Indonesia mengukit prestasi daya saing yang mengesankan. Meloncat naik 11 tangga, kini Indonesia berada di posisi 32 dunia dalam IMD World Competitiveness Ranking 2019. Posisi terbaru itu dirilis dari Lausanne Swiss, Selasa (28/5/2019). Dengan lompatan ini, kesenjangan daya saing dengan dua negara jiran, yakni Malaysia dan Thailand, kain sempit. Tahun ini Malaysia di peringkat 22 dan Thailand 25.
Dengan posisi barunya ini, Indonesia tercatat sebagai negara yang meraih skor kenaikan daya saing tercepat di wilayah Asia. Prestasi ini diperoleh berkat peningkatan efisiensi di sektor pemerintahan perbaikan infrastruktur bisnis dan kemudahan berusaha. Kebijakan pemerintah, potensi sosial dan budaya juga ikut menentukan hasil penilaian.
Secara global, Singapura kembali meraih posisi tertinggi, menggeser Amerika Serikat yang turun ke peringkat ketiga. Merosotnya posisi AS itu tidak lepas dari kebijakan kontroversial Presiden Donald Trump. Sementara itu, negara-negara Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab (UEA), Qatar Arab Saudi juga telah memperlihatkan geliatnya dengan terus menguatkan daya saingnya sebagai tujuan bisnis dan investasi. UEA dan Qatar menonjol karena menjadi bandar perdagangan internasional.
Pemeringkatan oleh IMD sudah dirintis sejak 1990. Sejauh ini, pemeringkatan dilakukan atas 63 negara yang memiliki catatan kinerja ekonomi yang teratur dan bisa diakses publik. Dalam membuat pemeringkatan, Institute Management Development (IMD), sekolah pascasarjana yang berwibawa dari Swiss itu, bekerja sama dengan 56 lembaga kajian internasional. Tidak kurang dari 300 indikator ditelisik untuk membuat pemeringkatan itu.
Daya saing Indonesia dalam catatan IMD Swiss itu mengalami pasang-surut. Pada 2015, RI ada di peringkat 42. Merosot ke posisi 48 di tahun 2016, naik ke peringkat 42 di tahun 2017 dan tergeser lagi ke 43 di tahun 2018. Daya saing ekspor menjadi salah satu variabel penting yang membuat daya saing Indonesia mudah goyah.
Namun, peningkatan kapasitas infrastruktur ekonomi yang terjadi setahun terakhir ini dianggap bisa mendongkrak potensi perekonomian nasional. Penambahan jaringan jalan tol, pelabuhan, pelayaran reguler sampai pulau-pulau terluar, bandar udara, jaringan telekomunikasi Palapa Ring, pembangkit listrik, bendungan, menjadi tambahan modal bagi entitas ekonomi Indonesia.
Ditambah lagi adanya kemudahan proses birokrasi dalam ekspor-impor, termasuk proses karantina untuk produk-produk pertanian dan peternakan, yang dikatagorikan sebagai kebijakan pemerintah yang pro-bisnis. Tidak heran bila kemudian peringkat Indonesia melompat 11 tangga.
Selain Indonesia, lompatan besar juga ditorehkan oleh Arab Saudi. Tak mau terus bergantung pada minyak, Arab saudi terus memoles diri menjadi negara industri barang dan jasa. Negeri Raja Salman itu kini menempati peringkat ke-26. Melesat naik 13 tangga dari tahun 2018 ketika negeri di padang pasir itu masih di posisi ke-39.
Pembangunan infrastruktur pelabuhan, bandara, jalan raya, jaringan telekomunikasi, dan langkah deregulasi yang dilakukan, membuat daya saing Arab Saudi terus menguat. Pariwisatanya semakin mendapat perhatian. Resor-resor dibangun di Pantai Laut Merah. Para turis akan diijinkan untuk menikmati pantai sambil diving dalam busana khas pantai. Hukum syariah tak diberlakukan di situ.
Kebangkitan Arab Saudi, UEA, dan Qatar itu meneguhkan adanya potensi industri baru di wilayah Timur Tengah. Kawasan ekonomi tak lagi bertumpu pada Uni Eropa, Asia Kecil (Turki), Asia Timur, Asia Selatan dan Tenggara, serta Amerika Utara. Sejauh ini, Amerika Latin (kecuali Meksiko) dan negara-negara Afrika belum menunjukkan geliat ekonominya secara signifikan.
Namun, peringkat versi IMD Swiss ini tetap saja sebatas pengakuan tentang adanya potensi. Tentang bagaimana potensi itu bisa dikelola untuk menjadikannya sebagai modal bagi kesejahteraan rakyat, itu memerlukan ikhtiar yang lain lagi. Stabilitas sosial dan politik menjadi soal penting agar peluang peningkatan daya saing itu bisa menghasilkan investasi yang besar.
Satu isu utama lainnya adalah bagaimana menjaga momentum agar peningkatan daya saing itu tak mengendor. Peningkatan infrastruktur dan efisiensi pemerintahan menjadi kata kuncinya. (P-1)