Isu pemindahan Ibu Kota Indonesia bergulir setelah pada rapat terbatas kemarin Presiden Jokowi memutuskan untuk memindahkan ibu kota ke luar Jawa.
Pilihan itu sepertinya dilakukan untuk semakin menguatkan ikatan keindonesiaan. Kita tahu, sejak Indonesia merdeka, Jawa selalu mendominasi. Gap pembangunan antara Jawa dan luar Jawa juga relatif masih tinggi. Demikian juga gap antara timur Indonesia dan bagian barat.
Menurut Presiden, ada alasan dirinya menyetujui pemindahan ibu kota ke luar Jawa. Yakni, Pulau Jawa disebut tak mampu lagi mengatasi persoalan kepadatan penduduk, air, dan lalu lintas.
"Kita ini memiliki 17.000 pulau. Tapi di Jawa sendiri, penduduknya 57 persen dari total penduduk di Indonesia. Kurang lebih 149 juta. Akibatnya, daya dukung baik terhadap air, lingkungan, dan lalu lintas ke depan sudah tidak memungkinkan lagi. Sehingga kemarin saya putuskan pindah ke luar Jawa," katanya.
Bappenas sebetulnya mengusulkan tiga opsi terkait rencana pemindahan ibu kota. Pertama adalah tetap di Jakarta dengan melakukan perubahan tata ruang. Wilayah di sekitar Monas, misalnya, akan dijadikan pusat pemerintahan.
Hal ini tentu saja bukan perkara mudah. Sebab Jakarta yang padat dan harga tanah yang telanjur melambung bisa jadi masalah. Belum lagi jika pelaksanaan pembangunan besar-besaran di pusat kota akan berdampak pada kemacetan.
Opsi kedua adalah pemindahan ibu kota ke lokasi yang tidak jauh dari Jakarta. Jonggol di Jawa Barat atau Maja di Banten sempat menjadi pilihan. Masalahnya, pilihan itu tidak memberikan banyak dampak ekonomi pada wilayah lainnya.
Pemindahan ibu kota hanya ke kota satelit tidak akan berpengaruh banyak pada tingkat permasalahan di Jakarta. Macet, banjir, dan kepadatan penduduk tetap tidak terurai.
Pilihan ketiga adalah pemindahan ke luar Jawa. Pulau Kalimantan yang posisinya pas di tengah Indonesia dijadikan alternatif. Pada 1957, Presiden Soekarno juga sempat mengusulkan Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sebagai Ibu Kota RI. Tapi, kondisi Indonesia saat itu belum memungkinkan untuk membangun kota baru.
"Bisa di Sumatra. Tapi kok nanti yang timur menjadi jauh. Di Sulawesi agak tengah tapi di barat juga kurang. Di Kalimantan kok di tengah-tengah. Kira-kira itulah," ucap Presiden.
Artinya, pilihan mungkin jatuh ke Kalimantan. Untuk mempercepat langkah pemindahan itu, Badan Informasi Geospasial (BIG) melakukan pemetaan di sejumlah wilayah di Kalimantan. Mengutip Antara, Sabtu (14/7/2018), Pejabat Sekda Kalteng Fahrizal Fitri mengatakan pemerintah pusat telah mempersiapkan tiga alternatif yang menjadi lokasi baru Ibu Kota Indonesia.
Tiga kota yang menjadi alternatif lokasi ibu kota yang baru yakni Palangkaraya dan sekitarnya di Provinsi Kalteng. Lalu, Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan, serta Panajam dan sekitarnya di Provinsi Kalimantan Timur.
Terkait dengan pemindahan ibu kota ini, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil mengatakan, daerah yang bisa menjadi ibu kota baru harus memenuhi berbagai persyaratan. "Yang kami lihat pertama topografi, tidak daerah banjir, bukan rawa-rawa, sampai dengan air, dan aspek kecocokan sebuah kota," ujarnya.
Kemantapan Presiden memgambil keputusan politik untuk memindahkan ibu kota ke luar Jawa ini bisa dibilang adalah langkah strategis. Penyebaran kesejahteraan dengan dibangunnya sebuah kota modern akan berdampak ekonomi pada wilayah di sekitarnya. Fokus kebijakan tidak lagi Jawa sentris.
Pemindahan ibu kota ke luar Jawa bukan hanya sekadar langkah teknis tentang pemindahan sebuah pusat pemerintahan. Tetapi juga langkah strategis untuk memberikan bobot pada persatuan Indonesia.
Jawa, Bali, Madura, dan Sumatra yang telah maju ekonominya merupakan modal utama yang dimiliki Indonesia saat ini. Dengan membangun sebuah kota baru di Kalimantan fokus tentang Indonesia di masa depan akan menoleh ke arah timur.
Di sana, ketersediaan sumber daya alam sangat besar. Tapi, belum dikelola maksimal. Meskipun kita tahu, melakukan pemindahan ibu kota bukan perkara mudah. Selain biayanya mahal juga perlu waktu lama.
Mungkin saja jika dikebut, baru pada masa akhir jabatan Presiden nanti, yakni pada 2024, kita punya ibu kota baru. Artinya, Presiden Jokowi sendiri tidak akan menikmati berkantor di tempat yang baru.
Pemindahan ibu kota memang bukan sekadar mimpi. Banyak negara yang telah melakukan hal itu untuk berbagai alasan. Alasan yang paling utama biasanya adalah tingkat populasi penduduk yang terkonsentrasi, hingga daya dukung kota tidak lagi memungkinkan.
Langkah besar Presiden Jokowi yang ditetapkan di akhir masa jabatan periode pertama ini bisa dibaca sebagai arah Indonesia ke depan. Tampaknya, pemerintah memang mau lebih memperhatikan wilayah lain yang selama ini jarang dilirik. (E-1)