Turbulensi ekonomi dialami banyak negara akibat pandemi Covid-19, tak terkecuali Indonesia. Laporan BPS Rabu (5/8/2020), menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua 2020 (Q2) mengalami kontraksi hingga 5,32 persen. Meski telah diperkirakan banyak pihak, karena tak sedikit negara lain juga mengalami hal yang sama, namun kedalaman kontraksinya menjadi perhatian lebih pemerintah. Hal ini karena situasinya lebih tinggi dari ekspektasi yang memperkirakan angka di sekitar minus 4,3 hingga 4,8 persen.
Kepala BPS Kecuk Suharyanto menyatakan nilai -5,32 persen itu adalah kinerja Q2/2020 yang dihitung dengan harga konstan dibandingkan ke Q1/2019. Bila ditera ke Q1/2020, terjadi kontraksi 4,19 persen pada Q2.
Namun begitu, jika dihitung dalam satuan kinerja per semester, gambarannya tidak terlalu murung. Dibanding semester 1/2019, misalnya, dalam hitungan harga konstan, angka di semester 1/2020 itu hanya turun tipis, yakni -1,26 persen. Pasalnya, pada Q1 Indonesia masih tumbuh positif 2,97 persen.
Pertengahan Juli lalu, pemerintah Singapura mengumumkan negaranya bahkan terkontraksi -12 persen (YoY) di Q2, setelah pada Q1 secara year on year (YoY) juga mencatatkan negatif 0,7 persen. Pada kuartal yang secara berturut-turut mengalami pertumbuhan negatif, Singapura resmi masuk ke situasi resesi.
Thailand juga diperkirakan sedang memasuki masa resesi. Para analis ekonomi dari lembaga keuangan Morgan Stanley yang merilis laporan bertajuk Asia Economic Mid Year Outlook 2020, pertengahan Juli lalu, menyebutkan bahwa ekonomi Thailand tercatat -1,8 persen di Q1 dan (diperkirakan) -10 persen di Q2/2020. Filipina juga diterjang mendung tebal dengan -0,2 persen di Q1 dan (diperkirakan) -14 persen di Q2. Awan badai itu juga menyelimuti Malaysia, di mana +0,7 persen di Q1 lalu diperkirakan -13 persen di Q2.
Namun, Morgan Stanley yakin bahwa pada Q3 situasinya akan membaik, meski belum pulih. Ekonomi dikatakannya akan mulai bergerak lagi dengan menyesuaikan diri kepada ketentuan situasi normal baru. Dengan demikian, kontraksi yang terjadi pada Q3 tak sedalam Q2, dan pada Q4 diharapkan kinerja ekonomi sudah menuju ke tingkat tertinggi yang pernah dicapai sebelumnya.
Konsumsi Rumah Tangga
Kepala BPS Suharyanto menyebutkan, pengeluaran secara tahunan (yoy), di semua komponen ekonomi memang mengalami kontraksi. Penurunan yang paling dalam ialah pada sektor hotel dan restoran yang susut 16,53 persen. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), pengeluaran untuk investasi barang modal seperti bangunan, sarana jalan, dan mesin-mesin yang pada kuartal II-2020, juga mengalami kontraksi 8,61 persen.
Berikutnya, masih menurut BPS, konsumsi atau belanja pemerintah juga menciut 6,90 persen (YoY). Jika dirinci, hal ini karena ada kenaikan realisasi Bantuan Sosial (Bansos) sebesar 55,86 persen. Tapi, kenaikan itu tak cukup kuat untuk mengkompensasi terjadinya penurunan realisasi belanja barang-jasa, dan belanja pegawai. Tak urung secara kumulatif belanja pemerintah ini pun menyusut.
Namun, yang paling terasa dampaknya kepada besaran Produk Domestik Bruto (PDB) adalah konsumsi rumah tangga yang merosot 5,51 persen. Padahal, kontribusi konsumsi rumah tangga pada PDB itu 59 persen. Meski sisi perdagangan luar negeri, Indonesia mengalami surplus, namun dikarenakan ekspor dan impor melemah, kondisi ini pada akhirnya turut mengurangi kegiatan ekonomi.
Hanya ada dua komponen yang masih mencatatkan pertumbuhan positif, yakni sektor perumahan dan perlengkapan rumah yang naik 2,36 persen, serta sektor kesehatan dan pendidikan yang terkerek 2,02 persen. Secara umum, sektor industri menyusut. Namun, ada beberapa subsektor yang tetap tumbuh secara YoY, seperti industri pengolahan makanan-minuman, farmasi, dan suplemen kesehatan. ‘’Dalam situasi pandemi ini, pengeluaran untuk kesehatan memang meningkat,’’ kata Ketua BPS Suharyanto.
Sinyal Positif
Namun begitu, di tengah badai ekonomi akibat pandemic Covid-19 ini, Kecuk Suharyanto melihat ada geliat ekonomi dari sektor industri. Tampak ada kenaikan pada purchasing manager’s index (PMI). Setelah terpelanting ke level 26 pada Mei lalu, indeks manufaktur, yang mengindikasikan adanya kegairahan pembelian bahan baku dan bahan penolong industri, dikatakan Kecuk kembali menguat.
Pada Juni, indeks manufaktur yang dirilis HIS Markit, sudah merambat ke angka 39,1 dan 46.9 di bulan Juli. ‘’Sudah mendekati angka 50 yang berarti kembali normal,’’ kata Kecuk.
Untuk mendorong pertumbuhan industri, tentu diperlukan daya beli masyarakat yang tinggi. Maka itu Presiden Joko Widodo terus mendorong belanja negara jajarannya melalui instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sejumlah paket Bansos maupun program padat karya kembali digulirkan untuk mengungkit daya beli.
Beberapa kebijakan relaksasi juga telah diberlakukan untuk memberikan stimulasi ekonomi, baik untuk industru besar hingga pada Usaha Menengah, Kecil, dan Mikro (UMKM). Tujuannya agar pelaku ekonomi bisa tetap bertahan melewati situasi sulit pandemi Covid-19. Segala kebijakan ini akan diimplementasikan dalam skema Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan dilaksanakan dengan mengikuti norma dan protokol adaptasi kebiasaan baru. Harapannya, ekonomi di kuartal 3 bisa terangkat.
Penulis: Putut Trihusodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini