Indonesia.go.id - Industri Fintech Jadi Sumber Pendanaan Alternatif UMKM

Industri Fintech Jadi Sumber Pendanaan Alternatif UMKM

  • Administrator
  • Jumat, 17 Desember 2021 | 21:30 WIB
FINTECH
  Pegawai lembaga fintech mengarahkan calon pelanggan untuk mengaktifkan aplikasinya. ANTARA FOTO/ Aditya Pradana Putra
Berbagai kemudahan yang ditawarkan teknologi digital harus diikuti dengan pengaturan dan pengawasan yang sesuai dengan tetap melindungi konsumen.

Perkembangan infrastruktur financial technology (fintech) berlari dengan kencang. Regulasi yang mengatur pun sudah seharusnya mampu mengikuti semua perkembangan fintech.

Dalam rangka itu, pemerintah pun berencana membuat regulasi yang adaptif terhadap perkembangan fintech tersebut. Seperti disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah akan mengatur berbagai hal fintechdalam rancangan undang-undang untuk pengembangan dan penguatan sektor keuangan (RUU P2SK).

“Sektor fintech menjadi salah satu bagian yang menjadi perhatian RUU yang sedang disusun pemerintah bersama DPR. Di dalam RUU ini tentu akan dibahas definisi dan ruang lingkup fintech, badan hukum penyelenggara fintech, pengaturan dan pengawasan, koordinasi pengaturan pengawasan dan pengembangan fintech, perizinan asosiasi fintech, dan perlindungan konsumen,” ujarnya, seperti dikutip Senin (13/12/2021).

Bahkan ke depan, istilah fintech diusulkan diubah menjadi inovasi teknologi sektor keuangan. Dengan pemikiran, agar bisa mencakup kegiatan di dalam industri yang cukup luas. Memang diakui Sri Mulyani, jika digital teknologi memberikan konsekuensi, risiko, dan tantangan yang tidak mudah.

Apa saja tantangannya? Menurut Sri Mulyani, risiko itu mulai terkait privasi data, kerugian finansial, penipuan, dan exclusion, yaitu mereka yang tidak cakap secara digital menjadi objek yang sangat mudah untuk dieksploitasi.

Terlihat jika selama periode 2018 hingga 2021, Satgas Waspada Investasi menutup sebanyak 3.365 pinjaman online ilegal di Indonesia. "Data ini mencerminkan bahwa tantangan nyata bagi para pelaku industri-industri yang memiliki komitmen untuk terus menjaga industrinya menjadi baik dan dari sisi regulator,” ujar Menkeu.

Menurut Sri Mulyani, berbagai kemudahan yang ditawarkan teknologi digital harus diikuti dengan pengaturan dan pengawasan yang sesuai dengan tetap melindungi konsumen. Namun ini dengan tidak mengkerdilkan industri fintech. "Harapannya, RUU P2SK mampu membantu mewujudkan kebutuhan tersebut," ujarnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, perusahaan teknologi finansial berperan penting untuk menciptakan pembangunan yang lebih merata di Indonesia. "Fintech memberikan suatu kesempatan untuk terjadinya pembangunan yang demokratis dan makin merata," ungkap Sri Mulyani dalam acara Opening Ceremony The 3rd Indonesia Fintech Summit 2021, Sabtu (11/12/2021).

Harus diakui dengan keberadaan fintech, para pelaku usaha mikro kecil, dan menengah (UMKM) di berbagai wilayah tanah air bisa mendapatkan pendanaan secara mudah. Menyusul, ketentuan syarat maupun proses pencairan yang lebih efisien dan mudah. Mereka bisa mendapatkan sumber pendanaan alternatif, karena prosedurnya dianggap sangat singkat, sederhana, dan mudah.

 

Perluas Jangkauan

Oleh karena itu, dia berharap, lembaga fintech mampu memperluas jangkauan pendanaan bagi pelaku UMKM di berbagai wilayah Indonesia. Dengan begitu, diharapkan mampu mengembangkan bisnis UMKM domestik di tengah pandemi Covid-19.

Berdasarkan data transaksi fintech Indonesia pada 2021, yang mencapai USD37,1 miliar dari yang sebelumnya USD32,3 milliar pada 2020. Layanan bisnis fintech kebanyakan bergerak di payment dan fintech lending dan menjadi bisnis fintech yang mendominasi. 

Pada kesempatan yang sama, Menteri Koperasi dan UKM RI Teten Masduki mengatakan, pembiayaan akan lebih efektif jika diikuti dengan digitalisasi. Bahkan, digitalisasi dan fintech dapat mengurangi financial gap sebagai media percepatan perluasan akses pembiayaan UMKM.

Menurut Teten, terjadinya financial gap UMKM di Indonesia sebesar Rp1.500 triliun, karena belum mampu tersentuh dukungan pembiayaan dari perbankan maupun lembaga keuangan lainnya. "Besarnya nilai financial gap tersebut, mendorong tumbuhnya inovasi digital yang semakin berkembang pesat," ujarnya dalam diskusi virtual, Sabtu (11/12/2021).

Penyebab terjadinya financial gap adalah pertama, kurangnya literasi keuangan karena UMKM biasanya tidak masuk audit lembaga perbankan. Kedua, minim menggunakan teknologi, dan asetnya tidak dijamin.

Selain itu, lanjut Teten Masduki, juga dikarenakan adanya asimetris informasi yang berujung pada terjadinya credit rationing dari bank. Rasionalisasi kredit menyebabkan banyak pelaku UMKM yang dibebankan biaya pembiayaan tinggi oleh bank, untuk mengantisipasi potensi default dari debitur.

Ketiga, adanya kondisi karakter pembiayaan UMKM yang selama ini banyak tapi tersebar kecil-kecil serta meningkatnya monitoring cost perbankan untuk mengawasi pembiayaan granular, sehingga mengurangi efisiensi lembaga keuangan.

 

Demam Fintech

Teten menuturkan, Indonesia merupakan salah satu negara terbesar dalam hal market size transaksi fintech Indonesia yang menunjukkan tren positif setiap tahunnya. "Dengan potensi tersebut, kami terus mempercepat UMKM onboarding ke dalam ekosistem digital. Saat ini, telah mencapai 16,4 juta UMKM yang sudah onboarding," imbuhnya.

Melihat hal itu, dia menambahkan, ekosistem keuangan digital perlu terus didukung dan dijaga agar terciptanya rasa aman bagi pelaku UMKM. "Kami akan terus memperkuat kolaborasi kepada semua pihak demi tumbuh-kembangnya keuangan digital yang lebih akselerasi dan menyeluruh," tutup Menkop UKM.

Dalam kesempatan The 3rd Indonesia Fintech Summit (IFS) 2021 di Nusa Dua, Bali, pemerintah dan asosiasi sepakat untuk terus mendongkrak inklusi keuangan, agar semakin banyak masyarakat yang memanfaatkan fintech, sementara di sisi lain juga meningkatkan literasi keuangan digital.

Artinya, keberadaan fintech sangat penting, apalagi diikuti dengan upaya peningkatan literasi, sembari mendorong peningkatan model bisnis yang ditopang oleh kebijakan yang afirmatif. Oleh karena itu, pemangku kebijakan, Kemenkominfo, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan asosiasi-asosiasi, harus berperan aktif dalam membantu terciptanya kebijakan yang afirmatif sehingga industri ekonomi dan keuangan digital tersebut bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

 


Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari