Ada ratusan pemantau asing yang antusias menyaksikan langsung jalannya pemilu di Indonesia. Menurut catatan Bawaslu, sekitar 138 pemantau terakdreditasi dari 33 negara di seluruh dunia. Banyaknya jumlah pemantau ini, menurut catatan Bawaslu, merupakan pemantau terbanyak dalam sejarah pemilu di Indonesia.
Memang Pemilu kali ini menyedot banyak perhatian dunia. Bukan hanya dinamika politiknya, tetapi lebih pada proses penyelenggaraan yang mencengangkan. Bayangkan, dengan luas wilayah terbagi menjadi tiga zona waktu, Indonesia melaksanakan waktu pemungutan suara sekitar enam jam.
Yang menarik, meski waktunya sangat pendek, partisipasi publik sangat tinggi. Tercatat 81% masyarakat datang ke TPS untuk memberikan suaranya. Padahal KPU hanya berani mematok target 77,5%. Bandingkan dengan Pemilu 2014 dengan tingkat partisipasi hanya 70%.
Perbaikan Pemilu 2019 sebetulnya juga tercermin dari jumlah gugatan yang masuk ke Mahkamah Konstitusi. Sebagai pilar terakhir yang menangani perkara Pemilu, banyaknya jumlah perkara yang masuk ke MK adalah cerminan kualitas penyelenggaraan Pemilu.
Pada Pemilu 2019 ini jumlah perkara yang terdaftar ke MK hanya sebanyak 340 perkara, yang terdiri dari 229 gugatan Pileg, 1 gugatan Pilpres, dan 10 gugatan pemilihan DPD. Padahal pada 2014, jumlah perkara yang masuk ke MK bisa mencapai 903 perkara. Angka itu sebetulnya meningkat dibanding Pemilu 2009 yang memiliki 628 perkara di MK.
Menurunnya perkara yang masuk ke MK, sebetulnya bisa dijadikan salah satu indikasi bahwa Pemilu 2019 jauh lebih baik dari pemilu sebelumnya. Demikian juga dengan keseriusan Bawaslu menegakkan hukum. Pada Pemilu kali ini, misalnya, ada beberapa caleg dari partai yang harus masuk penjara karena melakukan money politic.
Dari sisi perhitungan suara memang boleh dibilang pilpres di Indonesia paling terjamin keabsahannya. Ini dikarenakan KPU menggunakan sistem perhitungan manual berjenjang yang pada setiap jenjangnya melibatkan sebesar-besarnya partisipasi publik.
Di level tempat pemungutan suara (TPS), panitia pemilih, saksi dari berbagai partai dan masyarakat melihat langsung proses perhitungan suara secara terbuka. Hasil perhitungan tersebut dicatatkan ke dalam formulir C1 ukuran plano yang informasinya bisa diakses oleh siapa saja. Masyarakat bisa memotret hasil itu untuk dijadikan pegangan. Demikian juga saksi dari parpol maupun capres.
Perhitungan di TPS adalah proses penghitungan paling awal. Dari sana seluruh kotak suara hasil perhitungan itu dikirim ke kelurahan. Berbeda dengan Pemilu 2014 yang menggelar ada perhitungan juga di tingkat kelurahan, pada Pemilu 2019 ini kelurahan hanya dijadikan tempat transit kotak suara sebelum dikirim ke kecamatan,
Nah, di kecamatan inilah dilakukan perhitungan tingkat kecamatan dengan melakukan tabulasi dari hasil masing-masing TPS. Hasil dari tabulasi itu kemudian dilakukan sidang pleno untuk mendapat persetujuan.
Proses ini terus berlanjut ke perhitungan suara tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, dan nasional. Artinya, KPU menerapkan sistem perhitungan manual berjenjang untuk menjamin tingkat akurasi, keterbukaan, dan keadilan.
Sementara untuk memenuhi hak publik terhadap keterbukaan informasi, KPU menyiapkan sebuah situs terbuka yang melakukan update terhadap informasi perhitungan suara di masing-masing tingkatan. Inilah yang dikenal dengan sistem perhitungan online, yang fungsinya sebagai alat bantu saja.
Melihat dari terbuka dan berjenjangnya proses perhitungan suara, wajar saja jika KPU begitu percaya diri dengan keterbukaan dan pelaksanaan pemilu yang adil, yang sudah digelarnya.
Keberhasilan pemilu bukan saja keberhasilan KPU sebagai penyelenggara, juga keberhasilan seluruh masyarakat dalam membiasakan diri menjalani sebuah tradisi demokrasi. (E-1)