Menjamin biaya kesehatan hampir 200 juta warga negara itu pekerjaan besar. Beban tugas itu yang harus dipikul Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di sepanjang lima tahun terakhir ini. Hasilnya, selain panen kritikan, neraca keuangan BPJS juga bobol. Per akhir tahun lalu, defisitnya mencapai Rp16,5 triliun. Sebesar Rp12,1 triliun dicatat sebagai kerugian 2018, dan Rp4,4 triliun lainnya untuk menopang kerugian 2017.
Jebolnya neraca BPJS itu pada gilirannya membuahkan keterlambatan pembayaran atas klaim dari rumah sakit (RS) dan klinik yang melayani asuransi kesehatan dari institusi negara ini. Pengelola RS ramai-ramai protes, dan di sebagian tempat kualitas pelayanannya pun merosot, utamanya dalam penyediaan obat-obat tertentu. Pada gilirannya, masyarakatpun ramai-ramai protes.
Di tengah situasi itu, Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek menerbitkan Permenkes Nomor 51 tahun 2018, tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Bayar dalam Program Jaminan Kesehatan. Setelah mengendap hampir sebulan, pekan lalu Permenkes itu mulai digulirkan ke ruang publik. Inti dari Permenkes itu, peserta BPJS akan dikenai pungutan khusus (yang disebut urun biaya) setiap kali menerima jasa pelayanan kesehatan yang ditanggung BPJS.
Seperti disebutkan dalam Permenkes, kebijakan ini diberlakukan karena besaran hak yang melekat pada jaminan BPJS sudah tak mencukupi untuk membiayai ongkos pelayanan perawatan kesehatan. Selisih harga itu yang harus dibayar. Walhasil, kini mereka yang berobat ke RS kelas C, D, dan Klinik Utama akan dikenai urun biaya Rp10 ribu per kunjungan untuk perawatan penyakit tertentu. Nilai urun biaya itu berlipat menjadi Rp20 ribu jika pasien datang ke RS tipe A dan B.
Bila pasien harus sering bolak balik konsultasi dokter, mereka berhak atas keringanan khusus. Tidak selalu harus membayar Rp20 ribu tiap kali datang ke RS kelas A dan B. Mereka dikenai maksimum Rp350 ribu jika dalam waktu tiga bulan harus ke RS sampai 20 kali. Untuk kali ke-21 dan seterusnya, mereka harus membayar urunan lagi dengan tarif normal.
Pasien rawat inap juga akan dikenai urunan yang nilainya 10 persen dari biaya totalnya. Namun, ada batas maksimumnya Rp30 juta. Kalau pun biaya rawat inap itu melewati Rp300 juta, pasien tetap akan dikenai urunan dengan batas tertinggi Rp30 juta.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1548212378_2.jpeg" style="height:853px; width:1280px" />Kepesertaan BPJS Kesehatan. Sumber foto: Antara Foto
Persoalan laten BPJS Kesehatan adalah besarnya biaya yang selalu melampaui pendapatan. Di tahun pertamanya (2014), sistem asuransi negara ini sudah nombok Rp3,3 triliun, lalu meningkat menjadi Rp5,7 triliun pada 2015 dan melonjak ke Rp9,7 triliun pada 2016. Pemerintahpun terpaksa menyuntik dana agar BPJS tetap beroperasi secara sehat.
Namun, kerugian operasional terus terjadi. Pada 2017 terjadi defisit lagi Rp9,75 triliun. Pemerintah lagi-lagi menyuntikkan talangan Rp5,35 triliun yang diambil dari pos cukai tembakau. Masih ada defisit Rp4,4 triliun untuk tahun itu. Ditambah tekor Rp12,1 triliun pada 2018, posisi defisitnya kini mencapai Rp16,5 triliun.
Biaya kesehatan itu memang mahal. Pada tahun 2017 misalnya, dari Rp85 triliun biaya yang ditanggung BPJS Kesehatan, sekitar Rp18,4 triliun (21,8%) untuk membayar pelayanan bagi pasien dengan penyakit katastropik seperti kanker dengan berbagai varian, jantung, gagal ginjal, serosis, hemofilia, leukemia, dan penyakit berat lainnya.
Di sisi lain, disiplin masyarakat membayar iuran tepat waktu juga belum sepenuhnya berjalan. Pada medio 2018 misalnya, tercatat ada 17 juta peserta BPJS masih menunggak membayar iuran. Belum lagi tunggakan pada sejumlah korporasi, BUMN, dan pemerintah daerah yang disebut-sebut nilainya triliunan rupiah.
Tarif iuran BPJS itu sendiri seperti yang tertera pada Peraturan Presiden (Perpres) nomor 19 tahun 2016, berlaku sejak April 2016, ialah Rp80 ribu/bulan untuk Kelas I, Kelas II Rp. 51 ribu. dan Kelas III Rp235,5 ribu.
Menaikkan iuran adalah opsi lain untuk menyelamatkan neraca keuangan BPJS. UU nomor 24 tahun tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) memungkinkan adanya peninjauan tarif iuran setiap dua tahun. Dalam catatan para pengamat, kenaikan tarif kelas III dari Rp25,5 ribu ke Rp30 ribu misalnya, dapat menambah pemasukan sampai Rp6 triliun. Rekomendasi kalangan dokter menyebutkan, tarif Kelas III itu setidaknya Rp36 ribu/bulan.
Namun, pemerintah memilih mengenakan urun biaya daripada menaikkan preminya. Dengan urun biaya ini, kewajiban untuk membayar hanya dibebankan pada mereka yang nyata-nyata mengambil “haknya” dalam bentuk pelayanan kesehatan.
Menaikkan premi sepertinya juga dianggap bukan pilihan yang cocok di tengah cuaca ekonomi yang masih pasang-surut dan suasana politik yang gampang gaduh ini. Apalagi, pemerintah berkewajiban membiayai bantuan iuran bagi sekitar 118 juta warga penerima KIS (Kartu Indonesia Sehat), dengan nilai lebih dari Rp26 triliun setahun. Kenaikan premi berarti kenaikan anggaran negara untuk pos KIS.
Maka, urun biaya menjadi pilihan yang dianggap paling fair. Maka, dengan mengacu pada UU nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS, dan didahului dengan Perpres nomor 82 tahun 2018, Menteri Nila F Moeloek menerbitkan Permenkes nomor 51 tahun 2018 itu.
Secara keseluruhan, ujung tombak pelayanan BPJS itu tersebar di 22.300 fasilitas kesehatan tingkat pertama (semacam Puskesmas) dan di 2.400 RS Umum serta Klinik Utama. Catatan pada 2018 menunjukkan bahwa peserta BPJS Kesehatan mencapai 204,4 juta, atau 77 persen dari penduduk Indonesia. Dari jumlah peserta itu 57 persen preminya dibayar oleh negara lewat kartu KIS.
Mereka yang membayar iuran secara mandiri jumlahnya sekitar 14 persen. Porsi yang hampir sama adalah para pekerja swasta yang preminya dibayar perusahaan tempat mereka bekerja. Pemerintah daerah juga membayar iuran untuk para pegawai. Porsi mereka sekitar 13%. Dalam porsi yang lebih kecil ada peserta dari kelompok TNI, Polri, BUMN, BUMD, dan bukan pekerja.
Seraya memberlakukan urun biaya ini. pemerintah berharap BPJS sebagai lembaga pelaksana dapat mengoptimalkan pemasukannya dengan cara mencairkan tunggakan-tunggakan yang ada dan terus memperbaiki pelayanan.
Akan halnya perawatan penyakit apa saja yang dikenai urun biaya, Kemenkes masih menunggu hasil kajian dari para pemangku kepentingan. Dari rekomendasi yang ada, pemerintah akan memutuskan jenis-jenis penyakit yang dimaksud, untuk kemudian akan dikeluarkan petunjuk pelaksaannya dalam bentuk Permenkes yang lain. Tentu, diharapkan petunjuk pelaksanaan itu dapat terbit dalam waktu dekat. (P-1)