Indonesia.go.id - Saatnya Kedaulatan Energi Kembali ke RI

Saatnya Kedaulatan Energi Kembali ke RI

  • Administrator
  • Sabtu, 23 Februari 2019 | 10:43 WIB
BLOK MIGAS
  Lifting perdana minyak mentah Blok Rokan. Sumber foto: Antara Foto

Harapannya, produksi migas nasional tentu menjadi lebih baik lagi ke depan dengan adanya perubahan kebijakan di sektor hulu migas tersebut.

Isu soal penguasaan asing terhadap aset sumber daya alam Indonesia kini tengah hangat-hangatnya dan kembali mengemuka di tahun politik ini. Rasa nasionalisme kita digugah menjelang Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif 2019.

Tujuannya jelas, dongkrak elektabilitas di mata konstituen jelang pilpres dan pileg tersebut. Sebenarnya, soal isu kekayaan migas dikuasai asing, bukanlah hal baru. Pada 2014, pernah muncul peta Indonesia yang dipenuhi dengan gambar bendera negara lain tersebar di sejumlah daerah.

Bendera tersebut menyimbolkan bahwa pihak asing menguasai sumber daya alam berupa migas di sejumlah daerah. Namun, benarkah demikian? Keterangan gambar yang tersebar beberapa waktu lalu dan viral di beragam media sosial tersebut tertera gambar bendera disebut mewakili lokasi anjungan dan atau kilang migas tersebut.

Pertanyaannya, apakah kilang dan atau anjungan tersebut dikuasai asing sesuai bendera-bendera itu? Tak dipungkiri dan harus diakui, sejumlah pemain migas skala global sudah ada dan beroperasi di sejumlah wilayah kerja (WK) migas negara ini.

Sebut saja Inpex, misalnya. Perusahaan migas asal Jepang itu memiliki investasi migas di sejumlah WK. Di Blok B Laut Natuna Selatan, mereka berpartisipasi 35% bekerja sama dengan ConocoPhilips (40%) dan Chevron (25%). Begitu juga dengan Inpex Jawa Ltd di Blok Lepas Pantai Jawa Barat (offshore Northwest Java Block) dan Blok Lepas Pantai Sumatra Tenggara melalui Inpex Sumatra Ltd.

Begitu juga dengan Chevron. Perusahaan migas dunia yang bermarkas di San Ramon, California, AS itu semula menguasai lima blok. Namun, mereka kini hanya tinggal menyisakan dua blok saja, Blok Rapat dan Blok Ganal yang akan habis kontraknya masing-masing pada 2027 dan 2028.

Selain kedua nama itu, masih banyak lagi pemain kelas dunia yang menggarap eksploitas migas di Indonesia. Misalnya, dari Cina (Petrochina dan Cnooc), Malaysia (Petronas), Prancis (Total E&P), Italia (Eni), dan beberapa perusahaan lainnya.

Menurut catatan SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu MIgas)—satu lembaga yang diberi mandat pengelolaan usaha hulu migas berdasarkan kontrak kerja sama—ada 85 kontraktor yang mengelola WK eksploitasi. Dari total 85 kontraktor itu, 71 di antaranya adalah WK produksi dan sisanya sebanyak 14 WK masih dalam tahap pengembangan.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kontraktor-kontraktor itu kemudian menjadi pemilik dari sumur migas itu? Namanya juga kontraktor. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kontraktor adalah suatu lembaga atau orang yang dikontrak atau disewa untuk mengerjakan satu proyek.

Dalam konteks ekploitasi sumur migas di Indonesia, kita mengenal skema penggarapan sektor hulu migas, baik untuk proses pencarian cadangan (eksplorasi) maupun saat pengambilan (eksploitasi).

Berganti Rezim

Sebelum berganti rezim gross split, negara ini pernah—dan sebagian masih berlaku kontraknya—mengenal istilah production sharing contract (PSC), kontrak bagi hasil.  PSC ini merupakan kontrak antara pemerintah (SKK Migas) dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

Kontrak itu biasaya berdurasi selama 30 tahun dengan perincian enam tahun pertama kontrak dialokasikan untuk eksplorasi. Bila sampai enam tahun Kontraktor KKS tidak menemukan sumber cadangan baru migas atau belum berproduksi, kontrak akan otomatis hangus. 

Melalui skema PSC, kontraktor KKS yang melakukan investasi di sektor hulu migas Indonesia dan mereka menemukan sumber cadangan baru migas yang bernilai ekonomis dan kemudian berproduksi, semua biaya eksplorasi akan diganti oleh Pemerintah.

Penggantian biaya eksplorasi ini dikenal sebagai cost recovery. Ketika telah berproduksi, nilai jual hasil produksi dikurangi dulu dengan biaya yang diganti lewat skema cost recovery, baru kemudian dibagi antara Pemerintah dan Kontraktor KKS.

Biasanya, persentasenya masing-masing 85% adalah untuk pemerintah dan sisanya untuk kontraktor tersebut. Pemerintah sebagai pemegang kepemilikan sumber daya migas biasanya menerima hasil produksinya di titik serah (point of delivery). Dalam praktiknya melalui skema PSC itu, modal dan risiko merupakan tanggung jawab Kontraktor KKS, termasuk pembelian peralatan yang diperlukan.

Namun, semua peralatan langsung menjadi milik negara begitu masuk teritori Indonesia. Hitungan kebutuhan investasi tak terlepas dari kondisi ketersediaan sumber daya alam Indonesia.

Konsekuensi dari kedua perkembangan tersebut, investasi migas butuh dana lebih besar, baik untuk kepentingan kebutuhan pemenuhan teknologi yang lebih tinggi selain tentunya ongkos lebih mahal.

Di skema PSC, bila eksplorasi tak mendapati sumber cadangan baru migas, semua ongkos yang telah dikeluarkan tidak mendapat penggantian dari Pemerintah Indonesia.

Yang menjadi persoalan, ketika menggunakan skema PSC, ada konsekuensi cost recovery. Biaya ini kerap dianggap sebagai tambahan biaya yang harus dibayar pemerintah kepada kontraktor. Inilah pemikiran yang melatarbelakangi munculnya tuntutan untuk terus menekan cost recovery di sektor hulu migas.

Biasanya, kontraktor atau investor juga tidak akan menghitung cost recovery sebagai keuntungan usaha, sekalipun besar nilainya. Artinya, cost recovery tinggi menunjukkan biaya produksinya tinggi. Nah, cost recovery nantinya akan dipotongkan dulu dari pendapatan produksi sebelum dibagi hasil dengan Pemerintah.

Singkatnya, rezim cost recovery merupakan rezim berbagi risiko antara pemerintah dan kontraktor, baik keuntungan maupun resiko biaya. Persoalannya, ketika kontraktor memunculkan komponen klasifikasi biaya yang berpotensi adanya mark up.

Adanya tren inilah--naiknya cost recovery dan potensi mark up, pemerintah akhirnya mengeluarkan beleid baru untuk mendorong kontraktor KKS melakukan pengembangan blok migas dengan skema gross split. Harapannya, industri hulu akan semakin baik.

Beleid baru itu tertuang ke dalam Permen ESDM No. 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Permen ini mulai diberlakukan mulai 16 Januari 2017. Pertanyaan kemudian, apa pembeda rezim production sharing contract (PSC)/cost recovery dan gross split? Ini tentu yang muncul di benak pembaca.

Skema gross split adalah salah satu skema yang berkembang di industri migas dunia. Kelebihan skema gross split dibandingkan dengan skema PSC atau sering disebut cost recovery adalah pendapatan atau produksi dibagi antara pemerintah dan kontraktor.

Di sisi lain, pemerintah tidak berbagi risiko biaya produksi dan hanya menerima bagian dari pendapatan kotor penjualan, sementara besaran laba kotor disesuaikan berdasarkan keuntungan yang diperoleh oleh kontraktor sehingga bersifat progresif dan adjustable

Tidak itu saja, di era Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, ada peristiwa besar berupa kembalinya blok migas ke pangkuan ibu Pertiwi, seperti Blok Rokan yang telah beralih kepemilikan ke Pertamina dari semula di bawah kendali Chevron pada 31 Juni 2017 dan Blok Mahakam per 1 Januari 2018 dari Total E&P Indonesie.

Saat ini, merujuk data SKK Migas per 31 Januari 2019, lifting minyak dan gas mencapai masing-masing 733,5 MBOPD dan 6035 MMSCFD dari 217 wilayah kerja. Harapannya, produksi migas nasional tentu menjadi lebih baik lagi ke depan dengan adanya perubahan kebijakan di sektor hulu migas tersebut. (F-1)