Di bawah bayang-bayang resesi global yang dalam, akibat pandemi Corona-19, sejumlah negara banting setir mendorong pemanfaatan energi terbarukan untuk menggantikan energi fosil konvensional. Bisnis energi terbarukan itu investasi jangka panjang. Di tengah situasi ekonomi dunia yang murung, investasi jangka panjang menjadi skema bisnis yang masuk akal. Ini tren baru, peluang baru.
Kegairahan serupa merebak di Indonesia. Pemerintah berupaya memanfaatkan peluang, dan mencoba menarik investasi dengan merilis skema baru penyesuaian harga pembelian tenaga listrik dari EBT. Rencana ini tentu jadi angin segar bagi pengembangan energi hijau itu. Selama ini, harga pembelian tenaga listrik yang EBT mengacu pada biaya pokok penyediaan (BPP).
Seperti disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, dalam aturan baru itu akan diatur skema tarif baru bagi bisnis pembangkit listrik EBT. Proses administrasi dalam investasi EBT akan disederhanakan. Regulasi baru ini diharapkan akan menarik investor datang ke Indonesia.
“Untuk beralih dari energi fosil ke energi terbarukan butuh modal yang besar. Oleh karena itu, kami berharap dengan tarif baru bisa menarik investor untuk datang. Kami berharap dapat membuat iklim bisnis dan partnership yang lebih baik dengan investor asing di Indonesia,” katanya, dalam IEA Clean Energy Transitions Summit, Kamis (9/7/2020).
Bagaimana komitmen Indonesia atas pengurangan emisi gas rumah kaca? “Negara ini telah menyatakan komitmennya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan menjalin kerja sama internasional hingga 2030,’’ Menteri ESDM itu menambahkan.
Kunci Pengurangan Emisi
Dalam konteks emisi karbon, sektor pembangkit listrik dan transportasi akan menjadi sektor kunci bagi langkah pengurangan emisi karbon. Tentu tak terlalu mudah menuju ke sana. Namun, momentum itu justru bisa menjadi titik tolak baru mengingat kontribusi EBT dalam sektor kelistrikan dan transportasi di Indonesia masih sangat rendah.
Terlepas dari semua itu, komitmen Indonesia melalui PLN dalam penerapan bauran energi termasuk berbasis energi terbarukan tetap patut diapresiasi. Menurut laporan yang dirilis 7 Juli 2020, BUMN tersebut mengklaim memiliki kapasitas pembangkit berbasis energi terbarukan sebesar 7.963 MW, dari total kapasitas pembangkit terpasang sebesar 43,85 Gigawatt (GW) atau setara dengan 18 persen.
PLN berkomitmen untuk meningkatkan bauran energi baru dan terbarukan menjadi 23 persen pada 2025. Tak berhenti di tataran itu, BUMN setrum itu juga telah memiliki kebijakan dan strategi terkait mitigasi perubahan iklim serta telah membentuk unit organisasi khusus untuk pengelolaan mitigasi dan adaptasi iklim.
Saat ini, dalam program green transformation, PLN memperkenalkan model-model bisnis baru (green boosters) yang mendukung strategi perusahaan pelat merah itu dalam pemenuhan target EBT, terkait program mitigasi perubahan iklim. PLN juga rutin melaporkan hasil inventarisasi emisi gas rumah kaca melalui laporan keberlanjutan.
Tidak salah, bila perusahaan itu ditasbihkan sebagai perusahaan yang memiliki komitmen terhadap energi baru terbarukan. Perusahaan ini memiliki target carbon neutrality pada 2040 yang melingkupi seluruh rantai bisnisnya, sehingga tercatat di peringkat 28 dunia.
Peringkat itu mengungguli Tenaga Nasional Berhad, Malaysia, di peringkat 29, Chubu Electric Power, Jepang (32), Tokyo Electric Power Company, Jepang (37), Taiwan Power Company (38), Korea Electric Power Corporation (39), dan Eskom Holdings, Afrika Selatan (41).
Khusus pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengaturnya melalui Permen No. 4/2020 sebagai perubahan kedua terhadap Permen No. 50/2017, tentang pemanfaatan sumber energi terbarukan untuk penyediaan listrik. Sebelumnya, perubahan pertama diatur di Permen No. 53/2018.
Nah, pemerintah pun, seperti disampaikan Menteri ESDM Arifin Tasrif kini sedang menyiapkan regulasi baru. Tidak dalam bentuk permen, tapi berupa peraturan presiden (Perpres). Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Riza Husni mengatakan, pihaknya tengah membahas aturan tersebut dengan pemerintah. “Rancangan perpres tersebut sudah jauh lebih kondusif dibandingkan dengan peraturan sebelumnya.”
Sejumlah pelaku berharap lahirnya perpres itu akan memberikan kemudahan berinvestasi di sektor EBT. Mereka juga berharap pemberian insentif dalam perpres ini tidak mensyaratkan prosedur yang rumit sehingga memberikan kepastian bagi pengembang.
Berdasarkan dokumen rancangan Perpres tentang Pembelian Tenaga Listrik Energi Terbarukan oleh PT PLN (Persero), pemerintah akan menerapkan empat skema harga pembelian listrik EBT, yakni berdasarkan harga feed in tariff, harga penawaran terendah, harga patokan tertinggi, dan harga kesepakatan.
Harga pembelian berdasarkan feed in tariff dilaksanakan tanpa negosiasi dan tanpa eskalasi selama jangka waktu kontrak, serta berlaku sebagai persetujuan harga dari menteri.
Skema harga ini berlaku untuk pembelian tenaga listrik dari PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air), PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya), dan PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu) berkapasitas sampai dengan 20 megawatt (MW), serta PLTBm (Biomasa) dan PLTBg (Biogas) kapasitas sampai dengan 10 MW.
Sementara itu, harga pembelian berdasarkan harga penawaran terendah dilakukan dengan ketentuan tanpa negosiasi dan tanpa eskalasi selama jangka waktu kontrak dan perlu persetujuan harga dari menteri.
Skema harga ini berlaku untuk PLTS atau PLTB kapasitas lebih dari 20 MW dan PLTBm atau PLTBg kapasitas lebih dari 10 MW. Selanjutnya, harga pembelian berdasarkan harga patokan tertinggi dilakukan dengan ketentuan berlaku sebagai harga dasar, berlaku ketentuan eskalasi dalam PJBL atau perjanjian jual beli listrik, dan berlaku sebagai persetujuan harga dari menteri.
Skema harga ini untuk pembelian listrik dari PLTP atau pembelian tenaga uap untuk PLTP. Terakhir, pembelian berdasarkan harga kesepakatan dilakukan melalui negosiasi dan perlu persetujuan harga dari menteri.
Skema ini berlaku di antaranya untuk pembelian listrik dari PLTA kapasitas lebih dari 20 MW, ekspansi PLTS atau PLTB kapasitas lebih dari 20 MW, ekspansi PLTBm atau PLTBg kapasitas lebih dari 10 MW, dan PLT BBN atau PLT Energi Laut.
Dari gambaran di atas, harapannya skema harga baru tersebut akan mampu membuat iklim investasi EBT semakin menarik, terutama dengan adanya skema feed in tariff untuk pembangkit skala kecil.
Pasalnya, selama ini pengembang pembangkit skala kecil seringkali kesulitan memperoleh pembiayaan dari lembaga keuangan karena proyeknya dianggap tidak visible, tidak bankable. Artinya, skema feed in tariff itu cukup menarik dan sudah perhitungkan tingkat return yang wajar bagi pengembang sehingga diharapkan proyek EBT jadi bankable. Prosper EBT diharapkan menjadi lebih terang dan berpendar.
“Izin prakarsa penyusunan rancangan Perpres EBT sudah disetujui Presiden Joko Widodo,” ujar Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM FX Sutijastoto.
Penulis: Firman Hidranto
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini