Presiden Joko Widodo menyatakan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro berhasil menurunkan kasus Covid-19.
Kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berbasis skala mikro tahap II yang berlaku 9-22 Februari 2021 di tujuh provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali, mendekati akhir periodesasinya. Dari kebijakan itu, terlihat semua pemangku kepentingan mulai tingkat nasional hingga tingkat bawah bahu-membahu mengendalikan wabah Covid-19.
Hasilnya? Cukup menggembirakan. Presiden Joko Widodo pun menyatakan keberhasilan kebijakan tersebut. Menurut Presiden, pemberlakuan skala mikro berhasil menurunkan kasus Covid-19.
"Tiga minggu lalu masih di angka 14.000, 15.0000. Sekarang, sudah di angka 8.000, 9.000. Hanya kemarin di 10.000. Tapi ini menunjukkan bahwa PPKM mikro ini kalau kita lakukan serius, ini akan memberikan hasil," kata Jokowi, dalam siaran di kanal Youtube Sekretariat Presiden, Sabtu (20/2/2021).
Jokowi mengatakan, dirinya sejak awal menginginkan pembatasan berskala mikro. Menurutnya, PPKM yang sebelumnya diterapkan, terbukti tidak efektif menekan laju penularan Covid-19.
Presiden pun menambahkan, dalam kebijakan PPKM mikro, pemerintah meniru India. India menerapkan micro lockdown yang kemudian efektif menurunkan kasus Covid-19. "Bahkan, kita juga tanya ke Menteri Kesehatan India karena di sana bisa tajam terjunnya.”
Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) Airlangga Hartarto pun menceritakan keberhasilan kebijakan PPKM mikro. Selama dua pekan pelaksanaan PPKM berskala mikro berdampak positif terhadap penanganan Covid-19. Bahkan, kasus Covid-19 aktif turun 17,27 persen. “Secara nasional, jumlah kasus aktif mengalami penurunan signifikan, yakni 17,27 persen.”
Airlangga menjelaskan, tren kasus aktif di lima provinsi prioritas berhasil diturunkan, yakni di DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Tren bed occupancy rate (BOR) atau rasio ketersedian tempat tidur rumah sakit juga menurun, yakni di bawah 70 persen.
Sementara itu, tren kesembuhan di lima provinsi tersebut berhasil ditingkatkan dan tren kematian di tiga provinsi (DKI, Jabar, dan Bali) berhasil diturunkan. Di sisi lain, tren kepatuhan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan juga berhasil ditingkatkan antara 87,64- 88,73 persen.
Pemerintah mengubah nomenklatur pembatasan wilayah dari PSBB menjadi PPKM, dan pelaksanaa PPKM skala mikro sudah masuk tahap kedua. Nah, apa bedanya PSBB dan PPKM? Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat diberlakukan seiring pengetatan protokol kesehatan di sebagian daerah di Jawa-Bali pada 11-25 Januari 2021 (tahap I).
Istilah PPKM ini digunakan pemerintah sesuai dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri nomor 1 tahun 2021 kepada seluruh kepala daerah di sebagian daerah di Jawa dan Bali. Sementara itu, selama ini pemerintah sudah menggunakan istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak 10 April 2020 dengan berdasar pada Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2020 tentang PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 yang merujuk ke UU nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Diperpanjang
Dan, dari keberhasilan PPKM skala mikro jilid II, pemerintah berencana memperpanjang kebijakan tersebut menjadi jilid III di wilayah yang sama, untuk 23 Februari sampai 8 Maret 2021. PPKM mikro tetap melibatkan 123 kabupaten/kota di tujuh provinsi.
Pertanyaan selanjutnya, apakah PPKM skala mikro itu menghambat dari sisi ekonomi? Ketika menerapkan kebijakan itu, pemerintah telah memberikan keyakinan bahwa kebijakan PPKM mikro tidak akan merusak kegiatan ekonomi masyarakat.
Memang, adanya kebijakan memberikan pengelolaan penanganan Covid-19 menjadi lebih fleksibel tanpa mengurangi upaya terus menekan penyebaran wabah tersebut. Pembatasan-pembatasan yang biasa dilakukan skala yang luas, skalanya menjadi mikro.
Di sisi lain, potensi untuk kegiatan ekonomi dan sosial yang aman Covid-19 itu jadi bisa dilakukan. Artinya, aktivitas sosial ekonomi masyarakat yang aman dari Covid-19 bisa dilakukan dengan menggunakan prinsip gas dan rem di tingkat desa dan kelurahan.
Tak dipungkiri, kebijakan itu sudah dipilih. Kita harus menyakini bahwa perekonomian diprediksi semakin membaik. Itu sesuai dengan komitmen pemerintah untuk menyegerakan pemulihan ekonomi. Mengerem laju persebaran Covid-19 menjadi hal yang paling utama dan tidak bisa ditawar-tawar serta menjadi kunci pemulihan ekonomi.
Oleh karena itu, untuk mengatasi kesulitan ekonomi masyarakat dalam jangka pendek ini, bantuan sosial wajib secepatnya disalurkan. Selain itu, pemerintah perlu kerja cepat dan terukur, termasuk masalah vaksinasi.
Dalam konteks pemulihan ekonomi di tengah pandemi, pemerintah sangat memperhatikan kalangan pelaku usaha, termasuk pelaku UMKM dan koperasi. Pasalnya, sektor itu dinilai yang banyak menyerap tenaga kerja. Bila aktivitas sektor itu tetap berjalan dan mendapatkan stimulus untuk pemulihan, harapannya ekonomi nasional tetap berjalan, meski belum sepenuhnya normal.
Sebagai gambaran, dari total APBN 2021 sebesar Rp2.750 triliun, alokasi program PEN mencapai Rp627,9 triliun, UMKM dan Korporasi Rp157,57 triliun, insentif usaha dan pajak Rp47,27 triliun, dan perlindungan sosial mendapatkan alokasi sebesar Rp148,66 triliun.
Anggaran sudah ditentukan. Harapannya, sejumlah stimulus, relaksasi, dan bantuan sosial tunai kepada masyarakat bisa disalurkan tepat waktu dan tepat sasaran. Begitu juga dengan program Kartu Prakerja, subsidi gaji kepada pekerja, dan bantuan modal kerja kepada UMKM. Itu dapat diteruskan dan diperluas agar mampu menjaga dan meningkatkan daya beli masyarakat. Konsumsi meningkat, ekonomi di tengah masyarakat pun tetap moncer.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari