Sudah dua bulan ini Ismail tak lagi bisa menyeruput kopi hitam hangat kesukaannya yang biasa dibuat Nanang. Keduanya juga sudah tak bisa lagi bersenda gurau bersama Fery dan Solehuddin di salah satu pojok dapur dari bangunan besar seluas sekitar 1.000 meter yang terletak di Menteng, sebuah kawasan elite Jakarta.
Keempat orang tadi adalah sebagian dari karyawan pada sebuah media cetak nasional yang terpaksa gulung tikar sejak Juni 2020 Perusahaan pers itu tak kuat bertahan di saat pandemi virus corona menjangkiti Indonesia. Padahal media ini baru saja menapaki tahun kedelapannya hadir di kehidupan pers nasional.
Makin tergerusnya porsi pendapatan dari sektor iklan sejak tiga tahun terakhir menjadi awal penderitaan media tempat Ismail bekerja. Semakin derasnya kehadiran media format baru (new age) yang merambah dunia digital dengan platform seperti media online, podcast, dan siaran pemberitaan di kanal-kanal digital telah membuat distribusi iklan makin tersebar merata.
Apalagi tarif beriklannya tidak harus semahal di media cetak dan tentu saja daya jangkau beriklan di media berformat digital jauh lebih efektif dibandingkan dengan media konvensional.
Pandemi kali ini hanya sebagai pelengkap saja dari penderitaan yang dialami media cetak tersebut. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa iklan adalah nyawa bagi sebuah perusahaan pers selain tentunya kucuran rupiah dari si pemilik media.
Tak hanya perusahaan pers saja yang kesulitan dalam hal penerimaan pendapatan. Pandemi Covid-19 pun ikut membuat perusahaan-perusahaan pengiklan harus bersiasat berkali-kali lipat untuk menekan anggaran promosi produk di media massa. Penyebabnya, pemasukan semakin minim akibat menurunnya daya beli masyarakat.
Ismail tidak sendirian karena ada ratusan orang seperti dirinya yang semula bekerja di berbagai perusahaan pers kini terpaksa dirumahkan. Ini dilakukan para pengelola industri media massa agar tetap bertahan.
Berbagai asosiasi profesi pers yang ada seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) sejak Mei 2020 lalu telah meminta pemerintah untuk turun tangan membantu mengatasi permasalahan ini.
Bantuan Pemerintah
Pemerintah pusat pun bergerak cepat dan mengeluarkan sebuah keputusan penting untuk menyelamatkan keberlangsungan industri media massa di Tanah Air.
Pemerintah memastikan bahwa industri media akan menerima sejumlah insentif guna mengatasi ancaman penutupan perusahaan pers dan pemutusan hubungan kerja (PHK) para pekerjanya akibat pandemi Covid-19.
Ada tujuh poin penting yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ketika melakukan pertemuan virtual bersama Menteri Komunikasi dan Informasi Johnny G Plate, Ketua Dewan pers Muhammad Nuh, dan sejumlah perwakilan asosiasi profesi pers di Jakarta, Jumat (24/7/2020).
Menurut Menkeu, pemerintah akan menghapuskan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi kertas koran. Dalam Peraturan Menteri Keuangan yang menjadi peraturan pelaksana Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 ditegaskan bahwa PPN terhadap bahan baku media cetak menjadi tanggungan pemerintah.
Hal ini merupakan wujud dari apa yang dijanjikan Presiden Joko Widodo ketika menerima para pemimpin redaksi media massa yang tergabung dalam Forum Pemred pada 14 Agustus 2019 di Istana Merdeka, Jakarta. Saat itu Presiden berjanji untuk menghapus PPN atas pembelian kertas koran.
Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Keuangan, akan mengupayakan mekanisme penundaan atau penangguhan beban listrik bagi industri media massa. Penangguhan serupa juga dilakukan terhadap iuran BPJS Ketenagakerjaan selama 12 bulan untuk industri media massa dan industri lainnya melalui mekanisme keputusan presiden.
Tak hanya sampai di situ saja. Pemerintah juga akan berdiskusi dengan BPJS Kesehatan terkait penangguhan pembayaran premi BPJS Kesehatan bagi para pekerja di perusahaan pers.
Hal lain yang menjadi terobosan pemerintah untuk menyelamatkan industri media massa adalah memberikan keringanan cicilan pajak korporasi di masa pandemi. Keringanan pajak korporasi yang diberikan adalah dari yang semula turun 30 persen, kemudian akan kembali diturunkan menjadi 50 persen.
Pemerintah juga membebaskan pajak penghasilan (PPh) karyawan di industri media massa yang berpenghasilan hingga Rp200 juta per tahun. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Covid-19 yang dilansir 27 April 2020, pemerintah akan menanggung Pph Pasal 21 atas penghasilan para pekerja selama enam bulan hingga September 2020.
Kemudian, demi mengembalikan kinerja pendapatan perusahaan pers dari sektor iklan, pemerintah akan menginstruksikan semua kementerian agar mengalihkan anggaran belanja iklan mereka, terutama iklan layanan masyarakat kepada media massa lokal.
“Dewan Pers menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada pemerintah atas perhatian yang tinggi terhadap nasib dan keberlangsungan pers sebagai pilar keempat demokrasi. Sebagai bagian dari komponen bangsa, pers nasional mendukung upaya pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19,” kata Ketua Dewan Pers M Nuh dalam siaran persnya.
Sebelumnya Dewan Pers pada 22 April 2020 lalu telah mengeluarkan surat edaran terkait kondisi pekerja pers dalam masa pandemi. Salah satu isinya adalah meminta kepada perusahaan pers untuk turut membantu para karyawannya yang terdampak krisis akibat pandemi Covid-19 dengan mengupayakan jaring pengaman sosial.
Penulis: Anton Setiawan
Editor: Firman Hidranto/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini