Konsolidasi operator seluler kini semakin nyata dan sudah menjadi kenisyaan. Meski sifatnya masih terus mendorong terjadinya konsolidasi, dan tidak memaksa, pemerintah pun sudah tahapan memberikan ‘warning’ agar mereka segera melakukan merger dan akuisisi (M&A).
Tak dipungkiri, konsolidasi sudah merupakan suatu keharusan di tengah-tengah kondisi industri telekomunikasi yang terus merosot dari sisi kinerjanya dalam beberapa tahun terakhir ini. Salah satu penyebabnya adalah perang tarif antaroperator selular.
Dengan jumlah sebanyak enam operator yang masih beroperasi saat ini dinilai sudah tidak efisien lagi, dan cenderung ‘saling cakar’ untuk tetap bisa eksis dan berkinerja baik dalam kondisi saat ini. Keenam operator itu adalah Telkomsel, XL Axiata, Indosat Ooredoo, Hutchison 3 Indonesia, Smartfren, dan Sampoerna Telekomunikasi Indonesia.
Dulu, industri selular merupakan salah satu sektor yang cukup menjanjikan. Namun dalam perjalanan waktunya serta adanya disrupsi bisnis, termasuk munculnya over the top (OTT), kinerja industri itu mulai meredup.
Bayangkan, industri media dan komunikasi masih mencatat pertumbuhan dua digit selama 2015. Namun dalam tiga tahun terakhir ini, capaian pertumbuhan tersebut terus menyusut hingga menyentuh 7% pada tahun lalu.
“Pertumbuhan industri kini sudah menyentuh 7%. Dahulu, [pertumbuhan industri telko] masih di atas perbankan, migas, dan lain-lain,” kata Menkominfo Rudiantara, Kamis, (2/5/2019).
Berdasarkan data Deutsche Bank, pertumbuhan pendapatan industri seluler harus diakui cukup memprihatinkan dalam beberapa tahun terakhir ini. Di bisnis utama (voice & short message services), sejak 2016 – 2018 pertumbuhannya negatif. Pada 2015, industri ini tercatat masih tumbuh positif sebesar 7,2%.
Begitu juga pada 2016, di kuartal I industri ini tetap tumbuh 7,4%. Setelah itu terus melorot hingga kuartal keempat jadi minus 2,7%. Pada 2017, industri ini juga tercatat pertumbuhan minus. Kondisi yang sama juga terjadi pada 2018.
Pertumbuhan Industri Negatif
Hingga kuartal ketiga, bahkan sudah mencapai minus 27,5%. Memang dari sisi bisnis data tercatat mengalami pertumbuhan hingga 12,9% pada kuartal ketiga 2018, namun secara total industri tercatat masih negatif 7,4%.
Bagaimana dari sisi earnings before interest, taxes, depreciation and amortization (EBITDA) industri selular? Cukup memprihatinkan. Pendapatan industri telko 2017 masih bisa meraih Rp72,70 triliun. Setahun kemudian turun menjadi Rp60,85 triliun, atau berkurang 16,29%.
Kondisi di atas juga menjadi keprihatinan dari analis asal Deutsche Bank Raymond Kosasih. Menurutnya, secara keseluruhan industri telko kini kinerjanya lagi tidak baik bila dilihat dari sisi indeks di Bursa Efek Indonesia.
Selain itu, dia menjelaskan, akibatnya pemegang saham pun merasa tidak ada nilai lebih dari operasi usaha mereka di Indonesia. Ada beberapa penyebabnya antara lain dari sisi biaya masih sangat tinggi sehingga menyebabkan skala ekonomi bisnis itu sudah tidak menarik lagi.
Salah satunya diakibatkan tidak berlanjutnya pendapatan dari bisnis utama, yakni pendapatan dari jasa telepon. Margin pendapatan yang terus di bawah tekanan, begitu perang harga tarif antaroperator yang terus berlanjut,
Kesemua itu, Raymond menambahkan, memunculkan konsekuensi berupa biaya yang harus ditanggung, yakni biaya spektrum yang tinggi tetap harus dibayar. Di sisi lain, pendapatan yang diraih tidak lagi bisa mengejar munculnya biaya tetap itu berupa spektrum frekuensi.
Memang salah satu solusi untuk mengatasi persoalan itu dan juga memunculkan efisiensi adalah melalui konsolidasi. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan sumber daya spektrum frekuensi itu setelah operator melakukan merger?
Menurut Rudiantara, jumlah operator sebanyak enam perusahaan sudah tidak ideal.
Sebagai gambaran, dia menambahkan, nilai tawar operator kini sudah semakin menurun.
“Kini jumlah sebanyak 6 operator, sedangkan vendor hanya 4 perusahaan. Ini sudah menggambarkan nilai tawar operator di Indonesia sudah jatuh. Oleh karena itu, kami mau mereka [operator] berkonsolidasi. Idealnya sih hanya 3 operator,” ujar Rudiantara.
Menkominfo sendiri tidak berani menentukan kapan operator itu harus melakukan konsolidasi. Pasalnya aksi korporasi, termasuk kapan soal harus melakukan kondosolidasi merupakan ranah dari pemegang saham.
Hanya saja, formula untuk melakukan konsolidasi antaroperator sudah disiapkan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), termasuk soal isu utama berkaitan dengan keberadaan atau status spektrum frekuensi. Badan regulasi itu telah menyiapkan tiga skenario berkaitan dengan isu tersebut.
Pertama, semua frekuensi pascakonsolidasi akan dikembalikan ke operator. Kedua, sebagian frekuensi operator selular pascakonsolidasi ditarik untuk dilelang kembali. Ketiga, frekuensi ditarik, kemudian diamankan hingga jangka waktu tertentu.
Namun, setelah melalui proses evaluasi, frekuensi bisa dikembalikan ke operator pascakonsolidasi. Hanya saja, mengikuti itu ada harga baru. Itu pun tidak ringan, operator juga harus memenuhi persyaratan berupa komitmen membangun infrastruktur.
“Kami tengah mengkaji ketiga opsi itu. Kami juga meminta agar operator tidak menjadikan masalah frekuensi sebagai hambatan untuk terjadinya konsolidasi. Operator jangan khawatir kekurangan frekuensi. Kami akan menyediakan frekuensi baru,” ujar Ismali, Ketua BRTI.
Konsolidasi tak dipungkiri sudah menjadi keniscayaan di tengah-tengah skala ekonomi yang sudah tidak bersahabat lagi. Kini jawaban itu tinggal ke pemegang saham operator. Tentu harapannya lebih cepat lebih baik sehingga industri pun akan semakin sehat. (F-1)