Seperti biasanya, Ramadan 1440 H ini pun disambut oleh kenaikan harga sejumlah bahan pangan. Seperti, daging sapi, ayam, telur, cabai, bawang putih, dan sejumlah barang dapur lain. Tapi seperti biasanya juga, kenaikannya pun sesaat saja. Yang berbeda kali ini, harga bahan pangan pokok beras, gula, dan minyak goreng relatif tak bergejolak.
Secara umum, dalam tahun-tahun terakhir ini harga beras, gula, dan minyak goreng memang anteng. Stabilitas harga bahan pangan ini tentu memberikan kontribusi penting terhadap inflasi yang terjaga tetap rendah.
Tapi, dengan beragamnya komoditas pangan di pasar dan sebagian masih harus diimpor, ditambah pula sulitnya koordinasi di antara lembaga dan kementerian, tidak bisa dihindarkan adanya desakan perlunya kehadiran satu badan baru yang lebih otoritatif dalam pengadaan dan pengendalian harga bahan pangan. Kalangan DPR-RI, Lembaga Ombudsman, para pakar, dan asosiasi petani masih terus mendesak agar pemerintah membentuk badan pangan tersebut.
Desakan itu kali ini akan mendapat momentum baru. Pada 22 Mei 2019 ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengumumkan hasil Pemilu 2019. Kabinet baru akan terbentuk. Dengan mengacu pada kegaduhan di masa lalu yang sempat muncul di antara lembaga dan kementerian terkait pengadaan stok pangan, maka desakan pembentukan badan pangan itu sepertinya tak terhindarkan.
Apalagi, badan pangan itu memang telah menjadi amanat UU 18/2012 tentang Pangan. Kehadiran badan ini tentu tak secara eksplisit disebut untuk pengendalian harga, melainkan terkait kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan.
Pasal 128 UU ini menyebutkan, “Dalam hal mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden’’. Lembaga inipun melaksanakan tugas pemerintah di bidang pangan (Pasal 127).
Lebih jauh, UU tersebut menyatakan, badan pangan itu berhak mengusulkan kepada presiden agar memberikan penugasan khusus kepada BUMN bidang pangan, untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, distribusi pangan pokok, dan pangan lainnya yang ditetapkan pemerintah.
Dalam berbagai risalah yang muncul saat UU tersebut dibahas di DPR, ada isu tentang Bulog, di luar isu strategis soal kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan. Dengan kapasitas sebagai Perusahaaan Umum (Perum), dan berdiri berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 7 tahun 2003, peran legal Bulog tidak cukup kuat untuk mengelola pengadaan dan distribusi pangan secara nasional. Apalagi, PP tersebut lebih menfokuskan Bulog hanya untuk urusan beras.
Bulog sendiri punya riwayat panjang sejak berdiri 1967. Tugas pokoknya melaksanakan pengadaan cadangan beras untuk menjaga stabilitas harga dan laju pasokannya ke pasar. Dua tahun kemudian, melalui sebuah Keppres (Keputusan Presiden), Bulog mendapat tugas baru yakni mendukung peningkatan produksi beras. Caranya, dengan menjamin harga dasar beras dan itu menjadi insentif bagi petani.
Sejak 1978, peran Bulog makin besar. Tugas Bulog menyangkut pengendalian harga beras, gabah, gandum, kedelai, dan bahan pokok lainnya guna menjaga kestabilan harga, pada level yang dianggap sesuai oleh pemerintah. Fungsi itu dijalankan oleh Bulog meski kemudian timbul banyak masalah, utamanya yang menyangkut munculnya rente yang merugikan masyarakat dan keuangan negara.
Pada 1993, Bulog disatukan dengan lembaga baru yaitu Menteri Negara Urusan Pangan. Tapi, tidak lama, dua tahun kemudian dipisah kembali. Bulog kembali berdiri sendiri.
Menjelang era reformasi, terjadi perubahan lagi. Keppres nomor 45 tahun 1997, tugas pokok Bulog hanya dibatasi untuk komoditi beras dan gula pasir. Tugas ini lebih diciutkan lagi oleh Keppres RI nomor 19 tahun 1998, di mana peran Bulog hanya mengelola komoditi beras .
Mengawali awal 2000-an, tidak kurang terjadi tiga kali perubahan Keppres terkait tata kelola Bulog, hingga akhirnya muncul Peraturan Pemerintah (PP) nomor 7/2013 yang menetapkan Bulog sebagai Perum, status yang disandangnya hingga kini. Dalam struktur baru itu, Kepala Bulog (Kabulog) yang dulu memberi bobot politik besar berubah menjadi Direktur Utama Bulog. Jajaran Direksi Bulog itu bekerja di bawah pantauan dewan pengawas yang diangkat oleh pemerintah.
Dengan status Perum ini diharapkan Bulog lebih lincah bergerak layaknya perusahaan swasta, lebih fleksibel dalam penggunaan anggaran, namun dituntut untuk lebih transparan dan akuntabel. Tugas pokoknya tetap menjamin pengadaan dan menjaga stabilitas harga gabah dan beras. Namun, tidak tertutup kemungkinan mengurus komoditas lain, seperti jagung.
Untuk menjaga kelangsungannya, Perum Bulog diizinkan mengenakan tarif biaya atas jasa logistik yang dilakukannya, serta meraih margin di setiap transaksi. Namun, margin itu tak boleh diambil sesuka hati karena dia tetap mengemban tugas pokok mengamankan harga gabah petani, supaya tetap di atas biaya produksi, dan menjaga agar harga beras di tingkat konsumen tetap terjaga.
Dalam perjalanannya, banyak kalangan berendapat bahwa peran Bulog perlu diperluas. Dia perlu mengamankan produk pangan lainnya seperti jagung, gula, kedelai, gula, bahkan daging. Berkaca pada pengalaman masa lalu, tugas sebesar itu sulit dibebankan pada satu Perum Bulog saja. Maka muncullah gagasan tentang Badan pangan Nasional, yang kemudian diamanatkan lewat UU nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan itu.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo agaknya tidak mau buru-buru membentuk badan baru tersebut. Perlu anggaran yang besar untuk tambal sana, tambal sini mengikuti fluktuasi harga di pasar.
Pada periode pertama pemerintahannya, Presiden Jokowi tampak lebih menekankan pada aspek reformasi birokrasi (termasuk birokrasi yang menangani urusan pangan), serta menyempurnakan tata niaga dan regulasi agar pasar berjalan sehat. Barang tersedia dan harga terjangkau.
Namun, urusan Badan Pangan Nasional ini tak sekadar pada pengaturan pasar bahan pangan pada jangka pendek atau menengah. Ada urusan strategis tentang kedaulatan pangan, kemandirian, dan ketahanan pangan. Dalam konteks inilah, justru badan pangan terasa lebih relevan. Apalagi, telah ada progres dalam tata kelola pemerintahan yang menekan segala rente yang pada masa lalu acap kali membebani masalah publik.
Ada harapan pada kabinet baru yang dibentuk Oktober nanti, Badan Nasional Pangan akan menjadi salah satu agenda untuk disiapkan dan direalisasikan.
Kedaulatan dan Ketahanan Pangan
Istilah kedaulatan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan, seringkali terdengar di ruang publik. Berikut ini definisi istilah-istilah terkait konsep pangan seperti tertulis dalam Ketentuan Umum pada Bab 1 (Pasal 1) UU nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan.
Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.
Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tecermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.
Produksi Pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan/atau mengubah bentuk pangan.
Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. (P-1)