Indonesia.go.id - Tak Ada Negosiasi Pembangunan Trans-Papua

Tak Ada Negosiasi Pembangunan Trans-Papua

  • Administrator
  • Senin, 15 April 2019 | 03:51 WIB
PENGAMANAN PAPUA
  Satgas Gakkum TNI di Papua. Sumber foto: MiliterMeter

Pemerintah RI memperkuat satuan TNI/Polri untuk penegakan hukum di wilayah pedalaman Papua. Tata pemerintahan, pelayanan negara, dan pembangunan tidakĀ  boleh terganggu. Satuan TNI/Polri tak dibekali senjata berat.

Bak menjumput batang rambut dari gunungan tepung. Rambut terangkat, tapi tatanan tepung tidak berceceran. Maka, meski menunjukkan ekskalasi gangguan yang meningkat, Pemerintah tidak ingin bertindak gegabah. Aksi kebrutalan kelompok kriminal bersenjata (KKB) pimpinan Egianus Kogoya di Nduga, Papua, masih akan dihadapi dengan langkah penindakan hukum biasa oleh aparat  Polri yang didukung  satuan TNI. Status darurat militer masih jauh dari agenda pemerintah.

Itu pulalah sebabnya, di berbagai tempat dan kesempatan, sejak pertengahan Maret hingga awal April lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla pun berulang kali menegaskan, tak ada rencana pemberlakuan hukum darurat militer di Papua.’’Operasi  keamanan  akan terus ditingkatkan, tapi tidak darurat  militer,” demikian kata Wapres Jusuf Kalla.

Operasi darurat militer dapat menyulut sentimen gangguan sosial-politik yang lebih luas dalam bentuk memburuknya hubungan pusat-daerah. Spekulasi darurat militer sendiri merebak menyusul pemberangkatan  600 personel  TNI dari Batalyon 431 Kostrad  (Maros) dan Batalyon Zipur 08 Makassar  Maret lalu. Mereka berlayar dari Pelabuhan Makassar menuju Mamako, Timika, untuk kemudian bergerak lewat jalur darat ke wilayah Nduga, di jantung Provinsi Papua. Selanjutnya, mereka  akan disebar ke-30 titik guna mengamankan lokasi pembangunan fisik dan fasilitas pemerintahan.

Bukan rahasia lagi bahwa sejak bertahun-tahun lalu, kelompok bersenjata yang mengatasnamakan dirinya Tentara Pembebasan OPM (Organisasi Papua Merdeka) terus melakukan gangguan, bahkan teror, kepada masyarakat. Mereka  mengintimidasi, menarik pungutan liar, merampas harta benda, menganiaya, melakukan serangan seksual,  bahkan membunuh.  Acap kali mereka juga menyerang aparat keamanan dan merusak fasilitas umum.

Serangan nekat terjadi awal Maret lalu atas satuan Satgas Penegakan Hukum (Gakkum) TNI di Distrik Mugi, Kabupaten Nduga. Satuan TNI ini baru ke sebuah tempat yang akan digunakan sebagai pos pengamanan untuk pergerakan pasukan yang akan mengawal pembangunan jalan Trans-Papua ruas  Wamena-Mamugu. Belum sempat membangun pos, satuan yang berkekuatan 25 prajurit  itu diserang oleh KKB pimpinan Egianus Kagoya. Tiga prajurit Kopassus gugur akibat serangan itu, dan tujuh orang  penyerang  tewas.

Menteri Kordinator Polhukam Jenderal (Purn) Wiranto tampak gusar dan terpukul oleh serangan itu. Namun, mantan Panglima TNI itu memastikan bahwa insiden itu tak akan mengurangi kegiatan pemerintahan, pelayanan, dan pembangunan di Papua, termasuk operasi penegakan hukumnya. Pemerintah dijamin tak akan mau negosiasi dengan kelompok bersenjata yang menuntut dihentikannya segala pembangunan di daerah terpencil itu, bahkan meniadakan Pemilu 2019. Operasi penegakan hukum bahkan ditingkatkan kekuatannya.

Maka, pengiriman pasukan dari Makassar itu adalah bentuk nyata penguatan Satgas Gakkum yang sudah berjalan. Toh, sejauh ini tak terlihat adanya niat pemerintah untuk melakukan represi militer. Pasukan TNI yang diterjunkan masih dalam satuan-satuan kecil saja dengan persenjataan infanteri ringan.  Tak ada senapan mesin besar, mortir, meriam, roket, apalagi serangan udara.

Dengan penambahan pasukan itu, satuan TNI dimungkinkan untuk melakukan patroli secara lebih intens, seraya menjaga agar tugas pemerintahan dan pembangunan dapat  terus berjalan. Satgas Gakkum pun terus membuka opsi agar anggota dan pimpinan KKB Egianus Kagoya ini menyerah.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1555301078_41800.jpg" />Satgas Gakkum TNI di Papua. Sumber foto: Istimewa

Gangguan keamanan di tanah Papua memang lagu lama. Ada sekelompok  warga yang menolak hasil  referendum 1967, yang menandai terintegrasinya Papua ke  dalam wilayah NKRI. Selain aktif menempuh jalur gerakan politik, kelompok ini juga melakukan perlawanan bersenjata.

