Industri migas 2019 masih perlu kerja keras agar bisa berkontribusi demi mendongkrak perekonomian nasional. Pasalnya sepanjang 2018, industri ini masih terus didera persoalan industrial, baik di sektor hulu dan hilirnya.
Indikator itu bisa terlihat dari neraca perdagangan negara ini. Di mana, sektor itu menjadi salah satu sektor penyumbang defisit transaksi berjalan pada Oktober 2018, yakni derasnya impor minyak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, defisit migas yang cukup besar, yakni US$1,4 miliar dari total defisit US$1,82 miliar.
Secara kumulatif dari Januari hingga November 2018, BPS mencatat defisit migas mencapai US$12,153 miliar atau setara dengan Rp176,2 triliun. Artinya, perlu segera pembenahan di sektor hilir sembari juga pembenahan secara serius di sektor hulu untuk pengembangan industri migas nasional.
Dalam konteks ini, pemerintah menyadari akar persoalan yang terjadi di industri migas nasional. Yakni, terus merosotnya produksi migas. Di sisi lain, tempat pengolahan juga masih terbatas. Bila masalah di hulu-produksi meningkat dan tempat pengolahan tersedia-tentu tidak akan berdampak pada masalah hilir tersebut.
Alhasil, kebijakan perluasan penggunaan B20 pun dipercepat dan diimplementasikan sejak 1 September 2018. Tak dipungkiri, industri migas fokus ke hilir sepanjang 2018 lebih banyak daripada kilang maupun ke hulu. Malah lebih fokus ke impor BBM.
Beberapa langkah yang harusnya menjadi fokus ke depan adalah pemerintah harus serius membangun kilang minyak terintegrasi dengan industri petrokimia. Selain itu, pemanfaatan energi alternatif juga harus menjadi perhatian pemerintah.
Tidak itu saja, dalam konteks pengembangan sektor hulu, kerja keras pemerintah untuk mengeksplorasi sumur-sumur migas patut diapreasiasi. Diharapkan investasi tetap datang tanpa membebani APBN yang cukup besar.
Ya, pada awal 2017, pemerintah mengeluarkan beleid baru untuk mendorong kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) melakukan pengembangan blok migas dengan mengubah dari rezim cost recovery menjadi rezim gross split. Tentu itu menjadi salah satu solusi untuk mengurai industri migas menjadi lebih baik lagi.
Beleid baru itu tertuang ke dalam Permen ESDM No. 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Permen ini mulai diberlakukan 16 Januari 2017. Pertanyaannya kemudian, apa yang membedakan rezim production sharing contract (PSC)/cost recovery dan gross split? Ini tentu yang muncul di benak pembaca.
Skema gross split adalah salah satu skema yang berkembang di industri migas dunia. Kelebihan skema gross split dibandingkan dengan skema PSC atau sering disebut cost recovery adalah pendapatan atau produksi dibagi antara pemerintah dan kontraktor.
Di sisi lain, pemerintah tidak berbagi resiko biaya produksi dan hanya menerima bagian dari pendapatan kotor penjualan. Sementara itu, besaran laba kotor disesuaikan berdasarkan keuntungan yang diperoleh oleh kontraktor sehingga bersifat progresif dan adjustable
Bagaimana dengan skema cost recovery? Rezim cost recovery merupakan rezim berbagi resiko antara pemerintah dan kontraktor, baik keuntungan maupun resiko biaya. Persoalannya, ketika kontraktor memunculkan komponen klasifikasi biaya yang muncul justru adanya potensi mark up.
Melalui Permen ESDM No. 8/2017, pemerintah berharap biaya cost recovery yang dibebani dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) bisa berkurang. Pasalnya, biaya operasi tak lagi dibebankan ke negara, tapi ke kontraktor migas.
Sebagai gambaran tak terkontrolnya cost recovery terjadi pada 2016. Ketika itu, pemerintah hanya menganggarkan pagu cost recovery sebesar U$8,4 miliar, namun apa lacur, angkanya bengkak menjadi US$11,4 miliar. Dengan demikian, tanpa cost recovery, APBN tak terganggu lagi.
Di sisi lain. kontraktor mendapatkan keuntungan besar jika bisa melakukan efisiensi. Selain itu dengan terbitnya aturan ini, pemerintah bisa mendorong minat investasi hulu migas. Apalagi, kini regulasi di sektor itu sudah semakin bersahabat.
“Yang jelas, kami mendorong investasi terus tumbuh di sektor ini sesuai arahan Presiden. Kami siap bantu dari sisi regulasi yang membuat investasi semakin baik," kata Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Khusus rezim bagi hasil gross split ini, pemerintah tidak memberlakukan mundur. Skema ini hanya berlaku bagi izin eksplorasi dan eksploitas baru. Hingga Desember 2018, skema bagi hasil produksi gross split telah diterapkan pada kontrak kerja sama di 36 wilayah kerja (WK) migas.
Dari total 36 WK itu, sebanyak 21 blok migas di antaranya merupakan kontrak blok terminasi yang sudah berproduksi, seperti Blok Rokan di Riau. Kemudian, 14 kontrak merupakan blok eksplorasi hasil lelang reguler dan 1 blok sisanya merupakan blok amandemen yang kontraknya beralih menggunakan skema gross split.
Dari kontrak kerja sama 36 blok migas tersebut, pemerintah telah mendapat komitmen investasi migas hingga US$2,13 miliar atau sekitar Rp30,9 triliun (asumsi nilai kurs Rp14.500 per dolar AS).
Investasi tersebut akan digunakan oleh operator untuk melakukan eksplorasi baik di wilayah kerjanya atau di wilayah lain (open area). Jika investor tidak menggelontorkan investasinya, komitmen investasi tersebut akan disetorkan kepada pemerintah.
Selain investasi, pemerintah juga mengantongi bonus tanda tangan senilai US$895,4 juta atau sekitar Rp12,98 triliun. Bonus tanda tangan merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor migas.
Yang jelas, meski ada pro dan kontra berkaitan dengan penerapan rezim produksi migas dari semula rezim cost recovery menjadi rezim gross split, adanya skema baru tersebut telah memberikan kepastian usaha selain kepercayaan investor.
Pasalnya, skema gross split menawarkan tiga hal. Pertama, efisiensi di mana skema gross split memudahkan KKKS dalam melakukan pengadaan barang dan jasa karena pengadaan dapat dilakukan sendiri.
Kedua, kepastian terkait besaran hasil yang akan diterima KKKS dengan cara menghitung sendiri. Ketiga, proses yang sederhana mengingat KKKS tidak perlu lagi melakukan diskusi panjang masalah biaya dengan SKK Migas.
Oleh karena itu, perbaikan terus-menerus selama Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk mendorong meningkatnya produksi migas nasional, terutama dari sisi regulasi, tetap patut diapreasiasi.
Tantangan tahun ini juga tidak ringan, karena Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 menetapkan lifting minyak sebesar 750.000 barel per hari. Masalah klasik berupa kondisi sumur yang mulai menua serta belum terujinya skema gross split dari sebelumnya cost recovery bisa menjadi faktor melesetnya target APBN tersebut. (F-1)