Peranan sains dalam kebijakan pembangunan suatu negara adalah sebuah keniscayaan di era disrupsi digital saat ini. Tanpa itu sebuah negara bakal sulit bersaing. Bahkan bisa terpuruk secara sosial ekonomi. Pengambilan keputusan secara cepat dan tepat perlu dibuat berdasarkan bukti ilmiah dan penelitian yang membutuhkan pendanaan mandiri.
Penting untuk memastikan kebijakan tepat sasaran kepada kelompok yang paling membutuhkan, tentu dengan menggunakan basis sains. Namun, sains yang responsif dan relevan tidak terjadi begitu saja. Butuh infrastruktur penelitian dan kemampuan ilmiah yang mumpuni. Pun pendanaan sangat penting untuk mewujudkan penelitian.
Demikian simpulan dari studi kebijakan bertajuk, “Membangun Penyelenggaraan Pendanaan Penelitian yang Berkelanjutan dan Mandiri” yang selesai disusun pada awal 2020. Studi tersebut dilakukan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).
Rekomendasi AIPI dan ALMI tersebut sejalan dengan upaya pemerintah memperkuat ekosistem riset dan inovasi. Niat pemerintah membangun ekosistem riset yang lebih baik sudah terlihat dari terbitnya Undang-Undang 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan (UU Sisnas Iptek).
Pasal 59 dalam UU mengamanatkan dana abadi penelitian sebagai salah satu sumber pendanaan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap) untuk menghasilkan invensi dan inovasi. Salah satu langkah konkret yang sesuai amanah UU Sisnas Iptek adalah pendanaan proposal riset dan penelitian dari lembaga pemerintah, pendidikan maupun masyarakat. Beberapa waktu lalu, Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) mendanai 305 proposal penelitian yang lolos seleksi sebagai Prioritas Riset Nasional (PRN) 2020-2024. Total pendanaannya sebesar Rp242,8 miliar.
Ketika penyerahan secara simbolis dana Prioritas Riset Nasional kepada Lembaga Penerima Insentif di Jakarta pada Jumat (17/7/2020) lalu, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro menyebut sumber dana penelitian ini berasal dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Pendanaan PRN semula berasal dari anggaran Kemenristek/BRIN. Namun, karena adanya pemotongan anggaran akibat konsentrasi pembiayaan penanganan pandemi Covid-19, pendanaan PRN kini berasal dari dana abadi penelitian dan dana abadi pendidikan yang dikelola oleh LPDP.
"Solusi alternatifnya tentunya berasal dari pengelolaan dana abadi penelitian, di mana di 2019, dana abadinya adalah Rp990 miliar, dan kemudian di 2020 ini sudah dianggarkan Rp5 triliun," papar Bambang Brodjonegoro.
Dana penelitian tersebut diberikan bagi Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta, Industri/BUMN, Lembaga Litbang Pemerintah, dan organisasi kemasyarakatan. Sampai 16 Juli 2020, dana yang sudah cair mencapai Rp14,3 miliar untuk 21 proyek PRN.
Seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Ristek 38 Tahun 2019 tentang PRN 2020-2024, terdapat 9 fokus riset, yaitu pangan, energi, obat dan kesehatan, transportasi, produk rekayasa keteknikan, pertahanan keamanan, kemaritiman, sosial humaniora, seni budaya, pendidikan, dan lainnya (multi disiplin, bencana, stunting, dan mitigasi iklim).
Prioritas Riset Nasional merupakan instrumen kebijakan untuk mensinergikan kegiatan riset dan pengembangan kementerian/lembaga. Sinergi dibutuhkan agar alokasi sumber daya (sumber daya manusia, sarana prasarana, dan pendanaan) bisa dikelola secara efektif dan efisien. Tujuannya tentu untuk mendukung pencapaian output kegiatan riset dan pengembangan menuju hasil yang nyata serta mampu berkontribusi kepada peningkatan nilai tambah di sektor ekonomi.
"PRN tidak hanya berlandaskan pada topik riset yang berorientasi pasar atau solusi jangka pendek, tetapi mencakup topik riset fundamental yang ditujukan untuk peningkatan kapasitas dan kompetensi bangsa di masa depan," kata Bambang Brodjonegoro.
PRN ini adalah turunan dari Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) 2017-2045 sebagai payung dari kebijakan riset nasional agar Indonesia mampu berdaya saing dan berdaulat di kancah global berbasiskan sains dan ristek.
Ketua AIPI Satryo Brodjonegoro menerangkan, seperti data dari Bank Dunia dan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) 2018 yang mengilustrasikan kenaikan satu persen belanja litbang, mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen di negara-negara maju.
Sementara itu, dari pengalaman sejumlah negara-negara berkembang, kenaikan satu persen, belanja litbang juga mendongkrak pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), meski dengan persentase lebih kecil, yaitu antara 0,3 persen dan 0,62 persen.
Dari catatan penelitian AIPI dan ALMI, setelah adanya UU Sisnas Iptek yang didukung oleh kebijakan RIRN 2017-2045 dan PRN 2020-2024 diharapkan pengelolaan pendanaan penelitian di Indonesia menjadi lebih efisien.
Mereka menghitung dari sebanyak Rp24,92 triliun dana riset pemerintah pusat pada 2016, hanya 43,74 persen yang digunakan sebagai dana penelitian. Selebihnya pendanaan digunakan untuk operasional, jasa iptek, belanja modal, dan pendidikan dan pelatihan (diklat).
Di samping itu, belum ada mekanisme jelas untuk pengukuran kinerja lembaga penelitian. Sebagai ilustrasi, dana pemerintah pusat sebesar Rp24,92 triliun untuk riset tersebar di 81 kementerian dan lembaga (K/L), sementara hanya 13 K/L yang melakukan kegiatan litbang penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan iptek.
Mekanisme pendanaan penelitian juga masih menggunakan sistem pengadaan barang dan jasa. Sistem tersebut tidak sesuai dengan sifat riset yang adaptif dan fleksibel. Sifatnya riset cenderung memakan waktu jangka panjang. Tidak sesuai dengan pola APBN.
Dibentuknya BRIN diharapkan menjawab persoalan pendanaan riset, penelitian maupun inovasi dengan mengintegrasikan potensi seluruh elemen litbang pemerintah, pendidikan, korporasi serta masyarakat. Tentu dengan panduan Prioritas Riset Nasional membuat pengadaan alokasi anggaran menjadi fokus dan tidak boleh ada lagi banyak lembaga mengerjakan riset yang sejenis.
Penulis: KristantyoWisnubroto
Editor: Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini