Bandwidth selebar itu bisa dimanfaatkan untuk enam sampai delapan channel bila menggunakan teknologi digital
Mengacu pada pengaturan ITU, yang berlaku secara internasional, ketentuan frekuensi untuk TV ada di dua spektrum frekuensi ultra-tinggi (UHF). Yakni pada pita selebar 56 Mhz (dari 164-230 MHz), dan selebar 392 Mhz pada spektrum 470- 862 MHz. Dua spektrum tebal itu dialokasilan ke siaran TV terrestrial, free-to-air. Konsumen tinggal pasang antena untuk menangkap gelombang dari menara pemancar (atau relay), sinyal masuk ke pesawat TV dan tayangan langsung terhidang di layar.
Pita yang di atas 860 MHz biasa dipakai untuk frekuensi telekomunikasi, termasuk ke dari dan ke arah satelit dan TV satelit (berbayar). Spektrum di bawahnya, semisal 90-108 Mhz, untuk radio FM.
Booming Televisi
Secara umum, di hampir semua negara, frekuensi adalah milik umum yang dikuasai negara. Dengan izin khusus dari pemerintah, lembaga penyiaran swasta (stasiun TV) boleh menggunakannya. Di Indonesia, sejauh ini ada spektrum 328 Mhz untuk televisi, baik stasiun yang siarannya berskala nasional, TV lokal, atau TV public, seperti TVRI dan stasiun TV milik pemerintah daerah. Jumlah seluruhnya 1.027 stasiun.
Berisi 1.027 pemilik frekuensi, jagat televisi di Indonesia memang riuh. Dari sejumlah itu, hanya stasiun besar yang punya hak frekuensi dengan siaran nasional. Mereka adalah pemain lama seperti TVRI, Grup MNC (RCTI, Global, dan MNC), Grup SCTV-Indosiar, Grup Trans-TV, dan Grup Viva (AnTV dan TVOne). Di luar mereka hanya ada izin TV lokal (kabupaten) atau regional (provinsi). Untuk Kompas TV dan NetTV, misalnya, agar bisa siaran secara nasional, mereka menggunakan TV lokal sebagai jaringannya.
Frekuensi sebuah TV lokal dengan jangkauan radius 20 km memang dioperasikan pada banyak stasiun sejauh tempatnya tidak berdempetan. Hal itu memungkinkan diterbitkan sejumlah izin frekuensi TV di sebuah kabupaten atau kota. Dengan demikian munculah angka 1.026 nama stasiun, meski yang aktif melakukan siaran reguler tidak sampai 15 persennya. Dari jumlah itu yang dapat beroperasi komersial tak lebih dari 20 stasiun saja.
Percobaan siaran TV digital di Indonesia sudah dimulai sejak 2006. Secara teknis tak ada masalah. Opsi ASO itu sudah digulirkan ITU sejak 10 tahun sebelumnya. Menurut Menteri Kominfo Johnny G Plate, sejak itu pula ITU mendorong anggotanya memanfaatkan teknologi Digital TV (DTV) guna menyajikan kualitas gambar dan suara yang jauh lebih bagus melalui TV digital. Gambar dengan definisi tinggi.
Televisi digital pun bisa menjadi barang elektronik yang lebih menyenangkan karena memungkinkan layanan interaktif. Substitle lebih tajam dan bervariasi. Layar TV menjadi lebih menarik dan informatif. Dari penggarapan konten hingga penyiaran semuanya serba digital.
Namun ITU juga punya agenda lain, yaitu mendorong TV ke spektrum frekuensi di bawah 700 MHz. Adapun spektrum di 700 MHz akan dipakai untuk internet broadband. ‘’Pita frekuensi 700 MHz itu merupakan pita frekuensi “emas” karena ideal untuk layanan akses internet broadband," kata Menteri Johnny.
Tak ada penolakan atas penemuan itu. Maka, dunia TV sepakat hijrah ke format digital, yang membuat paket gambar dan suara bisa dipancarkan dalam format bit data seperti dalam komputer. Spektrum di 700 MHz akan dialokasikan untuk aplikasi broadband nirkabel. Dengan frekuensi UHF ini, broadband nirkabel akan punya jangkauan lebih besar, dan berkemampuan menembus tembok.
Dengan daya pemancar yang sama, satu menara internet broardband dapat melayani area seluas 8 km2 bila menggunakan frekuensi 700 MHz. Jangkauannya akan menyusut jadi 6 km2 bila dengan frekuensi 800 MHz. Bahkan, ia akan merosot hanya melayani 2 km2 saja jika dengan spektrum 1.800 MHz. Jelas, spektrum emas memberikan keuntungan ekonomi signifikan dengan investasi murah bagi provider.
Bila migrasi ke DTV ini selesai, Pemerintah Indonesia akan mendapat bonus “deviden frekuensi” selebar 112 MHz, dengan pita efektif 90 MHz. Meski jatah spektrum untuk TV berkurang, tidak berarti kapasitas penyiarannya menciut. Dengan perbandingan bahwa satu stasiun TV (analog) perlu pita 8 Mhz, dan itu dapat digunakan untuk 6-8 channel digital, frekuensi yang tersedia pun masih bisa untuk menampung banyak channel di televisi digital. Sementara itu, telko mendapatkan pita 700 MHz.
Pita emas ini berpotensi memberikan dampak ekonomi yang luar biasa karena akan menjadi jalur sutra bagi industri telko. Pemanfaatan frekuensi semakin efektif. Sebagai gambaran, pada 2018 kontribusi Perimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari industri TV hanya Rp92 miliar. Jauh di bawah PNBP telko yang mencapai Rp17 triliun. Sejumlah pajak dari bisnis telko juga nilainya berlipat dibanding dari TV.
Kandas
Masyarakat telekomunikasi bersepakat memanfaatkan spektrum ini bersama-sama. Melalui program Harmonization of the 700 MHz Frequency Band, ITU mendorong pengembangan teknologi aplikasi dan segala pirantinya agar dapat beroperasi secara lintas negara. Dengan begitu, produk industrinya lebih efisien, fisibel, dan murah karena skala ekonominya lebih luas.
Indonesia sudah siap menggulirkan langkah hijrah ke TV digital itu sejak 2011. Stasiun-stasiun televisi pun siap masuk ke era ASO. Bahkan, sebelum 2010 hampir semua televisi sudah mengganti peralatan analognya ke digital, mulai dari kamera, mesin editing, audio mixer, video mixer, hingga ke perkakas di studio siaran.
Pemerintah pun siap melaksanakannya. Semua stasiun TV hanya akan menjadi penyedia konten alias content provider. Untuk broadcast ada lembaga tersendiri yang mengoperasikan segala infrastruktur. Lelang sudah dilakukan, beberapa operator terpilih. Namun, para pemilik frekuensi di banyak daerah menggugat ke pengadilan dan menang.
Para penggugat jelas merasa kehilangan peluang memanfaatkan frekuensi TV yang sedang booming. Dengan tatanan baru itu, stasiun tak lagi bisa menguasai frekuensi. Mereka harus menyewa channel kepada penyedia infrastruktur. Padahal, bisnis TV sedang booming, dan itu berlangsung hingga 2015. Sesudah itu, industri TV harus bersaing keras dengan siaran yang berplatfom media sosial.
Gagalnya kebijakan migrasi itu karena penyelenggaran TV digital belum didukung oleh peraturan perundangan yang tegas. Kendala lainnya ialah ketika itu masih banyak populasi TV analog di tengah masyarakat. Harus ada penyediaan set box massal sebagai konvester agar TV analog bisa kompatibel dengan sinyal digital.
Momentum Baru
Situasi berubah. Bisnis TV kini tidak mudah dijalankan di tengah booming konten audio visual dengan platform media sosial. Banyak stasiun TV lokal tutup karena kesulitan biaya operasional. Sementara itu, di masyarakat populasi smart TV yang bisa menerima siaran digital semakin dominan.
Rencana migrasi ke TV digital kini tidak menghadapi penolakan dari masyarakat. Ada momentum untuk menata frekuensi dan memanfaatkan pita emas frekuensi. Namun, langkah migrasi ini masih menunggu pengesahan revisi RUU Penyiaran yang akan memberikan landasan hukum bagi sistem penyiaran digital. Melalui Kementerian Kominfo, pemerintah juga telah mengusulkan rumusan ketentuan yang diperlukan untuk peraturan perundangan bagi penyelenggaraan penyiaran digital.
Revisi RUU Penyiaran itu masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2020. Kini bola ada di tangan DPR.
Penulis: Putut Trihusodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini