Tuntutan dunia terhadap lingkungan yang hijau sudah menjadi keniscayaan. Begitu juga terhadap pasokan tenaga listrik. Pemerintah Joko Widodo juga telah menargetkan penggunaan energi baru dan terbarukan di sektor kelistrikan mencapai 23% pada 2025.
Artinya, target bauran energi itu harus bisa dicapai dalam jangka waktu kurang dari enam tahun dari sekarang. Waktu yang bisa dikatakan sangat singkat. Namun, target itu sudah ditetapkan sejak lama dan telah menjadi komitmen bangsa ini untuk mengembangkan energi baru terbarukan dan berkelanjutan.
Dan, dari total bauran energi di sektor kelistrikan itu, sumbangan dari geothermal atau panas bumi diharapkan bisa memberikan sumbangan hingga 11% pada 2025. Berdasarkan data 2018, kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP) baru mencapai 1.348 megawatt atau sekitar 7%.
Dalam konteks negara pengguna, kita patut berbangga negara ini tercatat sebagai pengguna listrik panas bumi terbesar ke-2 di dunia setelah Amerika Serikat. Tahun ini, pemerintah menargetkan tiga pembangkit panas bumi baru yang siap beroperasi secara komersial dengan kapasitas 180 MW.
Selain mendirikan pembangkit baru, ada juga pembangkit yang sudah beroperasi, mereka juga terus ekspansi pembangkit lainnya. Misalnya, yang dilakukan PT Geo Dipa Energi (Persero). BUMN sektor energi itu kini tengah mengembangkan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) unit II Dieng dan Patuha.
Kedua proyek pembangkit dengan masing-masing berkapasitas 60 MW. Nilai investasinya juga tak main-main, yakni sebesar USD300 juta yang sebagian besar investasinya berasal dari Asia Development Bank (ADB).
Tak dipungkiri, investasi di panas bumi pun tidak murah. Satu sumur panas bumi butuh biaya untuk pengeboran tidak kecil. Bisa hingga USD5 juta-USD7 juta per satu bor.
Wajar saja, seperti Geo Dipa membutuhkan pengeboran sebanyak 20 sumur. Butuh dana hingga USD140juta untuk pengeboran. Kedua pembangkit itu diharapkan tuntas pada 2023.
"Sehingga pada 2023, Geo Dipa akan meningkatkan kapasitas produksi listriknya hingga 270 MW," jelas Direktur Utama PT Geo Dipa Riki Firmandha Ibrahim, Kamis (25/4/2019).
Proyek PLTP Unit 2 Dieng dan Patuha masuk dalam Fast Track Program (FTP) Tahap lI 10.000 MW. Ini bagian dari program pemerintah 35.000 MW di sektor pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan.
Geo Dipa Energi ikut bertanggung jawab dalam memenuhi target Rencana Umum Energi Nasional 23% komposisi bauran energi terdiri dari energi baru dan terbarukan. Selain itu, energi panas bumi juga berkontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca sesuai Paris Agreement yang tertuang dalam UU No. 16 Tahun 2016.
Siapkan Regulasi
Panas bumi sebagai salah satu bauran energi dan terus diupayakan untuk digenjot pengembangannya oleh pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah pun juga sudah menyiapkan sejumlah regulasi yang mendukung pengembangan energi panas bumi.
Sejumlah regulasi itu, antara lain, Peraturan Pemerintah (PP) No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, Peraturan Presiden (Perpres) No.22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), serta Permen ESDM No. 50/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik.
Pada Permen ESDM No. 50/2017 tersebut, pemerintah menetapkan mekanisme harga jual listrik EBT yang lebih adil bagi investor maupun PLN. Selain regulasi tersebut, pemerintah juga telah menyediakan payung hukum bagi pemanfaatan sumber-sumber EBT.
Di antaranya, UU No. 21/2014, PP No. 9/2012, PP No. 28/2016, PP No. 7/2017, Permen ESDM No. 11/2009, serta Permen ESDM No. 37/2017, yang menjadi landasan dalam pemanfaatan dan pengelolaan energi panas bumi.
Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) FX Sutijastoto mengatakan, energi panas bumi mempunyai arti strategis bagi keamanan energi nasional melalui substitusi impor minyak bumi yang sekitar 100.000 barel per hari hingga 2025.
Minyak bumi sendiri digunakan untuk membuat Pembangkit Listrik Tenaga Diesel. Sementara itu, hasil turunan dari minyak bumi, antara lain, LPG, avtur, avgas, kerosin atau minyak tanah, bensin, solar, aspal, dan parafin.
Data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) impor minyak mentah Januari-Maret 2019 mencapai 2,52 juta ton dengan nilai mencapai USD1,16 miliar. Sedangkan impor hasil minyak mencapai 5,59 juta ton setara USD3,11 miliar.
"Di samping itu jadi tidak tergantung pada harga komoditas yang tidak stabil. Artinya panas bumi akan memperkuat ekonomi nasional. Panas bumi akan mengurangi penggunaan sekaligus mengurangi impor BBM," jelas Sutijastoto.
Dari sisi efektivitas operasional, panas bumi dapat dioperasikan mencapai 90% dengan waktu operasi 30 tahun. Bandingkan dengan batu bara yang hanya efektif 60% dari kapasitas. Untuk tenaga listrik diesel bahkan hanya efektif 30% dari kapasitas, serta waktu operasinya hanya 10-20 tahun.
Tidak itu saja, energi panas bumi juga dari sisi lingkungan, emisi dari panas bumi hanya sekitar 75 gram per kwh, jauh lebih rendah dibandingkan bahan bakar minyak yang mencapai 772 gram per kwh. Pun jauh lebih rendah bila dibandingkan tenaga listrik baru bara yang emisinya mencapai 945 gram per kwh.
Komitmen penggunaan energi baru dan terbarukan telah dicanangkan dan diucapkan dan tak bisa ditarik lagi. Komitmen untuk penggunaan energi pembangkit listrik yang ramah lingkungan tentu bukan untuk saat ini saja, namun mewujudkan energi berkeadilan dan berkelanjutan bagi Indonesia. (F-1)