Neraca perdagangan di semester I-2020 mencetak surplus. Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari - Juni 2020 ada arus ekspor USD75,5 miliar dan impor USD70.9 miliar, hingga tercatat surplus USD5,50 miliar. Situasi pandemi jelas telah mengubah pola produksi dan konsumsi nasional.
Situasi serupa berlanjut di bulan Juli. Data BPS yang dirilis Sabtu (8/8/2020) menyebutkan, pada Juli 2020 ada surplus USD3,26 miliar, dari hasil ekspor USD13,73 miliar dan impor USD10,47 miliar. Maka, periode Januari--Juli terjadi akumulasi surplus USD8,74 miliar.
Perkembangan baru di tengah pandemi ini pun dipandang sebagai momentum membenahi struktur industri nasional. Banjir impor bahan penolong tak terjadi sebagaimana biasa. Dari ekspor Januari-Juli 2020 yang mencapai USD90,12 miliar, sumbangan dari sektor nonmigas mencapai USD85,44 miliar dan sektor industri menjadi penyumbang terbesar.
Pemerintah pun terus mendorong agar sektor industri, terutama industri pengolahan harus bergerak makin cepat. Apalagi, sektor industri juga memberi kontribusi terbesar bagi struktur produk domestik bruto (PDB) nasional, yakni 19,87 persen (kuartal 2 tahun 2020). Terpaut jauh dari sumbangan sektor pertanian dan perdagangan yang masih di kisaran 13 persen pada PDB.
Pelbagai instrumen stimulus dan insentif pun dikeluarkan. “Kami akan terus melakukan berbagai upaya strategis agar industri manufaktur tetap berproduksi dan terjaga daya saingnya di tengah pandemi ini. Salah satunya memberikan fleksibilitas bagi dunia usaha untuk beroperasi,” ujar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Jumat (7/8/2020).
Dalam rencana strategis (renstra) Kementerian Perindustrian 2020-2024, salah satu prioritasnya ialah pengembangan daya saing industri petrokimia. Langkah sinergi antarperusahaan lokal pun didorong. Pemerintah mendukung kerja sama antara PT Pertamina (Persero), melalui anak perusahaan PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), dan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk.
Keduanya telah menandatangani head of agreement (HoA), bersepakat kerja sama mengembangkan industri petrokimia di Indonesia, sehingga dapat menekan impor. Nota kesepakatan itu diteken oleh Direktur Utama dari PT KPI Ignatius Tallulembang dan Presiden Direktur Chandra Asri Petrochemicial Erwin Ciputra, Selasa (25/8/2020).
Dirut Pertamina Nicke Widyawati menyatakan, kedua perusahaan diharapkan dapat bekerja bersama menambal defisit kebutuhan petrokimia di dalam negeri. Selain itu, tambahnya, keduanya juga dapat mengambil peluang dalam bisnis hilir petrokimia dalam negeri. “Hal ini sesuai arahan Presiden guna mendorong pembangunan pabrik yang menghasilkan import substitution,” ujar Nicke pada kesempatan yang sama.
Pilihan Pertamina bisa dipahami. PT Chandra Asri telah punya jejak rekam panjang, dan kini menjadi salah satu produsen petrokimia terbesar di Indonesia. Pabrik Chandra Asri adalah satu-satunya yang memiliki instalasi pemecah naphtha, memproduksi olefin (etilena, propilena), Pygas, dan C4 campuran, serta poliolefin (polietilena dan polipropilena). Kerja sama itu akan memperkuat bisnis hulu Pertamina di petrokimia yang kini telah memiliki Tuban Petro, dengan share hingga 80 persen.
Pada kesempatan itu pula, Komisaris PT Chandra Petrochemical Tbk Agus Salim Pangestu mengatakan, bisnis petrokimia tergolong prospektif dan harus terus dieksplorasi. “Setelah ini kami dapat mulai studi kelayakan. Proyek-proyek dalam HoA ini hanya langkah awal saja,” katanya.
Langkah kerja sama itu pun sesuai dengan harapan Presiden Joko Widodo, seperti yang disampaikan di depan sidang Tahunan MPR RI di Senayan, Jumat (14/8/2020). Presiden meminta pembangunan beberapa kilang pengolahan minyak mentah bisa sekaligus menjadi penggerak industri petrokimia yang memasok industri hilir bernilai tambah tinggi. ”Ini yang terus kami kerjakan. Memperkuat industri hilir,” ujar Menteri Agus Kartasasmita.
Insentif Industri
Beberapa waktu lalu, pemerintah telah memberikan sejumlah stimulus dan insentif bagi industri. Selain itu, industri manufaktur, termasuk ke industri petrokimia, juga menikmati harga gas industri USD6 per million metric british thermal unit (MMBTu). Turun dari harga pasar sebelumnya.
Melalui kebijakan itu, produktivitas dan daya saing industri diharapkan semakin meningkat. “Sudah sewajarnya industri mendapatkan perhatian khusus di tengah wabah pandemi Covid-19,” ujar Agus Kartasasmita.
Industri petrokimia salah satu dari enam sektor industri yang mendapatkan alokasi dan harga khusus. Sesuai dengan Kepmen ESDM No. 89K/10/MEM/2020. Industri itu mendapatkan jatah 75,7 BBTUD.
Tak dipungkiri, posisi Indonesia dalam lanskap industri petrokimia masih sebatas pasar bagi produsen petrokimia asing dan berkontribusi bagi tingginya impor. Ujungnya, muncul defisit neraca perdagangan. Pasalnya, dalam bisnis petrokimia, posisi Indonesia dalam lanskap industri petrokimia masih sebatas sebagai pasar strategis bagi produsen petrokimia asing. Petrokimia selama ini menjadi pos yang terus membobol neraca perdagangan.
Menurut catatan Kementerian Perindustrian, nilai impor petrokimia mencapai USD20 milliar atau Rp284 triliun pada 2019. Masalah ini oleh Presiden Jokowi sudah diingatkan berkali-kali, dan petrokimia pun disebut sebagai salah satu sektor yang melakukan impor bahan baku. Harapannya, Indonesia tidak lagi melakukan impor petrokimia dalam kurun waktu 4-5 tahun mendatang. Sejumlah kebijakan pun sudah diberikan termasuk insentif pajak, seperti tax allowance dan tax holiday.
“Impor kita di petrokimia masih besar. Kita harapkan investasi, penanaman modal yang terus-menerus di bidang ini harus kita berikan ruang. Bila terpenuhi, impor bahan petrokimia bisa berhenti, bahkan bisa ekspor,” kata Agus Gumiwang.
Sebagai potret industri tersebut, sepanjang 2019 neraca perdagangan seluruh bahan kimia masih defisit Rp193 triliun, dengan nilai ekspor Rp124 triuliun, dan nilai impor Rp137 triliun. Di sisi lain, kebutuhan terhadap produk petrokimia dalam negeri masih sangat besar. Volume kebutuhan polyethylene, misalnya, mencapai 2,3 juta ton per tahun. Produksinya dari dalam negeri hanya mampu memenuhi 280.000 ton per tahun. Maka, sebesar 1,52 juta ton masih harus diimpor dari negara lain.
Sesuai dengan peta jalan industri, industri petrokimia pun didorong terus tumbuh berkembang. Berbagai proyek pembangunannya dilakukan. Pembangunan pabrik baru Chandra Asri Petrochemical dengan nilai investasi USD5,42 miliar telah rampung dan mulai beroperasi Desember lalu. Lalu, PT Lotte Chemical Indonesia sedang membangun pabrik dengan investasi USD3,5 miliar. Pertamina pun kini telah menguasai PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), anak perusahaan PT Tuban Petrochemical Industries.
Di luar itu, masih ada pula pembangunan industri petrokimia hilir di bidang pupuk, yakni pembangunan Pabrik Kaltim-5, PKG II, Pusri IIB, Pabrik NPK, dan Pabrik NPK Fusion. Proyek ini diharapkan mengurangi ketergantungan impor petrokimia di tanah air.
Pabrik baru Chandra Asri Petrochemical bisa memproduksi polyethyelene, bahan baku plastic, sebesar 1,19 juta ton per tahun. Dengan angka ini, penghematan biaya impor mencapai Rp8 triliun per tahun.
Selain itu, pabrik perusahaan yang berlokasi di Cilegon itu juga memiliki kapasitas produksi ethylene sebesar 1,1 juta ton per tahun, propylene sebesar 550.000 ton per tahun, high density poly ethylene (HDPE) sebesar 450.000 ton per tahun, low density polyethylene (LDPE) mencapai 300 ribu ton per tahun, dan linear low density polyethylene (LLDPE) 50.000 ton per tahun.
Akuisisi Pertamina hingga 96% terhadap TPPI juga diproyesikan mampu menggenjot produksi petrokimia dalam negeri hingga 80% dari kapasitas TPPI. Operasional kilangnya bisa memproses 100.000 barel per hari (bph) kondensat dan/atau nafta, sekaligus memproduksi 61.000 bph premium, 10.000 bph HOMC 92 (Pertamax), 11.500 bph solar, dan LPG 480 metrik ton per hari.
Harapannya melalui berbagai proyek ini, Indonesia bisa bebas impor petrokimia pada 2024. Langkah ini juga dilengkapi dengan membangun pabrik katalis untuk memaksimalkan produksi industri, termasuk bisnis petrokimia. Sebuah mimpi besar, namun wabah pandemi menahan laju itu.
Penulis: Firman Hidranto
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini