Indonesia.go.id - Potret Rinci Dampak Pandemi

Potret Rinci Dampak Pandemi

  • Administrator
  • Jumat, 18 September 2020 | 02:03 WIB
SURVEI BPS
  Hotel di Lombok sepi tamu. BPS menyebut bisnis hotel menjadi yang paling terpukul pada masa pandemi ini. Foto: ANTARA FOTO/ Ampelsa

Sekitar 82% dari semua unit usaha di Indonesia mengalami penurunan pendapatan akibat pandemi. Sedangkan 35% harus mengurangi pegawai. Yang tumbuh di tengah pandemi hanya 2%.

Gambaran akan dampak sosial ekonomi akibat pandemi Covid-19 itu sudah seperti nasi dan sambal saja, tersaji setiap hari. Tapi, potret makro yang lebih rinci baru tersaji melalui survei Badan Pusat Statistik (BPS), yang laporannya dikemas dalam bentuk e-booklet beredar secara luas untuk umum sejak pertengahan September 2020.

Survei BPS itu dilakukan secara online dengan dengan target kalangan dunia usaha yang telah teregister. Ada dua kelompok di situ, yakni usaha mikro kecil (UMK) serta usaha menengah besar (UMB) dari seluruh Indonesia. Seluruhan terjaring 34.559 responden, terdiri dari 25.256 unit (73%) UMK dan 6,821 (27%) UMB. Secara proporsional mereka mewakili Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku-Papua, serta Bali-Nusa Tenggara.

Pengumpulan data dilakukan 10-17 Juli 2020, ketika seluruh wilayah Indonesia baru menjalani relaksasi dari status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dengan demikian, hasil survei itu menggambarkan kondisi dunia usaha sekitar Maret, April, Mei, dan Juni 2020.

Menurut survei BPS itu, pandemi Covid-19 menimbulkan turbulensi ekonomi dalam skala yang cukup luas. Sebanyak 82,85% unit usaha mengaku mengalami penurunan pendapatan. Tidak ada perbedaan persentase dari kelompok UMK dengan UMB. Keduanya sama-sama berdarah darah.

Yang paling parah adalah usaha hotel dan restoran. Dari setiap 100 usaha ini, 92 di antaranya mengalami penyusutan pendapatan. Berikutnya ialah transportasi dan pergudangan, yang 90 dari 100 pelakunya terpangkas income-nya. Secara umum bisa dikatakan, hampir semua bidang terpapar oleh dampak pandemi ini.

Dari survei itu terungkap pula bahwa ada 14,6% yang menyatakan pendapatannya relatif tetap. Bahkan, ada 2,5% yang income-nya justru meningkat. Tak dirinci jenis-jenis usahanya. Namun secara umum, memang usaha-usaha farmasi, makanan kesehatan (herbal), budi daya pertanian (termasuk peternakan dan perikanan), dan perdagangan secara online cenderung meningkat di tengah pandemi Covid-19 ini. Tentu, porsinya tak seberapa dibanding yang terpuruk.

Yang terpuruk dan tak bisa mengoperasikan lagi usahanya juga tak sedikit, yakni 8,7%. Mereka menutup usahanya paling tidak untuk sementara waktu. Langkah drastis itu dilakukan agar tak mengalami kerugian yang lebih dalam.

Sebagian lain yakni 24,3% memilih mengurangi produksi dan menurunkan kapasitas usahanya.  Buat apa memproduksi banyak-banyak kalau tak terserap pasar. Maka, untuk menyeimbangkan biaya dan pendapatan, produksi dikurangi. Toh, ada pula yang bisa melakukan kegiatan usaha seperti biasa dengan meminta sebagian pekerjanya work from home (WFH) yakni 5,45%, dan ada pula 2,1% yang meminta seluruh pegawainya WFH.

Yang mengherankan, ada 58,95% responden yang menyatakan tetap mengoperasikan kegiatan usahanya seperti biasa. Tampaknya, mereka itu memilih terus melakukan kegiatan usaha meski pendapatan menurun. Pilihan ini diambil untuk mempertahankan produk atau jasa mereka tetap memenuhi pasar sekalipun harus merugi. Bila menarik diri dari market, pangsa pasarnya akan diambil alih oleh kompetitor dan itu akan menyulitkan dalam situasi pascapandemi. Kemungkinan lain, mereka terikat kontrak.

Yang terus memaksakan diri beroperasi dengan skala biasa sekalipun penghasilan menyusut itu banyak terjadi di Jawa. Di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, masing-masing 58%, 55%, dan 50% unit usaha beroperasi seperti biasa. Bahkan, di Sulawesi 60%, dan di DKI Jakarta 29%. Sebanyak 66% dari mereka mempertahankan pekerjanya. Hanya 33% yang harus merumahkan sebagian pegawai atau memangkas jam kerja mereka.

Pengusaha yang menyatakan dapat beroperasi secara biasa itu terutama dari cabang -cabang usaha penyediaan air dan pengelolaan sampah. Tak kurang dari 77,8% perusahaan di bidang ini masih bisa beroperasi secara biasa. Di bidang pertanian-peternakan ada karena usaha ini tak bisa seketika dihentikan.

Dari bidang perdagangan dan reparasi kendaraan 69% dapat beroperasi secara biasa, 66% di usaha pertambangan, dan penggalian ada 66%. Sektor usaha yang tertinggi melakukan penghentian operasi ialah jasa pendidikan. Hanya 27% yang menyatakan bisa beroperasi seperti biasa. Namun, 73% lainnya tutup untuk sementara.

Pandemi ini membuat 35,5% unit usaha memutuskan untuk mengurangi pegawai. Situasi itulah yang belakangan membuat munculnya gelombang pengangguran baru. Namun, 62,5% usaha lainnya masih dapat mempertahankan jumlah pekerjanya. Bahkan, ada 2% usaha yang menambah pegawai.

Yang terbanyak mengurangi pegawai adalah industri pengolahan, bisnis konstruksi dan hotel restoran. Dari klaster UMK, ada 33% yang harus mengurangi pegawai, dan dari klaster UMB ada 46%. Mereka mengaku harus mengurangi pekerja lantaran mengalami masalah keuangan dalam hal modal kerja. Kendala keuangan itu terjadi, antara lain, karena klien-klien mereka pun menghadapi kesulitan serupa.

Survei BPS ini memberikan potret murung. Namun seperti disebutkan Kepala BPS Suharyanto dalam pengantar booklet itu, penyajian berupa indikator-indikator dampak Covid-19 ini untuk memberikan informasi kepada para pemangku kepentingan, guna menyusun perencanaan dan langkah-langkah cepat serta strategis dalam pemulihan ekonomi nasional. Dalam booklet tipis itu BPS memang menyajikan data yang cukup kaya.

 

 

 

Penulis: Putut Trihusodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini