Indonesia.go.id - Pesta Elektoral di Negeri Berpenduduk Muslim Terbesar

Pesta Elektoral di Negeri Berpenduduk Muslim Terbesar

  • Administrator
  • Selasa, 28 Mei 2019 | 17:00 WIB
DEMOKRASI ISLAM
  Pendistribusian logistik Pemilu 2019 di Kabupaten Belu, NTT, Selasa (16/4/2019). Sumber foto: Antara Foto

Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, kesuksesan Pemilu di Indonesia memberikan rasa optimistis bahwa ajaran Islam selalu kompatibel dengan demokrasi. Indonesia adalah contohnya.

Pemungutan suara pada Pemilu 2019 telah selesai. KPU sudah menetapkan Joko Widodo-Makruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk periode 2019-2024. Sepertinya Indonesia berhasil melewati sebuah fase di mana mekanisme demokrasi dijalankan dengan sangat baik.

Pemilu di Indonesia sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia ini memang menjadi perhatian. Sebuah proses demokrasi yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat muslim selalu menarik untuk disimak.

Pada momen itulah, bisa dibuktikan bagaimana Islam sebagai sebuah ajaran yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia bisa kompatibel dengan demokrasi.

Jika mengacu pada indeks demokrasi yang disusun The Economist Intelligence Units, pada 2016 Indonesia ditempatkan di posisi 48 dari seluruh negara yang di survei. Posisi Indonesia jauh lebih tinggi dibanding Turki atau Saudi Arabia, misalnya. Saudi sendiri menempati papan bawah bersama Irak dan Suriah.

Sedangkan pada 2018, posisi Indonesia sedikit melorot menjadi ranking ke-65. Kemungkinan besar penurunan posisi itu disebabkan suasana Pilkada Jakarta yang dikenal penuh dengan SARA.

Meski demikian, Indonesia tidak kemudian kehilangan suasana demokratisnya. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Pemilu 2019 merupakan gambaran nyata bagaimana Indonesia terbukti mampu menunjukkan diri sebagai negara demokrasi terbesar ke tiga di dunia setelah India dan AS. Selain juga, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia yang mampu menyatukan keyakinan Islam dan demokrasi.

Di tengah terjadinya gejolak politik di berbagai negara berpenduduk muslim, tampaknya Indonesia bisa dijadikan salah satu contoh bagaimana proses pergantian kekuasaan bisa dikelola dengan sangat baik. Penduduk yang sebagian besar beragama Islam bisa menerima sistem demokrasi dalam kesehariannya.

Bukti tingginya tingkat kesadaran dalam berdemokrasi bisa disaksikan dari tingkat partisipasi pemilih pada Pilpres 2019 yang mencapai angka 81%. Dengan keterlibatan hampir 7 juta orang petugas pemilihan mulai dari jenjang terbawah sampai paling atas, keterlibatan aktif aparat keamanan serta elemen pemerintahan lainnya, Pemilu 2019 bisa dikatakan sebagai Pemilu paling rumit di dunia.

Seperti dikisahkan The Guardians, sebuah media berbahasa Inggris yang menyoroti Pemilu di Indonesia. Bagi Guardian, melaksanakan pemilu di sebuah negara yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau dengan total jumlah pemilih sebanyak 192,8 juta bukanlah persoalan mudah. Bahkan, katanya, Pemilu di Indonesia kali ini sebagai ajang pemilihan secara langsung terbesar di dunia.

“Sekaligus sebagai pemilu yang paling rumit,” tulisnya.

Di India meski jumlah pemilih lebih besar, proses memungutan suara dilakukan selama enam minggu. Berbeda dengan di Indonesia yang hanya mematok waktu satu hari secara serentak. Padahal dari sisi waktu saja Indonesia memiliki tiga pembagian waktu.

Kita menyaksikan bagaimana sebuah kerumitan proses demokrasi bisa dijalankan dengan sangat baik di sebuah negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Fenomena Indonesia ini terjadi justru di tengah arus konflik kuat dunia yang melanda negara-negara Islam lainnya.

Wajar saja jika Head of Media and Communication Kedutaan Besar Inggris John Nickell menyebut, proses Pemilu 2019 dengan kata ‘fantastic’. Bukan hanya memilih Presiden, tetapi juga memilih sekian ribu orang untuk duduk di kursi legislatif dalam waktu yang sama.

Pada 17 April lalu, pada 809.500 TPS, ada lebih dari 250.000 kandidat untuk untuk kursi legislatif yang harus dipilih untuk menempati 20.538 kursi yang tersedia. Artinya masyarakat harus memilih rata-rata lima pilihan hanya dalam waktu kurang dari enam jam. (E-1)