Kinerja ekspor di periode Januari 2022 secara tahunan masih tumbuh, baik migas maupun nonmigas.
Neraca perdagangan Indonesia selama periode Januari 2022 mengalami surplus USD0,93 miliar, terutama berasal dari sektor nonmigas USD2,26 miliar. Pencapaian itu merupakan hasil yang positif di tengah masih berlangsung pandemi Covid-19. Bahkan, pencapaian itu melanjutkan tren yang telah terjadi sejak Mei 2020.
Meskipun demikian, surplus tersebut menurun dibanding Desember 2021 yang senilai USD1,01 miliar. Surplus pun menjadi yang terendah sejak Mei 2020.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa (Disjas) Badan Pusat Statistik (BPS) Setianto mengungkapkan, komoditas nonmigas penyumbang surplus terbesar adalah lemak/minyak hewan nabati, bahan bakar mineral, serta besi dan baja.
Setianto mengungkapkan, surplus yang lebih rendah dipicu oleh faktor penurunan ekspor akibat faktor musiman yang terjadi dalam dua tahun terakhir. “Ekspor yang lebih rendah pada Januari merupakan faktor musiman,” katanya, Selasa (15/2/2022).
Adapun, ekspor pada Januari 2022 mencapai USD19,16 miliar atau naik 25,31 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Namun, angka ini turun 14,29 persen dari Desember 2021, sebesar USD22,36 miliar.
Penurunan secara bulanan itu dipicu oleh ekspor migas dan nonmigas yang menyusut sebesar masing-masing 17,59 persen dan 14,12 persen. “Ini lebih dikarenakan pola musiman. Desember dan Januari dalam dua tahun terakhir selalu mengalami penurunan,” kata Setianto.
Kendati demikian, ekspor secara tahunan masih tumbuh, baik migas maupun nonmigas. Selain migas, ekspor pertanian, pertambangan, dan industri pengolahan mengalami penurunan.
Penurunan tertinggi secara bulanan dipicu oleh pertambangan sebesar 42,88 persen menjadi USD2,17 miliar. Setianto mengatakan, penurunan ekspor pertambangan dipicu oleh komoditas batu bara yang turun 61,14 persen dan ignite 69,28 persen.
Wajar saja, ekspor batu bara dan sejenisnya pada Januari 2022 mengalami penurunan, ketika pemerintah melarang ekspor komoditas batu bara. Lantas bagaimana dengan komoditas migas?
Ekspor komoditas itu mengalami defisit hingga USD1,33 miliar pada Januari 2022. Di sisi lain, nilai impor migas Januari 2022 mengalami peningkatan mencapai 43,66 persen dari posisi USD1,55 miliar menjadi USD2,23 miliar secara tahunan. Namun, nilai ekspor migas pada Januari 2022 bila dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya mencatat kenaikan sebesar 1,96 persen, dari posisi USD0,88 miliar menjadi USD0,90 miliar.
Kinerja neraca perdagangan pada Januari itu memang sudah diprediksi dan sesuai dengan ekspektasi sejumlah kalangan. Namun, pencapaian kinerja neraca perdagangan itu tetap patut disyukuri dan diharapkan terus menggeliat. Apalagi, harga komoditas diprediksi masih relatif tinggi sehingga kinerja ekspor tetap berpotensi terdongkrak.
Mengomentari laporan BPS itu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi memberikan pendapat bahwa hasil kinerja itu harus disikapi dengan hati-hati. Pasalnya, dia menambahkan, kenaikan harga bahan bakar minyak akibat konflik itu dapat mengungkit inflasi sejumlah barang terkait di tengah masyarakat.
“Kemendag tengah mewaspadai potensi kenaikan harga bahan bakar minyak yang saat ini mencapai ke level USD95 per barel. Kenaikan bahan bakar ini bisa ikut menaikkan nilai impor bahan baku untuk industri yang dapat merembes ke inflasi di tengah masyarakat pada tahun ini,” ujar Lutfi.
Namun demikian, Lutfi berjanji, kementeriannya bakal tetap menjaga torehan neraca perdagangan bertahan surplus di tengah potensi kenaikan bahan baku industri tersebut. Menurutnya, pengalihan struktur ekspor pada produk bernilai tambah seperti turunan besi dan baja, elektronika, hingga otomotif bakal mampu menopang surplus neraca perdagangan pada tahun ini.
“Pengalihan pada ekspor nonkomoditas ini diharapkan dapat menjaga tren surplus neraca perdagangan pada tahun ini,” tuturnya.
Sementara itu, Koordinator Wakil Ketua Umum III Kadin bidang Maritim Investasi dan Luar Negeri Shinta W Kamdani mengatakan, kenaikan harga bahan bakar minyak dapat mengoreksi torehan neraca perdagangan dalam negeri menjadi defisit tahun ini.
“Ini tidak hanya akan berdampak pada kenaikan impor bahan baku industri atau defisit neraca dagang, tetapi bisa sangat membebani proyeksi pemulihan ekonomi nasional,” ujarnya.
Dia menambahkan beban energi dan logistik yang ditanggung pelaku usaha bakal ikut terkerek naik, sepanjang kenaikan harga bahan bakar minyak tersebut. Konsekuensinya, inflasi sejumlah barang terkait akan terungkit di tengah masyarakat.
“Ini juga menjadi titik lemah kita karena Indonesia tercatat sebagai net importer minyak yang masih belum cukup signifikan untuk melakukan diversifikasi atau transisi energi terbarukan, sehingga bila harga BBM global naik signifikan, seluruh aspek beban usaha di dalam negeri ikut meningkat,” kata dia.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari