Pembiayaan inklusif untuk UMKM sangat berperan dalam perekonomian, dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi serta pangsa yang besar terhadap produk domestik bruto (PDB). UMKM menjadi kunci pemulihan ekonomi nasional.
Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) masih meminta agar akses untuk mendapat restrukturisasi kredit dapat diperpanjang. Alasannya, karena kondisi ekonomi yang belum normal. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah memperpanjang sampai 2023. Presiden Jokowi juga akan mencarikan solusi untuk permintaan UMKM tersebut.
"Akses pembiayaan ini yang tadi Pak Presiden sampaikan. Misalnya, ada mereka yang sudah punya pinjaman tapi sudah masuk pada program restrukturisasi untuk mendapatkan top up pembiayaan kan masih sulit, nahini yang mungkin nanti akan dicarikan solusinya," kata Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki seusai bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Presiden di Jakarta, pada Rabu, 15 September 2021.
Selain itu, Menkop Teten menyebut perlunya efektivitas belanja pemerintah sesuai dengan aturan undang-undang agar K/L dapat membelanjakan 40 persen anggarannya untuk produk koperasi dan UMKM. Hingga saat ini, belanja untuk produk koperasi dan UMKM baru mencapai sekitar 27 persen. Itulah sebabnya, Presiden Jokowi meminta K/L menyerap produk-produk (UMKM) yang ditawarkan.
Dalam dialog tersebut Presiden Jokowi juga mendengar masukan terkait pelaksanaan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). "Mereka ingin selalu dilibatkan di dalam pelaksanaan program PEN, dari asosiasi pedagang kaki lima mereka tadi berkepentingan untuk ikut terlibat dalam penyaluran bantuan 1,2 juta untuk satu juta PKL," ujar Menkop Teten.
Perlu diketahui, total pagu anggaran dalam program PEN untuk UMKM mencapai Rp184,93 triliun. Sebelumya, dalam pertemuan dengan perwakilan direktur utama bank di Istana Negara pada 8 September 2021, Presiden Joko Widodo mengapresiasi penambahan penyaluran kredit bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) oleh perbankan yang terus mengalami peningkatan. Dalam kesempatan itu Presiden Jokowi berharap, penyaluran kredit bisa terus ditingkatkan hingga mencapai angka 30 persen secara nasional pada 2024.
“Bapak Presiden tentunya berharap bahwa sektor perbankan bisa memberikan kredit kepada UMKM. Secara year on year sekarang rata-rata adalah sekitar 18 persen. Oleh karena itu, Bapak Presiden meminta agar kredit untuk UMKM bisa ditingkatkan menjadi 30 persen di tahun 2024,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto, selepas mendampingi Presiden Jokowi dalam pertemuan tersebut.
Airlangga mengatakan, target 30 persen merupakan angka keseluruhan dari kredit nasional, bukan target yang dibebankan kepada masing-masing perbankan. Menurutnya, Presiden Jokowi memahami bahwa setiap perbankan memiliki spesialisasi bisnis masing-masing.
“Saat sekarang seperti di BRI itu mendekati 70 persen dan ada yang spesialisasinya corporate. Namun, Bapak Presiden meminta agar keseluruhan kreditnya itu adalah 30 persen, bukan berarti setiap banknya harus 30 persen karena masing-masing punya spesialisasi sendiri-sendiri,” tambahnya.
Sementara itu Asisten Gubernur Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (BI) Juda Agung, pada Jumat, 3 September 2021 menyampaikan estimasi potensi kebutuhan kredit UMKM mencapai Rp1.605 triliun. "Dengan demikian, kalau semuanya bisa dipenuhi total rasio UMKM bisa mencapai 45 persen, jadi potensi permintaannya cukup besar," kata Juda, dalam taklimat media secara daring di Jakarta. Adapun saat ini rasio kredit UMKM terhadap total kredit mencapai 20,51 persen atau senilai Rp1.135 triliun.
Hasil survei BI mencatat, sebanyak 69,5 persen UMKM belum menerima kredit, sehingga baru 30,5 persen UMKM yang sudah menerima kredit. Menurut Juda Agung, dari 69,5 persen UMKM tersebut, terdapat 43,1 persen yang membutuhkan kredit sementara 26,4 persen tidak membutuhkan kredit. Dari 43,1 persen itu potensinya mencapai Rp1.605 triliun.
Ia merincikan, estimasi potensi tersebut meliputi kredit untuk usaha menengah sebesar Rp740 triliun (46 persen), usaha kecil senilai Rp534 triliun (33 persen), dan usaha mikro sebanyak Rp331 triliun (21 persen). Maka dari itu, seluruh pemangku kebijakan terus bersama-sama mendorong UMKM agar rasio kredit sektor tersebut bisa meningkat hingga mencapai target Presiden Joko Widodo, yakni 30 persen pada 2024.
Juda Agung mengatakan, perbankan wajib memenuhi Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) UMKM sebesar 20 persen pada Juni 2022. "Perhitungannya dilakukan secara bertahap yang kemudian menjadi 25 persen pada Juni 2023 dan 30 persen di Juni 2024," ujar Juda.
Perluasan target pembiayaan inklusif ini tentu dilakukan karena UMKM sangat berperan dalam perekonomian, dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi serta pangsa yang besar terhadap produk domestik bruto (PDB). Sehingga, UMKM menjadi kunci pemulihan ekonomi nasional.
Sebelumnya Bank Indonesia mengeluarkan peraturan yang mewajibkan bank umum konvensional, bank syariah, dan unit usaha syariah memenuhi RPIM minimal 20 persen dari total pembiayaan pada Juni 2022. Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 23/13/PBI/2021 ini tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah, berlaku efektif pada 31 Agustus 2021.
“Kewajiban pemenuhan RPIM dilakukan secara bertahap, yaitu paling sedikit sebesar 20 persen pada 2022, 25 persen pada 2023, dan 30 persen pada 2024,” kata Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam keterangannya mengenai PBI tersebut, di Jakarta, 2 September 2021.
Salah satu penyebab timbulnya pengaturan ini adalah agar fungsi intermediasi perbankan atau penyaluran pembiayaan lebih seimbang kepada berbagai kelompok nasabah dan juga lebih berkualitas. “Pengaturan rasio pembiayaan inklusif makroprudensial perlu memperluas cakupan pembiayaan kredit atau pembiayaan UMKM dengan memperhatikan keahlian dan model bisnis bank,” demikian disampaikan bank sentral dalam peraturan itu.
BI akan memberikan sanksi dari teguran tertulis hingga sanksi kewajiban membayar maksimal Rp5 miliar jika perbankan melanggar ketentuan RPIM. Pasal 24 Bab IX dalam PBI ini mengatur sanksi akan berupa teguran tertulis untuk pemenuhan RPIM posisi akhir bulan Juni 2022 dan posisi akhir Desember 2022. Kemudian sanksi teguran tertulis dan kewajiban membayar untuk pemenuhan RPIM sejak posisi akhir Juni 2023.
Dengan berlakunya PBI ini, maka PBI nomor 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia nomor 17/12/PBI/2015 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
"PBI ini diterbitkan sebagai salah satu upaya Bank Indonesia meningkatkan inklusi ekonomi dan membuka akses keuangan serta memperkuat peran UMKM dalam pemulihan ekonomi nasional," kata Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono, dalam keterangan resminya di Jakarta.
Ia mengatakan, kebijakan tersebut memberikan opsi yang lebih luas bagi perbankan untuk berpartisipasi dalam pembiayaan UMKM, perorangan berpenghasilan rendah (PBR), dan pembiayaan yang bersifat inklusif lainnya.
Penerbitan PBI tersebut dilatarbelakangi dengan beberapa pertimbangan, yaitu BI berperan serta menjaga terpeliharanya stabilitas sistem keuangan melalui kebijakan makroprudensial dengan mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas.
Selanjutnya, untuk mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, perlu peningkatan akses pembiayaan inklusif dan pengembangan bagi UMKM dan PBR, Yakni melalui, pengaturan rasio pembiayaan inklusif makroprudensial, serta pengaturan rasio pembiayaan inklusif makroprudensial yang perlu memperluas cakupan pembiayaan kredit atau pembiayaan UMKM dengan memperhatikan keahlian dan model bisnis bank.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber Indonesia.go.id.