Indonesia sejatinya punya modal kuat dalam menyongsong 2022. Perkembangan sejumlah indikator ekonomi sudah berada di jalur yang benar, pemulihan ekonomi dirasakan mulai menggeliat.
Tinggal beberapa saat lagi kita sudah sampai di penghujung 2021, berganti menjadi 2022. Harapannya, tahun depan telah digadang-gadang sebagai periode akselerasi pemulihan berbagai sektor dari dampak pandemi Covid-19.
Hal tersebut tidak lepas dari perbaikan penanganan pandemi di berbagai negara termasuk Indonesia. Negara ini telah berhasil mengendalikan wabah yang pertama kali ditemukan di Wuhan, Tiongkok. Kini wabah virus Covid-19 pun sudah melandai, meskipun negara ini tetap patut waspada dengan varian baru, Omicron.
Adapun jika dilihat dari perspektif ekonomi, Indonesia sejatinya punya modal kuat dalam menyongsong 2022. Perkembangan sejumlah indikator ekonomi belakangan ini sudah berada di jalur yang benar, pemulihan ekonomi dirasakan sudah mulai menggeliat.
Salah satunya adalah dari sektor manufaktur. Sektor itu dalam tiga bulan terakhir mencatat kinerja yang cukup menjanjikan. Kinerja ekspor industri pengolahan memperlihatkan capaian yang jauh lebih positif pada tahun ini dibandingkan 2020.
Meskipun, pendapat berbeda dikemukakan kalangan pengusaha. Mereka menilai kinerja belum menyamai situasi sebelum pandemi. Koordinator Wakil Ketua Umum III Kadin Indonesia bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W Kamdani mengatakan, dinamika di lapangan sepanjang 2021 masih belum mendukung operasional industri pengolahan.
Dia berpendapat, terdapat sejumlah kendala yang masih menghimpit sektor itu. Beberapa faktor itu adalah adanya pengetatan selama PPKM dan hambatan logistik ekspor.
Tak dipungkiri, kinerja industri pengolahan dalam ekspor nonmigas belum maksimal. Hasil positif yang sejauh ini dicetak harus diakui lebih banyak disumbang oleh kenaikan signifikan pada produk berbasis komoditas seperti minyak sawit, serta besi dan baja.
Sayangnya, sektor industri lainnya yang selama ini jadi primadona ekspor, seperti garmen, sepatu, produk otomotif, dan komponen elektronik masih belum sepenuhnya bisa mengembalikan kinerja ke level sebelum pandemi, karena pemulihan permintaan pasarnya belum sekuat masa prapandemi.
Pemulihan Penuh
Situasi ini membuat dampaknya ke pemulihan ekspor masih terbatas. Harapannya, pemulihan penuh akan terjadi pada 2022 di hampir seluruh industri pengolahan. Sebab, perbaikan permintaan yang lebih merata baik di dalam negeri maupun dalam level global.
Tentu pemulihan itu juga dengan catatatan, tidak ada disrupsi yang berarti dalam bentuk outbreak atau pengetatan PPKM yang panjang, Patut juga dicatat kontribusi industri pengolahan dalam ekspor bisa meningkat, terutama untuk produk ekspor manufaktur unggulan yang sebelumnya menjadi primadona.
Peningkatan juga bisa lebih tinggi bila kendala kelangkaan kontainer dan tingginya biaya logistik, serta masalah pembiayaan dan pemenuhan standar bisa diatasi dengan dukungan pemerintah.
Sejumlah indikator yang mendukung terjadinya pemulihan di sektor industri bisa terlihat dari Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia, lansiran IHS Markit pada September, Oktober, dan November 2021.
Sepanjang tiga bulan terakhir, PMI IHS Markit mencatat di atas 50 alias berada di zona ekspansi, yakni masing-masing 52,2; 57,2; dan 53,9. Capaian PMI Manufaktur Indonesia pada November bahkan lebih baik ketimbang negara-negara di Asia Tenggara yang berada di level 52,3.
Tren yang sama juga terlihat apabila diukur dari kinerja ekspor. Sepanjang Januari—Oktober 2021, nilai ekspor industri pengolahan mencapai USD143,76 miliar, atau tumbuh 35,53 persen secara tahunan.
Industri pengolahan berkontribusi 77,16 persen terhadap total ekspor nasional pada periode yang sama yang tercatat USD186,32 miliar. Cukup beralasan jika lantas Kementerian Perindustrian pun optimistis pada tahun ini industri dapat tumbuh 4 persen--5 persen.
Bagaimana agar kinerja sektor industri bisa terdongkrak tahun depan? Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita pun membeberkan beberapa program unggulan yang siap diimplementasikan di tahun macan air. Program itu, antara lain, program subtitusi impor 35 persen pada 2022, program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN), dan hilirisasi sumber daya alam.
Selanjutnya, tambah Agus, untuk mencapai industri yang maju dan berdaya saing, dijalankan melalui program Making Indonesia 4.0, program industri hijau dan industri biru, program stimulus produksi dan daya beli, serta implementasi non-tariff barrier.
“Sedangkan kebijakan yang mengarah pada upaya mewujudkan industri yang berkeadilan dan inklusif ditempuh melalui implementasi harga gas bumi tertentu, program pengembangan IKM, dan program Bangga Buatan Indonesia (BBI), pembangunan kawasan industri di luar Pulau Jawa, serta pemberdayaan industri halal,” jelas Menperin.
Dari sektor perdagangan, harus diakui terus menunjukkan tren yang menggembirakan. Tren positif perdagangan terus berlanjut ke November.
Data termutakhir yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan neraca perdagangan Indonesia pada November 2021 surplus USD3,51 miliar.
Alhasil, neraca perdagangan Indonesia surplus selama 19 bulan terakhir. Surplus pada November 2021, terutama berasal dari sektor nonmigas sebesar USD5,20 miliar, sedangkan di sektor migas terjadi defisit USD1,69 miliar.
Menurut BPS, ekspor nonmigas pada November 2021 mencapai USD21,51 miliar, naik 48,38 persen secara tahunan. Total nilai ekspor pada periode Januari—November 2021 mencapai USD209,16 miliar, atau naik 42,62 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama 2020.
Tren positif berbagai indikator ekonomi tersebut juga dibarengi dengan optimisme masyarakat. Menurut Survei Konsumen Bank Indonesia pada November 2021, optimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi terus menguat.
Hal itu dapat dilihat dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) November 2021 yang mencapai 118,5, lebih tinggi dibandingkan dengan Oktober 2021 yang tercatat 113,4. Penguatan keyakinan konsumen itu didorong oleh perbaikan persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini, terutama ketersediaan lapangan kerja dan penghasilan.
Sejumlah data di atas adalah beberapa hal positif yang dapat menjadi bekal pemerintah dalam menata perekonomian ke depan. Apalagi, pemerintah memproyeksikan perekonomian Indonesia pada 2022 meningkat menjadi 5,2 persen.
Diperlukan strategi yang dinamis untuk menjaga agar momentum perbaikan indikator ekonomi tersebut tak kembali melorot. Tentu saja termasuk di dalamnya adalah strategi penanganan pandemi.
Pemerintah sebenarnya telah memiliki strategi pertumbuhan ekonomi 2022-2025. Pertama, penerapan pola hidup baru "living with endemic". Kedua, melakukan reformasi program perlindungan sosial, termasuk perbaikan basis data yang akurat.
Ketiga, melakukan pembangunan infrastruktur, termasuk infrastruktur digital dan konektivitas. Keempat, pemanfaatan dinamika geopolitik dan perubahan peta perdagangan dunia, dan kelima penguatan reformasi struktural mendorong produktivitas dan daya saing investasi.
Selain itu, kebijakan dan strategi ‘gas dan rem’ masih memegang peranan penting dalam penanganan pandemi. Sebab, ancaman pemulihan tahun depan masih cukup mengkhawatirkan dengan adanya varian baru, omicron.
Yang jelas, dari sisi ekonomi, respons kebijakan yang tepat dengan situasi serta transformasi ekonomi harus terus diupayakan, sehingga momentum positif dapat dijaga, bahkan terus dipacu.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari