Rasa aman itu mitra kerjanya bisnis pariwisata. Mana mungkin jalan-jalan, makan-makan di restoran, selfie-selfie di taman kota, bila ada preman yang mengintai dari sudut-sudut jalan. Rasa aman itulah yang dipandang turut mendorong bisnis pariwisata Indonesia yang pada beberapa tahun terakhir ini pertumbuhannya mencatat angka paling tinggi di Asia Tenggara.
Tak heran bila dalam mengevaluasi kinerja 2018, Menteri Pariwisata Arief Yahya memberikan catatan khusus tentang rasa aman, yang merupakan hasil dari tertib hukum warga serta penegakan hukum oleh aparatur negara. “Indonesia kini berada di posisi ke-9 sebagai negara dengan tingkat tertib hukum dan penegakan hukum tertinggi, setingkat di atas Denmark, dan setingkat di bawah Kanada," demikian pernyataan resmi Arief Yahya Kamis, (10/1/2019) pekan lalu.
Arief Yahya menyampaikan penilaian itu dengan mengutip Gallup’s Law and Order Report 2018, yang memberikan skor yang tinggi bagi Indonesia, yakni 89. Ini peringkat ke-9. Skor tertinggi 97 diraih Singapura, di belakangnya dengan skor 93 ada Norwegia, Islandia, Finlandia, dan seterusnya, lalu Indonesia di peringkat 89, dan di bawahnya (skor 88) ada Denmark, Belanda, dan Cina.
Sebegitu amankah Indonesia? Survei oleh lembaga kongang Gallup ini tak mencatat angka aktual kasus kriminalitas. Yang direkam Gallup adalah rasa aman, lewat survei terhadap 148 ribu orang di 142 negara. Jumlah responden di tiap negara diatur proporsional sesuai dengan populasinya.
Para responden ditanyai tentang hal indikator rasa aman itu, semisal apakah Anda aman berjalan di kota anda di malam hari, apakah Anda menjadi korban kejahatan dalam setahun terakhir? Apa Anda percaya polisi bisa melindungi Anda? Indonesia meraih skor tinggi, karena responden tidak takut jalan malam, tak terpapar kriminalitas dan percaya pada polisi.
Mungkin ada yang ragu, bukankah Indonesia ini sarangnya para kriminal yang tak peduli dengan nyawa dan keselamatan orang lain? Banyak begal di jalanan yang tega menembak korbannya dan banyak perempuan menjadi korban kebengisan begundal pria?
Indonesia tentu tidak lepas dari segala macam aksi kriminalitas sebagaimana negara lain di dunia. Namun, secara relatif keamanan di Indonesia tidak terlalu buruk. Portal NUMBEO yang mengolah big data secara global, terkait biaya hidup, harga, dan kejahatan, mencatat Malaysia dengan skor kriminalitas tertinggi di ASEAN untuk 2018. Indeks tersebut menunjukkan, secara rata-rata ada 65,56 orang terpapar kejahatan dalam setiap 100.000 populasi.
Di belakangnya ada Vietnam (53,45), Kamboja (52,72), Thailand (52,16), dan Indonesia di posisi ke-4 dengan indeks 49.52. Di bawahnya ada Filipina yang indeks kriminalitasnya hanya 38,94. Namun, kualitas kejahatan di Filipina relatif lebih tinggi, terkait banyak korban jiwa.
Untuk Indonesia, angka kriminalitas tertinggi tercatat di wilayah Polda Metro Jaya, yang meliputi Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan Depok. Menurut NUMBIO, indeks krminalitasnya mencapai 53,38. Dibanding kota-kota di ASEAN, wilayah Jakarta dan sekitarnya tak terlalu parah. Jakarta lebih baik ketimbang Manila, Ho Chi Minh, Manila, Pattaya, Phuket, Johor Bahru, dan Kualalumpur. Bahkan, Jakarta juga lebih baik keamanannya dari New Delhi, Teheran, Manchester, dan Washington DC.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1547737310_Wisman.jpg" style="height:400px; width:600px" />
Wisman Australia berkunjung ke Indonesia, khususnya ke Bali dan Lombok. Sumber foto: Istimewa
Untuk kawasan pariwisata, keamanan Bali tergolong bagus. Indeks kriminalitas di Bali dalam versi NUMBIO tercatat 44,47. Itu selevel dengan kota wisata di Australia seperti Melbourne dan Sidney, juga Bangkok. Mitos Bangkok sebagai sarang kriminal sudah terkubur. Otoritas Thailand menekan kriminalitas di Bangkok karena dianggap merusak reputasi kota tua itu sebagai destinasi wisata di negeri Gajah Putih tersebut.
NUMBIO mencatat angka kejahatan dan mengolahnya ke indeks kriminalitas (crime index), dengan mengikuti ketentuan yang lazim. Kasus kriminalitas yang dicatat itu menyangkut kejahatan seperti pencurian, pencurian kendaraan bermotor (curanmor), pencurian dengan kekerasan, perampokan, perkosaan, penganiayaan dan penganiayaan berat (termasuk yang merenggut korban jiwa).
Untuk menunjukkan kualitas kejahatan, yang menjadi ukuran adalah angka pembunuhan (murder rate). Observasi murder rate ini secara reguler dirilis oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), lembaga yang bernaung di bawah PBB. Dalam rilis terakhirnya (2017), UNODC menyebut murder rate di Indonesia adalah 0,50. Artinya, setiap tahun rata-rata ada 0,5 nyawa yang melayang akibat pembunuhan per 100.000 warga, atau 5 nyawa dalam setiap satu juta warga.
Jepang, Singapura, dan Hong Kong, adalah negeri dengan tingkat pembunuhan terendah di dunia, masing-masing dengan rate 0,27; 0,32, dan 0,38. Toh, dengan rate 0,50 posisi Indonesia tak terlalu jauh dari ketiganya. Apalagi, secara global angka pembunuhan itu mencapai 6,2. Untuk Asia 2,0, di Eropa 3, sedangkan di seluruh Benua Amerika 16,3, dan Afrika 12,6.
Dengan rate 0,5 ini, Indonesia juga bisa dikatakan telah membangun rasa aman yang jauh lebih baik ketimbang beberapa para tetangga di ASEAN. Vietnam misalnya, mencatat rate 1,52, Thailand 3,24, Malaysia 2,11, Timor Leste 3,95, dan Filipina 11,02. Bahkan, dibanding Inggris, Jerman, dan Perancis pun murder rate (sering disebut pula homicide rate) di Indonesia jauh lebih baik. Risiko seseorang terpapar kekerasan, yang mengakibatkan kematian, di Indonesia relatif lebih rendah.
Namun, selalu tak ada yang sempurna. Indonesia pun punya masalah laten, yaitu bencana alam. Dari sisi bencana alam, Indonesia tergolong kategori risiko tinggi (high chance of disaster), dalam list yang disusun Institute for Environment and Human Security , lembaga yang bernaung di United Nations University (UNU).
Dalam dafter tersebut, Singapura masuk dalam kategori risiko sangat rendah seperti halnya negara-negara Arab, Skandinavia, dan sebagian Eropa Barat. Inggris Raya, Amerika Serikat, Italia, Australia, Selandia Baru, tergolong rendah. Sementara, Tiongkok, Malaysia, Thailand, dan India, masuk dalam list risiko sedang. Sedangkan Jepang, Vietnam, Filipina, tergolong negara yang berisiko sangat tinggi (very high chance of disaster).
Industri pariwisata harus bergumul dengan isu-isu tersebut, mulai dari indeks kriminalitas, bencana alam, epidemi dan endemi penyakit, keselamatan transportasi dan banyak isu lainya. Pada akhirnya, yang menentukan keberhasilannya adalah bagaimana isu-isu tersebut dikelola dan pelayanan untuk para pelancong.
Industri pariwisata di Jepang, Tiongkok, Thailand, Vietnam, Malaysia, juga Indonesia, telah terbiasa mengelola isu-isu tersebut. Mereka telah mendapat pengakuan sebagai destinasi wisata dunia dan meraih angka pertumbuhan yang tinggi dalam satu dekade terakhir ini. (P-1)