Meski tak terorganisir dengan baik, kedua kelompok ini sering bekerja sama. Setiap kali ada operasi penegakan hukum lebih intensif, sayap politik ini menyalak, dengan melansir tuduhan ada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, dan menginternasionalisasikannya. Situasi inilah yang selalu dihindari oleh Pemerintah RI.

Kelompok bersenjata yang menyebut diri sebagai Tentara Pembebasan OPM kini berjumlah sekitar 25 grup dan mengklaim diri sebagai komando militer daerah. Jumlah kombatan mereka tidak lebih dari 700 orang dengan sekitar 240 pucuk senjata jenis AK-47, M-16, SS-1, SS-2, pistol, senapan rakitan, atau jenis lainnya yang diperoleh dengan merampas dari anggota TNI/Polri yang lengah. Ada pula yang diselundupkan dari Mindanao. Sebagian lagi, senapan rakitan.

Kelompok Egianus Kagoya termasuk yang paling aktif dan relatif besar. Dengan kekuatan sekitar 80 personel dengan 50 pucuk senjata api campuran, KKB ini beroperasi di wilayah pegunungan Nduga. Dulu, Egianus  Kagoya adalah anggota Kelompok KKB Kelly Kwalik yang malang melintang di Mimika-Nduga. Tapi, Egianus memilih membangun grup sendiri setelah Kelly Kwalik tewas dalam sergapan TNI, pada 2009.

Wilayah Mimika kini berada di bawah pengaruh Goliath Tabuni. Ia juga mengontrol perlawanan di Paniai hingga ke Puncak Papua, bersebelahan dengan daerah operasi Grup Egianus Kagoya. Goliath Tabuni sendiri bermarkas di lembah Tinggginambut, Kabupaten Puncak Papua.

Satu grup lain yang juga aktif ialah Kelompok Puron Wenda, berbasis di wilayah Lanny Jaya. Toh, medan operasinya tumpang tindih dengan Egianus dan Goliath. Masih ada lagi kelompok yang berbasis di perbatasan Papua-Papaua Nugini. Mereka biasanya bergerak secara otonom, nyaris tanpa koordinasi.

Kelompok bersenjata itu hidup di tengah warga yang terpaksa mendukungnya. Pemerintahan lokal  pun sering menjadi target pemerasan. Toh, mereka tak mudah ditangkap karena bergerak dari satu tempat ke tempat lain di bawah lindungan hutan lebat dan medan yang terjal.

Kelompok bersenjata itu secara laten mengusik wilayah sekitar Pertambangan Freeport di Timika-Tembagapura, Kabupaten Mimika. Sepeninggal Kelly Kwalik, serangan ke wilayah ini dilakukan di bawah komando Goliath Tabuni. Manuver terakhir mereka di akhir tahun 2017 ialah menyandera hampir 1.300 warga desa di Kecamatan Tembagapura. Tercatat, satu  warga dibunuh dan seorang wanita diperkosa sebelum kelompok ini lari tunggang-langgang karena operasi senyap TNI.

Memasuki 2018, giliran Kelompok Egianus Kagoya yang menyita perhatian. Kelompok ini tercatat melakukan serangkaian serangan brutal atas target sipil serta TNI/Polri (lihat catatan serangan Egi Kagoya). Rupanya, Egianus amat terganggu oleh  pembangunan jalan Trans-Papua. Jalan raya itu dianggap akan mengikis “kekuasaan” mereka di tanah pedalaman.

Betapa tidak. Dengan jalan raya itu, warga akan memperoleh akses luas ke pelayanan pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan perlindungan hukum. Warga yang semakin pintar takkan mudah diminta mendukung mereka. Jaringan jalan juga akan memudahkan TNI/Polri menjepit gerakan mereka. Maka, tema menolak Trans-Papua menjadi semboyan mereka. Aksi kekerasan dikobarkan.

Merespons situasi ini, Kepolisian Daerah (Polda) Papua menggelar operasi “Nemangkawi”, tindakan penegakan hukum yang didukung  satuan TNI. Pelibatan TNI dalam operasi penegakan hukum dengan target pelaku kriminalitas bersenjata, sabotase, dan teror, dimungkinkan dalam peraturan perundangan di Indonesia.

Dengan payung hukum itulah satuan TNI dan aparatur Polri bergerak bersama-sama. Atas nama hukum dan kepentingan negara, mereka bertugas melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Kelompok kriminal bersenjata itu harus dilucuti dan ditangkap dengan segala risikonya. (P-1/E-2)