Indonesia.go.id - Hidung Sensitif untuk Tes Masif

Hidung Sensitif untuk Tes Masif

  • Administrator
  • Kamis, 12 November 2020 | 23:38 WIB
TES COVID-19
  Dirut RSUP Dr Sardjito, Rukmono (kiri) menampung nafas untuk diuji dengan alat tes cepat COVID-19 melalui hembusan nafas yang diberi nama GeNose hasil inovasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta saat peluncuran dimulainya penelitian GeNose di RSUP Dr. Sardjito, Sleman, D.I Yogyakarta, Senin (26/10/2020). Foto: ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/wsj.

Untuk mendeteksi massal pandemi Covid diperlukan perkakas tes yang cepat, murah, dan mudah dioperasikan. Teknologi hidung elektronik dianggap menjanjikan. UGM tawarkan Ge-Nose.

Tes Covid-19 itu makan waktu dan biaya. Situasi di lapangan pun menunjukkan, meski sudah ada piranti tes cepat, baik dengan platform serologis (dengan tes darah) atau yang molekuler (tes swab), nyatanya tracing korban tidak bisa secepat yang diharapkan. Belum lagi, biayanya yang tak dapat disebut murah.

Kondisi inilah yang membuat para ilmuwan berlomba menciptakan perkakas praktis yang bisa menjadi andalan di lapangan. Salah satu yang sedang jadi sorotan adalah hidung elektronik (e-nose). Piranti ini menjanjikan kepraktisan: hanya dengan memeriksa, “membaui “, hembusan nafasnya, seorang bisa diketahui telah terinfeksi Covid-19 atau tidak. Hanya dalam satu atau dua menit.

Puluhan, bahkan mungkin ratusan lembaga penelitian, terjun berlomba untuk menjadi pihak pertama yang menghadirkan e-nose untuk mengendus Covid-19 secara cepat, gampang, dan akurat. Fenomena itu terjadi di seluruh dunia. Bahkan, di Amerika Serikat, sebuah kolaborasi badan nirlaba menggelar lomba XPrize Rapid Covid Testing Competition, untuk menemukan karya unggulan. Hadiahnya USD6 juta.

Kompetisi itu telah memasuki babak semi final. Sejumlah karya yang diajukan berplatform e-nose. Alasannya, hidung elektronik ini memenuhi tuntutan lebih cepat, lebih murah, dan lebih mudah.  Ditambah pula prosesnya noninvasif, yakni tindakan medis tanpa memasukkan alat ke dalam tubuh, tanpa menyebabkan kerusakan kulit atau rongga tubuh manusia.

Di tengah pencarian itu, pada awal November 2020, media Singapura ramai menyoroti Beathronix Pte Ltd, sebuah firma kecil (star-up), yang mengumumkan siap mengoperasikan karya hidung elektroniknya untuk layanan tes Covid-19. Produk inovasi itu diberinya nama Breathonix. Disebutkan, dalam tempo semenit hasil tes keluar dan akurat.

Selain cepat, perkakas ini juga mudah dioperasikan dan murah. Dalam kalkulasinya, jika ada 5.000 pasien yang menjalankan tes per bulannya, Breathonix bisa menjual jasanya dengan harga Sing 20 dolar (sekitar Rp200 ribu) per tes.

Tak heran bila media Singapura mengelu-elukan Breathonix. Bila otoritas kesehatan Republik Singapura mengizinkannya, ia akan menjadi elektronik pertama yang dipercaya bekerja mengendus Covid-19.

Beathonis Ltd, firma yang didirikan oleh tiga alumni National University of Singapore (NUS), dengan dukungan fasilitas riset dari almamaternya itu, menyatakan bahwa uji klinis telah dilakukan atas 180 orang. Hasil tesnya itu kemudian dikonfirmasi dengan uji swab PCR (polimerasi chain reaction) dan akurasinya ternyata bisa mencapai 90 persen. Capaian itu dianggap tidak kalah menjanjikan dibanding rapid test serologis maupun molekuler.

Namun, Breathonix tak bisa melenggang begitu saja. Firma star-up itu sedang mengajukan izin hak edar (emergency use authorization) dari Pemerintah Singapura. Ada optimisme hak edar bisa diterbitkan sebelum akhir 2020. Namun, Kementerian Kesehatan Singapura belum menyampaikan pernyataan resmi tentang Breathonix ini.

Kalau pun Pemerintah Singapura meloloskannya, Breathoxin bukan satu-satunya pihak yang menerapkan teknologi hidung elektronik itu untuk mengembangkan piranti tes Covid-19. Di sejumlah negara, lembaga-lembaga penelitian dan universitas masih terus mengembangkan teknik serupa untuk tujuan yang sama. Hidung elektronik itu memang diharapkan lebih cepat hadir, karena tergolong murah dan mudah dioperasikan.

 

Ge-Nose dari UGM

Di tanah air, Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta berada di posisi terdepan dalam arena balap pengembangan hidung elektronik untuk Covid-19. Dari kampus Bulaksumur itulah lahir perkakas sederhana tapi canggih yang disebut Gajahmana Electronic Nose (Ge-Nose). Dalam pengujian profiling, hasil penciuman Ge-Nose itu mencatat akurasi 97 persen terhadap PCR.

Di bawah pimpinan Profesor Kuwat Triyana, tim gabungan yang terdiri dari sejumlah ahli dari beberapa fakultas itu bergerak tidak lama setelah pandemi Covid-19 menerjang Indonesia. Tanpa harus menunggu lama, piranti baru itu sudah tersedia, lulus hasil uji lapangan dan bisa diperkenalkan ke publik pertengahan Agustus lalu.

Hasil uji klinis yang meyakinkan itu membuat Ge-Nose mendapat dukungan pemerintah. Jalan untuk melakoni uji diagnosis pun terbuka di sembilan rumah sakit, enam di Yogyakarta, tiga lainnya di Jakarta, Magelang, dan Malang. Acara kick-off-nya digelar di RS Dokter Sardjito Yogya, di akhir Oktober lalu. Targetnya, pada setiap RS tersedia sekitar 200 orang sampel.

Pada setiap sampel akan dilakukan tes ganda, dengan Ge-Nose dan swab PCR. Dengan begitu, akan terlihat langsung kesesuaian hasil tes keduanya. Pemilihan sampel tidak dilakukan secara acak, karena desain eksperimen menghendaki itu proporsi yang positif dan negatif Covid-19 pada angka sekitar 50:50.

Pada akhir November, hasil uji diagnosis itu diharapkan sudah bisa diketahui, untuk menjadi pertimbangan, sebelum pemerintah memberikan izin untuk digunakan secara luas sebagai piranti surveilance, pemantauan di masyarakat, dan skrining di kalangan suspek.

Alur kerja Ge-Nose sendiri cukup mudah. Orang menjalani tes dengan meniupkan nafasnya ke dalam tabung yang akan meneruskannya ke kantung plastik. Dari kantung plastik itu, hawa dari paru orang tersebut disedot dengan pompa kecil dan masuk ke boks Ge-Nose yang ukurannya tak lebih besar dari boks kardus makan siang. Dalam tempo 80 detik, hasil pemeriksaan sudah terpampang di layar laptop yang terhubung dengan boks Ge-Nose tersebut.

Dalam tabung (sekali pakai) tempat pasien meniupkan nafasnya itu terdapat saringan udara HEPA, yang membuat virus (juga kuman lainnya) tidak bisa lewat. Ge-Nose tidak memerlukan droplet atau virus untuk bekerja. Ia hanya mengobservasi partikel-partikel hembusan nafas secara fisik.

 

Aman, Murah, dan Cepat

Prinsip kerja e-nose itu mirip hidung, yang memanfaatkan sel syaraf untuk menerima rangsang bau, lalu diteruskan ke otak untuk kemudian disimpulkan identitas bau tersebut. Sel-sel syaraf itu digantikan oleh sejumlah sensor (reseptor), biasanya 16 unit, berupa benang-benang  halus (dari metal atau polimer),  yang sensitif ketika melakukan kontak fisik dengan embusan nafas yang berisikan material VOC (volatile organic compound).

Embusan nafas orang yang terinfeksi Covid-19 akan berbeda “baunya” dari orang sehat, dan dari orang yang, misalnya terinfeksi bakteri TBC. Dalam organ pernafasan, virus corona punya pola metabolisme sendiri, yang berbeda dari kuman lain, sehingga khas pula baunya. Kekhasan itulah yang harus ditangkap oleh sensor e-nose.

Sensor itu sendiri memberikan reaksi berupa impuls listrik setiap kali terkena tumbukan VOC. Beda zat, beda juga reaksinya. Maka, dengan 16 sensor, paparan nafas selama 1-2 menit saja bisa memberikan tumpukan bermiliar data elektronik. Untuk analisis polanya, serahkan saja pada piranti artificial intelegent (AI) yang terpasang pada Ge-Nose. Untuk mendukung kinerja unit AI-nya, bahkan Ge-Nose juga terhubung dengan server cloud yang mendukung dengan aplikasi khusus. Interkoneksi itulah yang membuat hasil tes bisa disajikan secara cepat.

Ge-Nose sangat aman. Selain botolnya sekali pakai, dengan adanya filter HEPA, praktis boks Ge-Nose aman dari paparan virus atau kuman lainnya. Tak ada potensi penularan.  Menurut Profesor Kuwat Triyana, Ge-Nose per unitnya bisa diproduksi dengan harga Rp40 juta. Sensornya bisa bertahan dengan akurasi tinggi hingga lebih dari 10 ribu kali pemakaian. Sangat ekonomis.

Profesor Kuwat Triyana sendiri sudah belasan tahun mengembangkan teknologi e-nose ini di UGM. Banyak karya inovatif yang telah dihasilkan laboratoriumnya. Ada e-nose untuk deteksi pasien TBC, e-nose untuk mendeteksi daging yang tak segar, e-nose untuk mengenali makanan yang dicampur formalin, bahkan e-nose yang bisa mengenali sapi betina yang sedang birahi.

Sudah saatnya, e-nose dari Yogya ini diadaptasikan oleh komunitas industri Indonesia.

 

 

Penulis: Putut Trihusodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini

Berita Populer