Empat menteri menggelar konferensi pers virtual terkait penyesuaian kebijakan pendidikan di masa pandemi Covid-19 pada akhir pekan lalu. Keempat menteri itu adalah Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, Menteri Agama Fachrul Razi, dan Menteri Kesehatan yang diwakili oleh Sekjen Kementerian Kesehatan Oscar Primadi.
Konferensi pers tersebut merupakan tindak lanjut dari rapat terbatas yang dipimpin Presiden Jokowi, pada 5 Agustus 2020. Dalam rapat itu, Presiden memberikan arahan terkait dunia pendidikan ke depan, di tengah pandemi Covid-19.
Keempat menteri tersebut menyarikan dua prinsip yang harus dijadikan sebagai koridor dalam melahirkan kebijakan pendidikan di era pandemi. Yakni, kesehatan dan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai prioritas utama dalam menetapkan kebijakan pembelajaran. Serta, tumbuh kembang peserta didik dan kondisi psikososial juga menjadi pertimbangan dalam pemenuhan layanan pendidikan selama masa pandemi Covid-19.
Diketahui, solusi pendidikan dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang telah berlangsung setidaknya lima bulan, sejak virus SARS COV-2 mengancam penduduk di tanah air memang telah memunculkan persoalan tersendiri. Tidak hanya bagi siswa, tapi juga bagi orang tua dan guru.
Itulah sebabnya, setelah menjaring masukan dari banyak pihak, termasuk orang tua, guru, para pakar di berbagai bidang, pemerintah kemudian melahirkan dua kebijakan baru untuk mengantisipasi konsekuensi negatif dan isu dari pembelajaran jarak jauh.
Kebijakan pertama adalah perluasan pembelajaran tatap muka (PTM) untuk zona kuning (baca: Izin Bersekolah di Zona Kuning) dan penyusunan kurikulum darurat. Jika pada perluasan PTM di zona kuning pemerintah memberikan izin dengan memberi penekanan pada kesiapan berjenjang dan pelaksanaan protokol kesehatan secara ketat, maka untuk kurikulum darurat pemerintah menetapkan sejumlah penyederhanaan secara masif kompetensi dasar dengan tetap mengacu pada Kurikulum 2013.
Kurikulum darurat sendiri disiapkan bagi satuan pendidikan yang masih melaksanakan PJJ. Diketahui dari catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebanyak 43 persen siswa berada di zona hijau dan kuning yang kini telah diperbolehkan untuk menggelar PTM. Zona hijau dan kuning itu tersebar di 276 kabupaten/kota. Sedangkan, sebanyak 57 persen siswa lainnya masih berada di zona merah dan oranye yang belum diperkenankan untuk menggelar PTM. Siswa-siswa tersebut berada di 238 kabupaten/kota lainnya.
“Kurikulum darurat, disiapkan bagi yang masih melaksanakan PJJ. Untuk jenjang PAUD, SD, SMP, SMA, dan SMK,” kata Mendikbud Nadiem Makarim, yang akrab disapa Mas Menteri.
Dalam kurikulum darurat, Mendikbud membeberkan, kompetensi dasar dikurangi secara dramatis untuk setiap mata pelajarannya. “Jadi kami di Kemendikbud melihat seluruh kompetensi dasar per pelajaran dan kami memilih kompetensi dasar yang terpenting yang menjadi esensial dan akan menjadi pondasi bagi pembelajaran dan level kompetensi berikutnya dan menjadi prasyarat untuk maju ke level selanjutnya,” katanya.
Langkah itu, menurut Nadiem, ditempuh agar pengajaran bisa lebih terfokus. “Jadi kurikulum ini agar para guru bisa fokus, sehingga tidak melebar, melainkan mendalam. Jadi lebih baik mendalami yang esensial, dari pada tidak ada yang tuntas. Jadi, ini bukan membuat kurikulum menjadi tidak standar, melainkan memilih akan terfokus. Sedangkan, pelaksanaan kurikulum darurat ini berlaku sampai akhir tahun ajaran,” ujarnya.
Diharapkan pemerintah, melalui kurikulum darurat itu, Mendikbud menjelaskan, tersedia acuan kurikulum yang sederhana bagi guru. Kendati pemerintah telah menyiapkan kurikulum bagi sekolah yang membutuhkan kurikulum dengan standar pencapaian dan kompetensi dasar yang lebih sederhana, sekolah atau satuan pendidikan tidak diwajibkan untuk mengikuti kurikulum darurat tersebut.
Termasuk, bagi sekolah yang sudah melakukan penyederhanakan kurikulum secara mandiri, Mendikbud juga menyampaikan, masih diperbolehkan untuk melanjutkannya. “Jadi kurikulum darurat ini, yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh para guru, sifatnya opsi bagi sekolah dan pemda. Tidak dipaksakan,” tandasnya.
Modul SD dan TK
Selain menyederhanakan kompetensi dasar dan standar pencapaian dengan mengacu Kurikulum 2013, Mendikbud mengatakan, bagi jenjang yang lebih muda, SD dan PAUD, pihaknya juga membantu berbagai pihak terkait dalam melakukan proses belajar-mengajar. Yakni, sambung dia, dengan menyediakan modul pembelajaran spesifik.
“Modul itu berisi panduan bagi guru, pendamping dalam hal ini orang tua, dan siswa. Dengan modul itu, pembelajaran bisa dilakukan di rumah, secara independen,” katanya.
Bagi PAUD, Mendikbud membeberkan, modul belajar dijalankan dengan tema “Bermain adalah Belajar”. Sehingga, sambung dia, proses pembelajaran terjadi saat anak bermain serta melakukan kegiatan sehari-hari.
“Ini tujuannya agar kesenangan belajar di rumah meningkat dan kebosanan anak-anak PAUD bisa diturunkan,” katanya.
Sedangkan bagi modul tingkat SD, Mendikbud menjelaskan, orientasinya kompetensi esensial yakni literasi, numerasi, pendidikan karakter, dan kecakapan hidup. Dan juga, sambungnya, kompetensi dasar yang mencakup berbagai mata pelajaran.
“Jadi bedanya modul ini dengan modul-modul sebelumnya adalah modul ini secara jelas memberikan pendampingan sangat spesifik pada guru, orang tua, dan siswa. Dengan modul ini, guru bisa lebih percaya diri karena telah melakukan pengajaran yang benar dan legal. Lalu, modul ini memberikan instruksi jelas bagaimana orang tua bisa mendampingi anaknya belajar dari rumah dan koordinasi dengan guru. Dan bagi siswa, diberikan penjelasan dengan cara sangat mudah tentang aktivitas apa saja yang bisa dilakukan di rumah,” tuturnya.
Asesmen Diagnostik
Tidak hanya memberikan modul untuk pengajaran, Kemendikbud juga memberikan paket asesmen diagnostik bagi guru yang menjalankan kurikulum darurat. Sehingga, menurut Nadiem, guru dapat mendiagnosis Asesmen dilakukan di semua kelas secara berkala untuk mendiagnosis kondisi kognitif dan non-kognitif siswa sebagai dampak pembelajaran jarak jauh.
“Termasuk seberapa jauh ketertinggalan anak dalam standar kompetensi. Dari situlah guru dapat melakukan segmentasi dan bisa memberikan bantuan dan waktu khusus bagi para orang tua dan murid yang paling membutuhkan,” katanya.
Masih bagi para guru, pemerintah dalam hal ini melalui Kemendikbud, juga memberikan relaksasi peraturan terkait guru. Di mana, kata Mendikbud, kini guru tidak lagi diwajibkan memenuhi beban kerja 24 jam tatap muka dalam seminggu.
“Dengan demikian, guru dapat fokus memberikan pelajaran interaktif kepada siswa tanpa perlu mengejar pemenuhan jam,” katanya, seraya kembali memberi penekanan bahwa semua langkah tersebut digelar demi mendukung kesuksesan pembelajaran siswa di berbagai jenjang di masa pandemi Covid-19.
Penulis: Ratna Nuraini
Editor: Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari