Indonesia.go.id - Vitamin Pendongkrak Investasi

Vitamin Pendongkrak Investasi

  • Administrator
  • Sabtu, 8 Agustus 2020 | 18:48 WIB
MIGAS
  Pipa jaringan pengolahan minyak di Balikpapan, Kalimantan Timur. Foto: Antara Foto/Yulius Satria Wijaya

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru dirilis untuk memberikan kepastian hukum skema bagi hasil, sekaligus  menstimulasi investasi minyak dan gas (migas) di tengah rendahnya harga minyak di situasi pandemi.

Kontrak bagi hasil (gross split) bukan harga mati. Bila investor merasa tidak cocok, boleh memilih skema pengembalian biaya operasi migas (cost recovery). Fleksibilitas itu kini ditawarkan sebagai stimulus agar investor bergairah menanamkan modal di sektor migas idi saat masih berlangsungnya pandemi Covid-19.

Kebijakan baru yang memberikan keleluasaan itu dirilis lewat Permen ESDM No. 12/2020 yang diteken Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 15 Juli 2020, lantas diundangkan 16 Juli 2020. Skema kontrak gross split dan cost recovery itu pun menjadi pilihan bagi investor.

Kebijakan sebagai upaya memberikan kepastian hukum sekaligus mendorong investasi migas di tengah masih mewabahnya virus Covid-19, yang menjadikan pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan dunia, terganjal. Situasi berat itu bahkan sempat memburuk ketika dua produsen utama dunia, yakni Arab Saudi dan Rusia, membanjiri pasar dengan produksi minyak yang overdosis awal Maret lalu, gara-gara gagal menyepakati angka kuota produksi.

Pasar banjir, harga pun ambruk. Harga minyak mentah jenis Brent, misalnya, sempat menyentuh ke level USD22,58 per barel, atau harga terendah sejak November 2002. Begitu pun dengan jenis minyak West Texas Intermediate (WTI) yang jatuh di level USD20 per barel.

Perang harga tidak sampai berlarut-larut. Kuota baru disepakati. Masing-masing produsen kemudian menurunkan produksinya untuk mengerek harga.

 

Harga Terkerek Lagi

Dalam perkembangannya, pada Juli 2020, harga kembali terkerek. Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman September dibanderol naik menjadi USD43,31 per barel, bahkan untuk penyerahan Oktober naik menjadi USD43,52 per barel.

Pada saat yang sama, minyak mentah berjangka untuk WTI pengiriman September dibanderol menjadi USD40,27 per barel. Minyak mentah Brent membukukan kenaikan bulan keempat dan minyak mentah AS mencatat kenaikan bulan ketiga, sejak kejatuhan harga pada April lalu.

Badan Informasi Energi AS (EIA) gembira. Pasalnya, kebijakan Washington yang mau berkorban memangkas produksi minyaknya ke level 10 juta barel per hari sejak Mei lalu, telah membuahkan hasil. "Setelah hari yang buruk untuk perusahaan-perusahaan minyak besar, kini hasilnya mulai terlihat," ujar Analis Price Futures Chicago Phil Flynn, seperti dikutip Antara, Sabtu (1/8/2020).

Namun, apakah itu menjadi kabar baik bagi investor? Phil mengingatkan, kompetisi pasar bakal menjadi lebih ketat pada masa mendatang. "Bila ekonomi berbalik (pulih), produsen minyak akan kesulitan memenuhi permintaan pasar," jelasnya.

Artinya, harga minyak akan membaik. Kabar gembira lainnya, seperti disampaikan Kepala Eksekutif Konsultan Oilytics Keshav Lohiya, harga minyak masih akan mendaki karena stimulus global dan mata uang dolar AS yang melemah. Selain itu, permintaan Tiongkok akan minyak pun masih rendah. Jadi, ada peluang bahwa prospek bisnis minyak bumi akan moncer bila Tiongkok kembali ke dalam performanya yang normal.

Bagaimana imbasnya bagi Indonesia?. Tetap ada peluang yang bisa diintip, meskipun sejumlah perusahaan migas kelas dunia, Shell dan Chevron, telah memutuskan keluar dari sejumlah proyek migas di Indonesia. Shell berencana keluar dari proyek Masela dan Chevron juga niatnya angkat kaki dari proyek Indonesia Deep Water Development (IDD) di Selat Makassar.

Di proyek kaya gas Blok Masela, Shell berniat menjual kepemilikan sahamnya yang sebesar 35 persen. Disebut-sebut penyebab perusahaan minyak raksasa asal Eropa ini mundur akibat kondisi bisnis yang saat ini tidak menguntungkan, rendahnya harga komoditas, hingga masih berlangsungnya pandemi.

Peluang ada pada proyek Blok Masela yang direncanakan beroperasi 2027, dan diharapkan mampu memproduksi 9,5 juta ton LNG per tahun. Proyek itu akan menolong negara ini merealisasikan keinginan menjadi negara eksportir ekonomi global pada 2030.

 

Pompa Investasi

Tak mau berlarut-larut dengan kondisi suram ekonomi dunia dampak dari pandemi, langkah Menteri ESDM Arifin Tasrif memberikan stimulus dengan terbitnya Permen ESDM No. 12/2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Permen ESDM No. 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, tepat. Kebijakan ini diharapkan bisa jadi pemompa arus investasi migas di negeri ini.

Apa saja kelebihan Permen ini dibandingkan regulasi sebelumnya? Di permen ini dijelaskan perubahan ketiga aturan mengenai gross split. Setidaknya ada empat poin ketentuan yang diubah ataupun dihapus. Perubahan aturan bermain di bisnis migas itu terutama di Pasal 2 dan Pasal 25 Permen ESDM No.12/2020.

Bunyi Pasal 2 di permen itu menyebutkan, (1) Menteri ESDM menetapkan bentuk dan ketentuan pokok kontrak kerja sama di satu wilayah kerja (WK) dengan mempertimbangkan tingkat risiko, iklim investasi, dan manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara.

Pasal 2 Ayat (2) juga menjelaskan adanya penetapan bentuk dan ketentuan pokok kontrak kerja sama sebagaimana di Ayat (1) dapat menggunakan bentuk, yakni kontrak bagi hasil gross split. Selain dengan skema gross split, investor bisa memilih skema kontrak bagi hasil dengan mekanisme pengembalian biaya operasi/cost recovery atau kontrak kerja sama lainnya.

Kementerian ESDM juga menghapus ketentuan mengenai model pengelolaan WK, yang berakhir masa kontraknya dan tidak diperpanjang, pemerintah otomatis memberlakukan gross split untuk masa waktu berikutnya. Jadi, ada fleksibilitas di WK tersebut untuk terus melaksanakan pola cost recovery.

Tentu, ada yang bertanya-tanya apa perbedaan antara skema gross split dan cost recovery? Gross split ialah skema perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja (WK) migas antara pemerintah  dan kontraktor migas yang diperhitungkan di muka. Dengan skema gross split, biaya operasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab kontraktor. 

Sementara cost recovery menganut skema pengembalian biaya operasi yang telah dikeluarkan oleh kontraktor migas selama cadangan belum ditemukan hingga produksi secara komersial. Bagi hasil atau gross split baru dibagi setelah penerimaan dipotong pembagian hasil produksi di satu wilayah kerja (fisrt trance petroleum/FTP), pajak penghasilan, dan biaya yang didapatkan.

Sebelumnya, pemerintah sempat menunda melakukan lelang sejumlah blok migas untuk memastikan aturan yang mempermudah investor memilih skema kerja sama diberlakukan terlebih dahulu.  Dalam laporan Ditjen Migas Kementerian ESDM, tercatat 10 kandidat calon blok migas konvensional yang direncanakan akan ditawarkan pada lelang tahap I/2020.

Tujuan semua ini hanya satu, yaitu mendongkrak produksi minyak negeri ini. Apalagi, pemerintah mempunyai target mengejar produksi 1 juta barel per hari pada 2031. Ada harapan, Permen baru itu bisa menjadi vitamin menarik minat investor migas kelas dunia masuk ke Indonesia.

 

 

 

Penulis: Firman Hidranto
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini

Berita Populer